NovelToon NovelToon
About Me (Alshameyzea)

About Me (Alshameyzea)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Febby Eliyanti

Saksikan perjalanan seorang gadis yang tidak menyadari apa yang telah disiapkan takdir untuknya. Seorang gadis yang berjuang untuk memahami konsep cinta sampai dia bertemu 'dia', seorang laki-laki yang membimbingnya menuju jalan yang lebih cerah dalam hidup. Yuk rasakan suka duka perjalanan hidup gadis ini di setiap chapternya.


Happy Reading 🌷
Jangan lupa likenyaa💐💐💐
Semoga kalian betah sampai akhir kisah Alsha🌷 Aamiin.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febby Eliyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31. Gelang dan Jejak Masa Lalu

...Assalamualaikum guys!! Sebelum baca, bantu support yaa dengan follow, vote, like dan komen di setiap paragraf nya!! Karena support kalian sangat berarti bagiku💐Makasiiii!🌷...

...⋆.⋆...

...🌷Happy Reading 🌷...

...⋆...

...⋆...

...⋆...

..."Kadang, untuk memahami masa depan, kita harus menyelami kedalaman kenangan yang terlupakan."...

...⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆...

Aku melangkahkan kaki menuju rumah, namun pikiranku penuh dengan berbagai hal yang mengganggu. Bayangan sikap Arshaka yang dingin tapi masih peduli terus mengiang, lalu kekhawatiran tentang program OSIS yang dia ajukan, entah apakah akan diterima oleh kepala sekolah atau tidak, serta momen ketika dia dengan tenang mengangkat telepon dari Clara, memberikan perhatian yang membuat hatiku terasa sesak.

"Al! Kalo jalan jangan sambil ngelamun!" Teriakan Aline memecah lamunanku, membuatku tersentak.

Aku tersadar, hampir saja aku menabrak tiang di depan rumah. Aku kenapa sih? Dengan langkah pelan, aku mendekati Aline yang ternyata sudah berdiri di depan pintu, menungguku.

"Dari mana aja? Baru pulang jam segini," omel Aline, nada suaranya seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang pulang terlambat karena terlalu asyik bermain.

Aku menarik napas panjang sebelum menjawab, "Urusan OSIS, Lin."

Aline mengerutkan kening, matanya memindai wajahku yang pasti terlihat lelah. "Kok pucet gitu? Kenapa? Harusnya kan seneng, ketemu si ganteng."

Aku hanya diam, enggan merespons. Dengan langkah berat, aku masuk ke dalam rumah, tubuhku memerlukan istirahat lebih dari apapun saat ini. Namun, Aline tidak menyerah, dia terus mengikutiku dari belakang.

"Al? Kok aku dicuekin sih?" Suara Aline terdengar kecewa, tapi aku tetap melangkah, tidak ada tenaga untuk menjawab.

Tiba-tiba, batuk menyerangku, membuat tubuhku gemetar. Suaranya memecah keheningan rumah.

"Eh? Al? Kamu kenapa?" Aline panik, segera merangkulku dan memaksaku untuk duduk di sofa.

"Aduh, Al, kok tiba-tiba batuk gini sih?" Tangannya sibuk mengisi air dari dispenser, lalu dengan sigap menyodorkan segelas air hangat padaku. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar, meminumnya sedikit demi sedikit.

"Kamu sakit, Al?" Tanya Aline dengan nada cemas.

Aku menggeleng pelan, berusaha bicara meski tenggorokanku masih terasa sakit, "Mungkin ini karena—"

Namun, kalimatku terpotong oleh suara pintu yang diketuk. Aku dan Aline menoleh ke arah pintu dengan ekspresi terkejut.

Aline segera beranjak dan membuka pintu. Eh? Arshaka? Dengan wajah datar khasnya dan mata yang memancarkan sesuatu, yang sulit diartikan. Aku mengangkat alis, bingung, Ngapain dia kesini?

"Eh, si gant—" Aline mulai bicara, tapi Arshaka sudah menyodorkan kantong kresek hitam kecil ke arahnya, sambil menatapku yang masih duduk dengan gelas di tangan.

"Punya temen lo, ketinggalan tadi," ucapnya singkat.

"E-eh—" Aline tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Arshaka sudah berbalik dan pergi. Langkahnya cepat, seolah ingin segera meninggalkan tempat itu.

"Belum juga ngomong udah maen pergi aja. Untung ganteng lo, bang, bang," gumam Aline, setengah bercanda sambil menatap punggung Arshaka yang menjauh dari pintu.

Aline menoleh ke arahku dan menyerahkan kantong plastik itu. "Barang kamu ketinggalan katanya, Al. Kebiasaan deh."

Aku meraih kantong itu, kebingungan merayapi pikiranku. Barangku? Perasaan aku gak punya barang yang di bungkus kantong plastik deh. Dengan hati-hati, aku membuka kantong itu.

Obat?

Tanganku mengambil obat itu, dan mataku segera membaca labelnya. Eh? Obat batuk?

Aku menatap Aline, mencari penjelasan di wajahnya.

"Kenapa, Al? Punya kamu kan?" tanya Aline, jelas bingung dengan ekspresi yang kulihatkan.

Aku terdiam sejenak, lalu pelan-pelan mengangguk. Pikiranku kembali melayang pada sosok Arshaka yang baru saja pergi.

Ada perasaan hangat yang tiba-tiba menyusup, membingungkan, namun juga menenangkan.

-----

Malam itu, hawa dingin menyelinap ke setiap sudut kamar, meskipun aku sudah membalut tubuhku dengan jaket tebal dan kerudung lebar yang sengaja kupakai untuk menjaga hangat. Jam dinding di atas kepala kami menunjukkan pukul sembilan malam, namun pikiranku masih berputar, jauh dari suasana tenang yang seharusnya ada setelah menyelesaikan PR kimia bersama Aline.

Aline memandangku dengan cemas, matanya menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. "Al, kalo kamu sakit, besok ijin aja, nggak usah masuk sekolah," ucapnya, nadanya lembut tapi tegas, seolah mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah solusi terbaik.

Aku hanya bisa menghela napas panjang, lalu memaksakan senyum tipis. "Tapi, Lin, kalo aku nggak masuk, gimana dengan program Arshaka nanti?" gumamku sambil merapikan buku-buku yang berserakan di meja, mencoba mencari pelarian dari kegelisahan yang tak mau pergi.

Aline menghela napas panjang, tangannya terlipat di depan dada, jelas dia merasa frustasi melihatku seperti ini. "Haduh Al, gak usah mikirin kerjaan mulu, sehatin aja dulu tuh badan."

Aku terdiam, pandanganku tertuju pada ransel yang tergeletak di lantai, seolah ransel itu bisa memberiku jawaban yang kucari. Dalam keheningan itu, pikiranku kembali ke sosok Arshaka.

Yang kini terasa begitu jauh dan asing. Dingin, cuek, seperti dinding es yang mustahil kutembus.

Namun anehnya, di balik semua sikapnya yang kaku itu, ada perhatian yang masih ia berikan, seperti tadi saat dia mengantarkan obat batuk padaku, bahkan di saat maghrib.

Aku tak menjawab ucapan Aline, memilih untuk meraih ranselku, mengeluarkan buku-buku yang ada di dalamnya. Tanganku gemetar sedikit saat mengambil map kertas berisi program Arshaka. Setumpuk kertas itu begitu ringan secara fisik, tapi berat di pikiranku. Seriusan dia mau ngajukan program ini?

Aku menatap kertas-kertas itu lama, seolah mencari sesuatu di antara baris-baris tulisan yang mungkin bisa memberiku rasa tenang. Programnya memang bagus, tapi aku tahu betul, program ini akan mengguncang banyak hal di SMAN Cendana. Aku sedikit cemas jika program ini nantinya ditolak oleh kepala sekolah. Meski Arshaka bilang kalau Pak Iwan sudah memberi lampu hijau, aku masih merasa ragu.

Tanganku sibuk mengeluarkan barang-barang dari ransel, berencana mengganti tas untuk besok. Saat aku membuka resleting depan, tiba-tiba aku terkejut melihat sebuah gelang berwarna biru dengan bandul berbentuk bulan dan bintang. Gelang itu terbungkus rapi dalam plastik kecil, seolah sengaja disimpan dengan hati-hati. Ini punya siapa?

"Aline, kamu naruh gelang ke dalam tasku?" tanyaku heran.

Aline yang baru selesai memasukkan buku ke dalam ranselnya, menoleh ke arahku dan menggeleng.

"Trus? Ini gelang siapa?"  tanyaku lagi sambil menunjukkan gelang tersebut. Aline menghampiriku, mengambil gelang itu dari tanganku dan memperhatikannya dengan seksama.

"Entah." jawab Aline sambil mengangkat kedua bahunya.

"Eh Al, cantik loh gelangnya. Kok bisa sih, nyasar di tas kamu. Aneh banget." tambah Aline, matanya tak lepas dari gelang itu.

Aku mencoba mengingat-ingat, wajah-wajah yang mungkin memberikan gelang ini. Tapi semua terasa samar. Keenan? Atau..

"Al, bandulnya mirip banget sama kalung kamu yang hilang itu, bulan dan bintang," ucap Aline, membuat hatiku bergetar hebat.

Aku segera menoleh, perasaan sesak menghimpit dadaku. Kalung itu... yang sudah lama hilang, tak pernah kembali. Kalung yang tak tergantikan, penuh kenangan dari masa lalu.

"Btw, kalung kamu belum ketemu emang?" tanya Aline, suaranya sarat dengan simpati.

Aku hanya bisa menggeleng, menahan rasa sedih yang meluap. "Belum, Lin," jawabku, hampir tak terdengar.

"Sayang banget, ya. Kalo ada yang nemuin, pasti nggak bakal tega ngejual kalung seindah itu. Apalagi itu kalung emas, cantik banget soalnya," Aline berusaha menenangkan, tapi setiap kata-katanya justru seperti menambah beban di hatiku.

Aku menunduk, menatap gelang di tangan Aline. "Bukan cuma itu yang bikin kalung itu istimewa, Lin," ucapku, mencoba menahan air mata yang menggenang di sudut mata.

Aline mengernyit, penasaran. "Apa lagi? Karena pemberian dari orang tua kamu?" tanyanya, matanya memperhatikan setiap gerak wajahku.

Aku kembali menggeleng pelan, merasa semakin berat mengingat kenangan itu. "Bukan, itu dari almarhumah nenekku, Lin."

Aline terdiam, matanya melembut. "Maaf, Al, aku nggak tahu..." ucapnya dengan nada penuh penyesalan, sambil mengembalikan gelang itu ke tanganku.

Aku tersenyum kecil, mencoba menenangkan perasaanku sendiri. "Iya, nggak apa-apa," jawabku, suaraku bergetar meski aku berusaha keras untuk terdengar kuat.

Aline menatapku, ada empati yang dalam di matanya. "Pasti berharga banget ya kalung itu buat kamu,"

Aku mengangguk pelan, menyadari betapa aku merindukan kalung itu. "Kalo nenek tau aku ngilangin kalung itu, pasti nenek bakal marah besar." ucapku, kenangan masa kecil kembali menghantui.

"Enggak lah Al, pasti gak bakal semarah itu, ya meskipun pasti ada rasa ingin memarahi, tapi mungkin ya gak terlalu marah banget. Apalagi kamu cucu kesayangannya." ucap Aline, berusaha menenangkanku dengan logikanya.

Aku menghela napas panjang, mengingat peristiwa itu dengan jelas. "Dulu, waktu kecil, aku pernah ngilangin kalung itu. Dan nenek beneran marah besar, Lin. Dia sampe rela gak tidur seharian hanya gara-gara kalung itu belum ketemu." ucapku, perasaan bersalah masih terasa segar di ingatanku.

"Untungnya kalung itu bisa ditemukan, dan nenek kembali memberi pengertian tegas ke aku, tentang pentingnya kalung itu supaya tetap di tanganku hingga aku dewasa." tambahku, seakan beban di hatiku semakin berat setiap kali kata-kata itu keluar.

Aline menatapku penuh perhatian, seakan mencoba mencari jawaban dari ekspresiku.  ""

Kenapa, Al? Maksudnya, kenapa kalung itu penting banget bagi nenek kamu?" tanyanya dengan serius.

Aku menggeleng pelan, tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya, aku beneran nggak tau.

"Emang kamu gak mau nyari tau gitu? Alasan kalung itu begitu berharga bagi nenek kamu?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.

Aku menatapnya, sedikit terkejut oleh dorongannya. Benar juga, kenapa aku tidak pernah berpikir untuk mencari tahu lebih dalam?

"Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Lin," jawabku dengan jujur, "Tapi kamu ada benarnya juga."

Aline tersenyum kecil, matanya berbinar dengan ide yang muncul di benaknya. "Kenapa nggak kamu coba nyari tau lewat orang tua kamu? Maksudnya, nyari sesuatu di kamar orang tua kamu? Mungkin kamu bisa nemuin petunjuk?"

Aku menatapnya, mata kami bertemu, dan aku merasakan kehangatan dari ide yang ia usulkan.

"Mau aku bantu?" tawarnya dengan antusias, senyum lebar menghiasi wajahnya.

Aku mengangguk cepat. "Ayo," jawabku tanpa ragu, berdiri dari tempatku dan merapikan barang-barang di atas meja.

Malam ini, sepertinya akan menjadi malam yang berbeda. Ada misteri yang menunggu untuk dipecahkan, dan entah mengapa, jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.

----

Kamar kedua orang tuaku yang telah lama kosong itu terasa hampa dan sunyi, dinding-dindingnya seakan menyimpan kesedihan yang tak pernah terucapkan. Cahaya lampu temaram memantulkan bayang-bayang samar di permukaan perabotan, memberikan kesan bahwa ruangan ini telah lama ditinggalkan. Meskipun aku rutin membersihkan setiap sudutnya, debu tetap saja menempel di setiap permukaan, seolah-olah tidak ada upaya yang bisa benar-benar mengusir rasa sepi yang mengendap di tempat ini.

Tidak ada kenangan hangat yang melekat di kamar ini. Semua memori yang kupunya adalah tentang nenek—bukan kedua orang tuaku. Kamar ini lebih seperti persinggahan singkat, tempat mereka singgah sebentar sebelum kembali bergegas ke kehidupan mereka yang jauh di luar negeri. Aku masih ingat dengan jelas hari itu, ketika aku hanya bisa menatap nanar kepergian mereka setelah sehari sebelumnya mereka membawaku dari rumah nenek. Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya di balik jendela kamarku, memandangi bulan dan bintang yang seakan-akan menjadi satu-satunya saksi bisu dari kesedihanku.

Aline dan aku mulai mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa memberi jawaban tentang kalung itu. Kami menggeledah lemari, membuka laci-laci di dekat kasur, menyibak tirai debu yang selama ini menutupi rahasia yang tersembunyi. Aku tahu, kecil kemungkinan orang tuaku tidak tahu soal kalung itu. Ada sesuatu di sini, aku yakin, petunjuk kecil yang bisa menuntun kami pada jawaban yang aku cari.

Waktu berlalu tanpa ampun. Setengah jam lebih kami mencari, tapi hasilnya nihil. Aline, yang mulai tampak lelah, sesekali menguap, namun aku masih bisa melihat nyala semangat di matanya. Dia sama penasaran dan gigihnya seperti aku.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah sepuluh lebih. Aku menoleh ke arah Aline, berharap dia menemukan sesuatu. Tapi gelengannya hanya membuat harapanku semakin pudar.

Aku terduduk di atas kasur, menatap sekeliling kamar yang kini terasa semakin asing. Apa yang kuharapkan dari kamar ini? Orang tuaku hanya pernah tinggal sehari di sini, sebelum kembali meninggalkanku sendirian di rumah besar ini. Tanpa terasa, air mata mulai jatuh satu per satu, perasaan kesepian dan kehilangan menyusup kembali ke dalam hatiku.

Aku mencoba berdiri, niatku hendak keluar dari kamar ini yang terasa semakin menyesakkan. Tapi langkahku terhenti oleh teriakan Aline yang menggema di ruangan sunyi itu,

"Al! Aku nemu ini!"

Aku segera menoleh, melihat Aline memegang sebuah buku kecil dengan sampul berwarna biru muda. Tanganku segera mengusap air mata di pipiku, sebelum aku menghampirinya. Aline menyerahkan buku itu kepadaku, dan kami berdua duduk di sofa panjang yang ada di kamar tersebut. Tanganku gemetar saat membuka buku itu.

Di tengah sampul biru itu, tertulis sebuah nama yang membingungkanku: 'Safwanaruna.' Apa artinya? Batinku berputar-putar mencari penjelasan. Aku membalik buku itu, mencoba mencari tahu apa sebenarnya benda ini. Di bagian belakang sampul, ada sebuah kutipan yang ditulis tangan, dengan tinta yang sudah mulai memudar:

"Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."

Aku menatap Aline, dan dia menatap balik, sama bingungnya. Buku ini... mungkin ini buku harian milik ibuku. Nama 'Safwana' tertera jelas di sampul depan, nama yang tak asing bagiku. Itu nama ibuku. Tapi kata 'runa'? Apa maksudnya?

Safwanaruna—sebuah kata yang terdengar asing, namun penuh makna tersembunyi yang belum kupahami.

Saat aku masih terhanyut dalam pikiran, alarm jam dinding berbunyi nyaring, menandakan waktu telah mencapai pukul sepuluh malam. Seperti terbangun dari mimpi, aku dan Aline saling berpandangan, dan tanpa berkata apa-apa lagi, kami memutuskan untuk keluar dari kamar itu. Meninggalkan ruangan yang menyimpan terlalu banyak pertanyaan, kami beralih ke kamarku dengan pikiran yang masih penuh misteri yang belum terjawab.

----

"Ayo, Al, cepetan buka bukunya," desak Aline, begitu kami kembali ke kamar. Suaranya terdengar penuh antusiasme, seolah-olah dia bisa merasakan bahwa apa pun yang tersembunyi di dalam buku itu akan mengungkap sesuatu yang penting.

Aku mengangguk perlahan, jantungku berdegup tak menentu. Tanganku mulai membuka buku itu dengan sangat hati-hati, merasakan kertas-kertasnya yang kaku, tanda bahwa buku ini sudah lama tidak disentuh. Setiap lipatan terasa rapuh, seolah sedikit saja tekanan bisa membuatnya robek.

Halaman demi halaman aku buka perlahan. Di halaman pertama, sebuah nama yang sudah membingungkanku sejak awal muncul lagi: Safwanaruna. Tapi kali ini, di bawahnya ada tambahan yang menjelaskan makna nama itu.

Safwanaruna

Safwana dan Aruna

Aku dan Aline saling menatap, mencoba mencerna informasi ini. Perasaan aneh menyusup dalam diriku. Tanganku bergerak membuka halaman berikutnya, di mana tertulis lagi kutipan yang sama seperti sebelumnya—kutipan tentang bulan dan bintang. Aku tidak menyangka bahwa ibuku ternyata juga mencintai langit malam seperti aku.

Di sekeliling kutipan itu, ada lukisan tangan berupa bintang-bintang kecil yang menghiasi setiap sudut halaman. Jumlahnya banyak sekali, hingga hampir memenuhi seluruh halaman. Aku menatapnya dengan penuh haru, bertanya-tanya dalam hati apakah ibuku lebih menyukai bintang daripada bulan, seperti diriku? Atau ini hanya perasaanku saja?

Aku terus membuka halaman-halaman berikutnya, sampai akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah sketsa. Di situ, terlukis dua anak perempuan dengan ransel di punggung mereka, saling berpelukan dan tertawa bersama, seperti dua sahabat yang baru saja pulang dari sekolah. Mereka terlihat begitu bahagia, saling menatap dengan penuh kehangatan. Siapa yang menggambar ini? Ibu? Gambarannya begitu indah dan penuh perasaan. Air mata tak terasa menetes di pipiku, dan Aline, yang duduk di sampingku, segera merangkulku dengan lembut. Aku tidak tahu kenapa aku menangis, tapi ada sesuatu yang begitu menyentuh hatiku.

"Al..." bisik Aline pelan, seakan mengajakku untuk tetap kuat.

Aku menoleh ke arahnya, dan kami saling mengangguk, memberi semangat satu sama lain. Aku melanjutkan membuka halaman demi halaman, hingga akhirnya tiba pada tulisan tangan yang tampaknya milik ibuku. Tulisan itu menceritakan kisah persahabatan antara Safwana dan Aruna, dua nama yang kini menjadi jelas bagiku. Setiap kata tertulis dengan penuh perasaan, seperti serpihan kenangan yang disusun dengan hati-hati. Aku membaca dengan teliti, berharap menemukan jawaban tentang kalung itu.

Dan di halaman yang hampir menutup cerita itu, aku melihatnya—gambar kalung yang sangat mirip dengan kalung pemberian nenekku. Jantungku berdegup kencang saat aku menatap gambar itu, seolah-olah itulah petunjuk yang selama ini kucari. Aku menoleh ke arah Aline, yang tampaknya juga menyadari bahwa ini adalah jawaban yang kami butuhkan. Gambar kalung itu dibuat dengan pena yang mulai memudar, tapi detailnya masih terlihat jelas. Di bawahnya, kutipan yang sama tertulis lagi. Aku mengerutkan kening, bertanya-tanya kenapa kutipan itu diulang berkali-kali dalam buku ini. Apa sebenarnya makna dari kutipan itu?

Aku hendak membuka halaman berikutnya, ketika suara alarm jam dinding kembali berbunyi, menandakan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aline dan aku terkejut, menyadari bahwa waktu sudah sangat larut.

"Kita lanjut nanti lagi, sekarang kita tidur dulu, Al. Besok kita harus sekolah," ucap Aline sambil menarik selimut.

Aku mengangguk setuju, meski masih ada perasaan penasaran yang menggelitik di benakku. Dengan buru-buru, aku menutup buku itu, tapi tanpa sengaja menjatuhkan sebuah kertas kecil yang terlepas dan jatuh di pangkuanku. Gerakanku dan Aline langsung terhenti.

"Itu apa, Al?" tanya Aline dengan nada penasaran.

Aku segera mengambil kertas kecil itu, membaliknya dengan tangan yang gemetar. Mataku membesar saat melihat gambar di kertas itu—sebuah foto. Foto seseorang yang sangat penting bagiku. Seseorang yang selalu kurindukan.

Foto nenekku. Tapi... tunggu, nenek bersama siapa?

Aku menoleh ke arah Aline, yang sejak tadi menyipitkan matanya, mencoba memandang foto itu lebih jelas.

"Itu kamu? Masa sih," Aline bertanya, mendekatkan wajahnya lebih dekat ke arah foto.

"Kayaknya bukan deh, itu siapa yang bareng nenek kamu?" tanyanya lagi, suaranya mulai dipenuhi rasa penasaran yang semakin dalam.

"Anak laki-laki?" Aline bertanya dengan nada bingung.

Aku hanya diam, mencoba mencerna semua ini. Iya, aku tahu itu anak laki-laki. Di foto itu, nenek sedang memangku dan memeluk anak laki-laki tersebut dengan penuh kasih sayang. Banyak pertanyaan berkecamuk di benakku.

"Kamu punya saudara cowok, Al?"

Pertanyaan terakhir Aline membuatku menoleh ke arahnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sangat bingung dan tidak tahu harus menjawab apa.

Aku terdiam, mencoba mencerna semua ini. Mataku kembali menatap foto itu—anak laki-laki yang duduk di pangkuan nenek, dengan wajah penuh kasih sayang dari nenekku yang selalu kurindukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benakku, seolah-olah setiap lembar memori mulai bergerak, mencari jawabannya.

"Kamu punya saudara cowok, Al?" Pertanyaan terakhir Aline membuyarkan lamunanku, membuatku menoleh ke arahnya. Namun, untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa bingung dan tak tahu harus menjawab apa.

Saat pikiranku berkecamuk, tiba-tiba terdengar suara notifikasi dari handphone yang kuletakkan di laci sebelah kasur. Suara itu memecah kesunyian malam, membuat layar handphone menyala dengan cahaya lembut di kegelapan. Aku mengerutkan kening, siapa yang mengirim pesan di jam selarut ini?

Dengan rasa penasaran, aku meraih handphone dan menatap layar kunci yang menampilkan notifikasi tersebut.

Gelang itu dari gue. Anggep aja sebagai hadiah ultah.

Aku tertegun, alisku terangkat tinggi. Jantungku berdebar lebih kencang saat membaca pesan itu. Suara Aline terdengar lagi, penuh rasa ingin tahu.

"Siapa, Al?" tanyanya dengan nada penasaran.

Aku menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba merayap dalam diriku.

"Besok ada urusan OSIS yang harus aku selesaikan, Lin. Kita tidur yuk," ujarku, mencoba mengalihkan perhatian. Aline mengangguk, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Aku menaruh handphone di samping buku diary ibu, menyimpan foto kecil itu kembali ke dalam halaman yang semula. Meski tubuhku berusaha untuk beristirahat, pikiranku tidak bisa berhenti berputar. Jawaban yang baru saja kutemukan malah membawa lebih banyak pertanyaan. Siapa anak laki-laki dalam foto itu? Kenapa foto itu terselip di buku ibuku? Dan pesan itu..

Pesan itu terus terngiang di benakku, kata-katanya jelas dan tegas, seolah membekas di setiap sudut pikiranku. "Gelang itu dari gue."

Hadiah ulang tahun? Dari dia?

Sebuah nama terlintas di pikiranku. Rey.

...BERSAMBUNG...

#alshameyzea

#alsha

#keenan

#aboutme

#fiksiremaja

#arshaka

#rey

⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆

Assalamualaikum guys!! Bantu support yaa dengan follow, vote, dan komen di setiap bab nya!! Makasiiii!🌷💖

Mari kepoin cerita kami juga di ig: @_flowvtry @febbyantii._

Salam kenal dan selamat membacaa. Semoga betah sampai akhir kisah Alsha! Aamiin.💖

Komen sebanyak-banyaknya disini 👉🏻 👉🏻 👉🏻

Eh? Kalian mau kasih saran dan kritikan? Boleh banget, disini yaaa👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻

Thanks udah mau bacaa bab iniii sampe akhir💐

1
Sodiri Dirin
jujursi ceritanya bikin binggung tp bagus 🤔
_flowvtry: Makasii kaaa🥹🥹🥹🌷
total 1 replies
Sodiri Dirin
up tor jangan lama2,,sejujurnya aku ngrasa binggung sama ceritanya kaya GK nyambung lompat2 GK jelas tp seneng aja bacanya 🤗
_flowvtry: makasii kaaa, update terbaru ada di aplikasi wp kaa🙏🏻😭
total 1 replies
lilyflwrsss_
kerennnn bangett, alurnya bener-bener ga ketebak.
jd pengen baca terus menerus.
ditunggu updatenya kaak
_flowvtry: makasiiii kaaaa huhuu🥹🥹❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!