NovelToon NovelToon
Malapetaka Batu Luar Angkasa

Malapetaka Batu Luar Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Hari Kiamat
Popularitas:562
Nilai: 5
Nama Author: Esa

Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.

Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.

Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penderitaan yang Dimulai

7.1 Suara di Tengah Kegelapan

Hari keempat setelah hantaman meteor, kegelapan Dukhon masih menyelimuti bunker. Suasana di dalamnya semakin terasa pengap, dipenuhi dengan kesedihan dan ketakutan. Ulama itu berdiri di tengah kerumunan yang gelap, suaranya menggema di ruang sempit itu.

“Kalian tahu efek hantaman meteor kemarin?” ulama itu memulai, suaranya tegas meski dalam kegelapan. “Listrik, sinyal, dan semua kecanggihan dunia lainnya kini lenyap. Ini bukan lenyap untuk satu atau dua hari, tetapi untuk selamanya. Sampai kiamat datang. Mengerikan bukan?”

Suara-suara cemas mulai terdengar di antara kerumunan.

“Bagaimana kita bisa bertahan hidup?” tanya seorang pria, suaranya bergetar. “Apa yang akan terjadi pada anak-anak kita?”

“Semua ini terasa seperti mimpi buruk,” wanita lain menambahkan, “Kami tidak siap untuk menghadapi semua ini!”

“Tenanglah! Kita harus bersatu!” teriak seorang pria lain, berusaha menenangkan. “Kita tidak boleh kehilangan harapan!”

Ulama itu melanjutkan, “Setelah masa Dukhon 40 hari 40 malam, saat ini adalah awal dari penderitaan manusia. Bumi akan menjadi kering karena Allah menahan sepertiga air turun dari langit. Hewan-hewan ternak kita akan mati satu per satu, dan kelaparan akan menyebar di mana-mana.”

Maria, yang masih berduka untuk Mita, merasa jantungnya berdegup kencang. “Apa yang akan terjadi pada anak-anakku jika kita kehabisan makanan?” dia berbisik kepada Sarah di sampingnya.

“Kita harus tetap berdoa dan berdzikir, Maria,” jawab Sarah, berusaha menenangkan. “Itu satu-satunya harapan kita.”

Ulama itu melanjutkan ceramahnya, “Bukan hanya itu. Cobaan kedua adalah ketika Allah menahan dua pertiga air dari langit. Semua hewan ternak akan mati, dan kita akan mengalami kelaparan yang lebih parah.”

“Ini tidak mungkin!” teriak seorang wanita. “Kita harus menemukan cara untuk keluar dari sini! Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya!”

Ulama menambahkan, “Kita tidak tahu kapan Dukhon ini akan berakhir. Tapi kita bisa bertahan jika kita bersatu.”

“Apakah kita tidak bisa berusaha keluar?” seorang pria lain mempertanyakan. “Kita tidak bisa hanya menunggu dalam kegelapan ini!”

Ulama menanggapi, “Keluar ke luar akan berbahaya. Kita tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Kita harus menunggu.”

Saat ketegangan meningkat, seorang wanita mengangkat suaranya, “Apa yang harus kami lakukan? Kami hanya bisa mendengar satu sama lain dalam gelap ini!”

Ulama menjawab, “Tenanglah! Berdoalah! Kalian semua harus mempercayai Allah. Kita akan melewati ini bersama-sama.”

Ketika mendengar kata-kata ulama, beberapa orang mulai berdzikir pelan. Namun, di antara mereka masih ada yang meragukan. Suara gelisah kembali terdengar.

“Apakah dzikir ini benar-benar membantu kita?” tanya seorang pria ragu.

“Cobalah saja!” jawab ulama. “Berdzikirlah dengan sungguh-sungguh, niatkan dalam hati kalian untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga.”

Maria merasakan hatinya bergetar, terbayang akan kekacauan yang akan terjadi. Dia merangkul anak-anaknya lebih erat, mencoba melindungi mereka dari pikiran-pikiran mengerikan yang mulai memenuhi benaknya.

Ulama melanjutkan, “Kita akan mulai dengan syahadat. Ikuti saya. ‘Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah.’”

“Bagaimana jika kita tidak bisa bertahan?” tanya seorang wanita lain, suaranya penuh ketakutan. “Apa yang akan terjadi pada kita semua?”

“Kita tidak bisa berpikir seperti itu,” jawab ulama. “Kita harus berserah dan berdoa.”

Di tengah kegelapan, walaupun banyak yang merasa putus asa, kata-kata ulama itu membawa sedikit harapan. Meskipun tantangan yang ada di depan sangat menakutkan, keyakinan bahwa mereka tidak sendirian dalam perjalanan ini sedikit mengurangi rasa ketakutan di dalam hati mereka.

Ketika suasana kembali tenang, ulama memimpin dzikir bersama. Meskipun tidak bisa melihat satu sama lain, suara mereka bersatu dalam gelap, menciptakan ikatan yang tak terlihat di antara mereka. Di saat-saat sulit seperti ini, kekuatan persatuan dan doa menjadi cahaya yang menyinari jalan mereka di tengah kegelapan Dukhon.

7.2 Harapan di Tengah Ketidakpastian

Hari keempat setelah hantaman meteor. Dalam kegelapan bunker, ketegangan mulai menghilang, tergantikan oleh rasa kebersamaan yang tumbuh di antara mereka. Ulama itu berdiri tegak, suaranya mengalun lembut, berusaha memberikan penghiburan di tengah keputusasaan.

“Ketika kita berada dalam kegelapan seperti ini, kita harus ingat bahwa setiap cobaan memiliki hikmah. Jangan biarkan rasa putus asa menghancurkan iman kita,” katanya dengan tegas.

Maria berbisik kepada Sarah, “Apakah kita akan terus terjebak di sini? Apa kita akan menemukan makanan?”

“Ya, kita harus tetap berharap. Jangan biarkan rasa takut menguasai kita,” jawab Sarah, berusaha memberikan semangat. “Kita harus kuat untuk anak-anak kita.”

Di tengah kerumunan, seorang pria bernama Rahman berdiri dan bertanya, “Ulama, bagaimana kita bisa mendapatkan makanan jika semua sudah hilang? Kita butuh makanan dan air, bukan hanya doa!”

Ulama itu mengangguk, memahami kekhawatiran yang ada. “Kita harus saling berbagi apa yang kita miliki. Mungkin kita bisa mencari cara untuk menghemat makanan yang ada. Ingat, kita harus menjaga harapan.”

“Bagaimana kalau kita coba bagi-bagi makanan yang tersisa?” saran seorang wanita dengan suara gemetar. “Jika kita semua berkontribusi, mungkin kita bisa bertahan lebih lama.”

“Ya, itu ide yang bagus!” Rahman menambahkan. “Kita bisa buat semacam sistem bagi hasil. Kita semua butuh makanan, dan kalau kita bekerja sama, kita bisa membuatnya bertahan lebih lama.”

Di tengah perbincangan, seorang ibu bernama Lina mengangkat suara, “Tetapi bagaimana kita tahu bahwa semua orang akan jujur? Apa jika ada yang mengambil lebih dari yang seharusnya?”

Ulama itu menjawab, “Kita harus percaya satu sama lain. Ini adalah waktu untuk saling membantu, bukan untuk mencurigai. Ingat, di tengah kesulitan, kejujuran dan saling percaya adalah kunci.”

Ketika suara diskusi mulai mereda, ulama melanjutkan, “Mari kita berdoa. Kita akan meminta petunjuk dan kekuatan dari Allah agar bisa melewati masa sulit ini. Kita akan terus berusaha dan tidak menyerah.”

Setelah ulama selesai berbicara, suasana kembali tenang. Dengan suara-suara pelan, mereka mulai berdzikir lagi, menyatu dalam satu harapan, satu tujuan. Meskipun mereka terpisah oleh kegelapan, rasa saling percaya di antara mereka mulai tumbuh.

Maria menggenggam tangan anaknya, “Kita harus berdoa, nak. Doa bisa membawa keajaiban,” bisiknya lembut. “Kita akan melalui ini bersama.”

“Apakah kita akan kembali ke tempat yang cerah?” tanya anaknya, matanya masih menatap kegelapan.

“Ya, Insya Allah,” jawab Maria dengan keyakinan, meskipun hatinya penuh keraguan. “Kita harus percaya bahwa Allah akan memberi kita jalan.”

Di luar bunker, kegelapan masih menyelimuti dunia. Namun di dalam, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. Mereka mungkin terjebak dalam kegelapan, tetapi di dalam hati mereka, cahaya iman masih bersinar, memberikan kekuatan untuk terus bertahan dalam menghadapi cobaan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

7.3 Ketegangan yang Semakin Memuncak

Suara desahan napas yang berat dan bisikan cemas mengisi ruangan. Ulama itu berdiri, mencoba mengumpulkan perhatian semua orang.

“Kita harus bersiap menghadapi kenyataan yang lebih berat,” ujarnya dengan nada tegas. “Makanan dan air semakin menipis, dan kita harus mengatur strategi untuk bertahan hidup.”

Maria, masih menggenggam tangan anaknya, mengangkat suara, “Ulama, bagaimana jika kita tidak menemukan makanan lagi? Apa yang harus kita lakukan?”

“Jangan khawatir, Maria,” jawab ulama dengan lembut. “Kita harus tetap tenang. Situasi ini memang sulit, tapi kita harus saling membantu. Kita tidak sendirian.”

Lina, wanita yang tampak cemas, berdiri. “Bagaimana jika kita mencoba mencari jalan keluar? Mungkin ada makanan atau air di luar sana. Kita tidak bisa hanya menunggu di sini!”

“Lina, itu berbahaya!” Rahman membantah. “Kegelapan di luar sangat menakutkan. Kita tidak tahu apa yang menunggu kita di sana. Kita harus tetap di sini.”

Mendengar perdebatan itu, ketegangan di dalam bunker semakin meningkat. Sarah berusaha menenangkan orang-orang di sekitarnya. “Dengar, kita harus fokus pada apa yang bisa kita lakukan sekarang. Mari kita bagi sisa makanan kita.”

Ulama itu mengangguk. “Benar. Mari kita lihat apa yang kita miliki. Siapa yang memiliki sesuatu untuk dibagikan?”

Beberapa orang mulai merogoh tas mereka, mengeluarkan makanan yang tersisa. “Ini semua yang aku punya,” kata seorang pria, menyerahkan biskuit yang hampir hancur.

“Saya juga hanya punya sedikit roti,” jawab wanita lain, memberikan sepotong roti keras.

Saat mereka melihat sisa makanan yang begitu sedikit, rasa putus asa mulai menguasai mereka. “Apakah ini semua yang kita miliki?” tanya Maria, suaranya bergetar. “Bagaimana jika itu tidak cukup?”

“Jangan biarkan rasa putus asa menghancurkan kita,” ulama itu mencoba menenangkan. “Kita akan berdoa, dan Allah akan memberikan jalan. Ingat, kita harus bersyukur dengan apa yang kita miliki.”

Ketika mereka mulai membagi makanan, suara isak tangis mulai terdengar. “Aku tidak ingin mati di sini!” teriak seorang remaja. “Aku ingin hidup!”

“Jangan katakan itu!” seru Sarah. “Kita semua ingin hidup, dan kita harus berjuang untuk itu. Setiap detik yang kita lalui adalah perjuangan. Kita tidak sendirian.”

Ulama itu berdiri lagi, suaranya menggema di kegelapan. “Kita akan melewati ini semua. Bersama-sama. Kita harus saling mendukung. Dalam kegelapan ini, kita harus tetap bersatu. Kita adalah satu keluarga.”

Suasana mulai mereda, tetapi ketegangan masih terasa. Masing-masing dari mereka saling memandang, berusaha menemukan keberanian dalam satu sama lain.

“Kalau begitu, mari kita berdoa,” usul Maria. “Kita harus berdoa untuk keselamatan kita.”

Di dalam kegelapan, mereka mulai melafalkan doa, saling menggenggam tangan satu sama lain. Walaupun ada rasa takut dan keraguan, harapan masih bersemi di antara mereka, seolah menyala dalam kegelapan yang pekat.

7.4 Menemukan Harapan di Tengah Keputusasaan

Hari keempat setelah hantaman meteor, suasana di dalam bunker semakin mencekam. Suara-suara ketakutan dan harapan berbaur, menciptakan ketegangan di kegelapan. Ulama itu berdiri di tengah, berusaha memberikan semangat.

“Kita harus tetap berjuang,” katanya tegas. “Kegelapan ini tidak akan berlangsung selamanya. Ada pelajaran yang bisa kita ambil dari cobaan ini.”

“Pelajaran apa?” tanya Rahman, suaranya terdengar skeptis. “Kami sudah kehilangan hampir segalanya. Bagaimana kami bisa berjuang?”

“Di setiap ujian, ada hikmah,” jawab ulama. “Kita harus belajar untuk bersyukur dengan apa yang kita miliki. Meskipun makanan kita sedikit, kita masih memiliki satu sama lain.”

Suara Nisa, wanita di sudut, muncul dengan penuh ketidakpastian. “Tapi kami tidak tahu berapa lama bisa bertahan. Apa yang harus kami lakukan?”

“Memang sulit,” ulama itu mengangguk. “Tapi kita perlu bertindak. Mari kita berbagi tugas dan menjaga semangat satu sama lain.”

“Bagaimana jika kita mencari makanan di luar?” Sarah berusaha mencari solusi. “Mungkin kita bisa menemukan sesuatu, meskipun berisiko.”

“Keluar dari bunker tidaklah mudah,” Rahman memperingatkan. “Kita tidak tahu apa yang ada di luar sana. Ini mungkin lebih berbahaya.”

“Jangan menyerah sebelum mencoba!” seru Lina, bersemangat. “Kita tidak akan tahu jika tidak mencobanya!”

Ulama itu menenangkan, “Saya mengerti kekhawatiran kalian. Kita tidak bisa terburu-buru. Namun, kita juga tidak bisa tinggal diam. Mari kita periksa sekitar bunker. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita manfaatkan.”

“Baiklah,” Maria setuju. “Mari kita lihat di sini, siapa tahu ada yang berguna.”

Mereka mulai bergerak dalam kegelapan, meraba-raba. Tangan-tangan mereka menyentuh dinding dingin bunker, mencari benda-benda yang mungkin tersisa. “Aku merasakan sesuatu di sini,” kata Rahman, menyorotkan tangannya ke sudut.

“Lihat, mungkin ini sisa makanan!” Nisa mengangkat benda yang dia temukan. “Kita harus membaginya dengan hati-hati.”

Mereka mulai membagikan makanan yang ditemukan, suara kaleng beradu terdengar ketika mereka mencoba mengecek isi di dalamnya. “Hanya beberapa biskuit dan air,” ungkap Maria. “Tapi setidaknya kita bisa bertahan sehari lagi.”

“Berdoalah agar Allah memberikan lebih banyak,” ujar ulama. “Di saat-saat sulit, keimanan kita diuji. Jangan biarkan putus asa mengalahkan semangat.”

Mereka berkumpul lagi, meraba-raba dalam kegelapan dan berdoa bersama. Suara tangis dan keluh kesah masih terdengar, tetapi solidaritas mulai tumbuh di antara mereka. Dalam kegelapan, harapan mulai menemukan jalannya kembali.

“Jika kita bisa bertahan dan bersatu, kita akan melewati masa sulit ini,” ujar Sarah dengan keyakinan. “Kita tidak sendirian.”

“Benar,” ulama itu menambahkan. “Kita adalah satu. Dalam kesatuan, kita akan menemukan kekuatan.”

Dalam kegelapan yang pekat dan ketidakpastian, mereka mulai merasakan bahwa harapan masih ada.

7.5 Ketegangan di Dalam Bunker

Di tengah kegelapan yang semakin menyesakkan, suara seorang pria tiba-tiba memecah keheningan. “Aku tidak tahan lagi! Aku mau keluar!” teriaknya, suaranya penuh kepanikan.

“Diam! Jangan sekali lagi mengusik ketenangan ini!” bentak seseorang dari sudut lain. “Di luar juga gelap! Bahkan lebih panas! Apa kau mau terpanggang?”

Pria itu mengabaikan ancaman dan berteriak lagi, “Kita tidak bisa terus bersembunyi di sini seperti tikus! Kita harus mencari jalan keluar!”

Suasana dalam bunker semakin memanas. Beberapa orang mulai berbisik-bisik, menanggapi ketidakpuasan pria itu. “Dia benar, kita tidak bisa terus begini selamanya,” kata Maria, suaranya bergetar. “Tapi kita harus mempertimbangkan risikonya.”

“Risiko? Kita sudah tidak punya apa-apa di sini!” pria itu melanjutkan. “Mati di dalam kegelapan ini sama saja dengan mati di luar. Setidaknya kita bisa berjuang di luar!”

“Berjuang untuk apa?” Rahman menyela. “Kita tidak tahu apa yang ada di luar. Mungkin lebih mengerikan dari ini!”

Suara gaduh semakin riuh, dan ulama itu merasa perlu turun tangan. Ia berdiri, berusaha menenangkan mereka. “Saudara-saudara, tenanglah! Kita semua merasakan kesulitan ini. Kegelapan dan ketidakpastian membuat kita tertekan. Tapi menyerah bukanlah solusi!”

“Lalu apa solusinya?” tanya pria yang ngotot keluar, nada frustrasinya masih tinggi. “Apakah kita hanya akan menunggu sampai mati di sini?”

Ulama itu menghela napas, mencoba meredakan emosi. “Kita harus menjaga iman dan harapan kita. Kegelapan ini hanyalah sementara. Jika kita bersatu, kita bisa menemukan jalan.”

“Aku tidak bisa diam di sini!” pria itu terus melawan. “Ini bukan hidup! Ini penjara!”

“Jangan anggap ini penjara!” ulama itu menegaskan. “Ini adalah waktu untuk refleksi. Sebuah kesempatan untuk memperkuat iman kita.”

“Iman tidak akan mengisi perutku!” pria itu membentak, semakin putus asa. “Kami lapar, kami haus! Apa yang harus kami lakukan?”

“Dengarkan, setiap kali kita berdoa dan berdzikir, kita mengisi jiwa kita dengan kekuatan,” ulama menjelaskan dengan lembut. “Meskipun tubuh kita lemah, iman kita harus tetap kuat.”

Ketegangan mulai mereda sedikit demi sedikit. Beberapa orang mulai mendengarkan, meskipun masih terlihat gelisah. “Tapi bagaimana jika kita tidak bisa bertahan lebih lama?” tanya Nisa, khawatir.

“Jika kita semua berdiri bersama, kita bisa melalui ini. Mari kita ingat, kita tidak sendirian. Setiap suara di sini adalah bagian dari satu harapan,” ulama itu berusaha membangkitkan semangat.

Pria yang frustrasi itu menunduk, terdiam sejenak. Mungkin ada benarnya kata-kata ulama. Namun, ketidakpastian di luar sana masih menghantuinya. “Baiklah,” ujarnya pelan. “Tapi jika kami tidak menemukan jalan keluar, aku tidak akan diam.”

Ulama itu mengangguk, “Kita akan mencari cara. Bersabarlah. Mari kita semua berdoa dan memperkuat ikatan di antara kita. Hanya dengan saling mendukung kita bisa bertahan.”

Suasana mulai tenang kembali, meski kekhawatiran masih terlintas di wajah mereka. Dalam kegelapan dan ketidakpastian, harapan mulai merangkak kembali.

7.6 Terungkapnya Identitas

Di tengah suasana yang semakin tegang, seseorang dengan suara serak berkata, “Kau semua hanya percaya pada khayalan. Iman dan dzikir tidak akan mengisi perut kita. Kami tidak mau mati di tempat ini!”

Ulama itu menatapnya dengan penuh penyesalan. “Kau tidak mengerti, saudaraku. Iman adalah kekuatan kita. Tanpa iman, kita hanya akan terjebak dalam kegelapan.”

Pria itu melanjutkan, “Iman? Apa artinya semua itu jika kita mati kelaparan? Aku lebih memilih mencari jalan keluar meski harus melawan!”

“Apakah kau tidak melihat? Semua yang berteriak ingin keluar adalah orang-orang yang tidak beriman!” kata Rahman, mencoba mengelompokkan orang-orang yang bersuara melawan. “Kita di sini karena keyakinan kita. Kita adalah orang-orang yang percaya pada pertolongan Allah.”

“Aku bukan percaya pada mitos!” pria itu membentak. “Kami berhak untuk hidup! Kami bukan orang-orang lemah!”

“Lihat sekelilingmu!” Maria bersuara, suaranya bergetar. “Kami semua di sini bersama-sama. Mereka yang mengikuti ulama ini adalah orang-orang beriman, dan kami akan bertahan!”

Beberapa orang mulai berbisik-bisik, saling berpandangan. “Benar, kita tidak bisa membiarkan ketidakpercayaan mengacaukan harapan kita. Ini bukan waktu untuk saling berkelahi,” sahut salah satu wanita lain.

Ulama itu mengangguk, merasa dukungan mulai menguat. “Saudara-saudara, ini saatnya kita bersatu. Kita semua ingin bertahan hidup. Mari kita jadikan iman sebagai pemandu kita.”

Pria yang ngotot keluar itu menatap ulama dengan skeptis. “Jadi, kau berharap bahwa dengan dzikir, kami akan diselamatkan dari semua ini?”

“Iman dan dzikir adalah dua hal yang tak terpisahkan,” jawab ulama dengan tegas. “Kita harus berdoa dan meminta pertolongan Allah. Hanya Dia yang bisa menyelamatkan kita dari kegelapan ini.”

“Aku tidak akan percaya pada Tuhan yang membiarkan kita berada dalam kegelapan ini!” pria itu berteriak.

Dari belakang, seseorang berbisik kepada temannya, “Dia jelas tidak mengerti makna dari semua ini. Kita yang beriman harus bertahan.”

“Betul, kita tidak bisa membiarkan satu orang pun merusak harapan kita. Ini adalah saat untuk bersatu!” temannya menjawab.

Ketegangan mulai menyusut, tetapi pria itu tetap berdiri dengan sikap menantang. Ulama kemudian melanjutkan, “Kami yang percaya akan tetap berpegang pada keyakinan. Mari kita berdoa bersama dan membuktikan bahwa iman akan membawa kita keluar dari kegelapan ini.”

Akhirnya, orang-orang yang beriman mulai berdzikir dengan pelan, sementara pria itu masih terlihat ragu. “Apa pun yang terjadi, aku akan melawan,” bisiknya. Namun di dalam hatinya, keraguan mulai menggerogoti keyakinan yang telah tertanam.

Dengan situasi yang masih mencekam, setiap orang menyadari bahwa pilihan untuk bertahan hidup kini ada di tangan mereka sendiri. Apakah mereka akan memilih jalan iman atau tetap terjebak dalam ketidakpastian?

7.7 Kekecewaan dan Keterkejutan

Di tengah suasana yang semakin tegang, sekelompok orang mulai bergerak dengan niat nekat. Mereka terdiri dari beberapa orang yang menganggap diri mereka skeptis dan tidak percaya pada dzikir sebagai solusi. Mereka melawan pendapat ulama dan berusaha membuka pintu bunker.

“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru salah seorang dari mereka, suara penuh tekad. “Kalau kita tetap di sini, kita akan mati kelaparan atau kehabisan oksigen!”

Beberapa orang dari kelompok itu mulai bekerja sama untuk membuka pintu bunker besi. Suara logam yang berderit saat mereka berusaha membuka pintu menggema di dalam kegelapan. Setelah perjuangan yang melelahkan, mereka berhasil membuka pintu sedikit.

Pemandangan yang tersaji di luar segera mengejutkan mereka. Matahari yang sebelumnya tampak terang kini benar-benar tidak terlihat di balik kabut tebal. Gelap gulita menyelimuti semuanya, tetapi yang paling mencolok adalah debu dukhon yang menyelimuti segala sesuatu.

Ketika mereka melangkah keluar, debu panas segera menyapu wajah mereka. Rasa panas yang menyengat seketika mengubah ekspresi mereka menjadi kengerian. Beberapa orang berteriak kesakitan saat debu dukhon membakar kulit mereka, meninggalkan bekas luka yang serius.

“Aaah! Ini panas sekali!” teriak salah satu dari mereka, wajahnya merah terbakar. “Tutup kembali pintunya! Tutup!”

Dengan cepat, beberapa orang beriman lainnya yang menyaksikan kejadian itu berlari dan menarik mereka masuk kembali ke dalam bunker. Mereka mengunci pintu dengan cepat, menyelamatkan yang tersisa di luar dari kengerian lebih lanjut.

Di dalam bunker, suasana semakin kacau. Sekelompok orang beriman yang marah mulai berbicara dengan nada tinggi, mencela tindakan nekat tersebut.

“Kalian bodoh!” teriak Aminah, salah satu wanita beriman. “Apa yang kalian lakukan? Kalian hampir membuat semua orang mati!”

“Benar!” tambah Rahman dengan keras. “Kalian tidak hanya mengabaikan imbauan ulama tetapi juga membahayakan semua orang di sini!”

Salah seorang pria yang terlibat, dengan wajah penuh luka bakar, mencoba membela diri. “Kami hanya ingin melihat apa yang terjadi di luar! Kami tidak tahu bahwa situasinya begitu buruk!”

“Lihat apa yang kalian lakukan!” Maria menambah dengan penuh kemarahan. “Sekarang kami harus menghadapi situasi yang lebih sulit karena tindakan kalian!”

Ulama, yang selama ini mencoba menenangkan keadaan, berdiri di tengah keributan. Suaranya tegas namun lembut. “Cobalah untuk tenang. Kami semua di sini harus bersatu dan saling mendukung. Kegelapan ini bukan waktu untuk saling menyalahkan.”

Namun, kemarahan dan ketidakpuasan tetap terasa. Orang-orang beriman merasa perlu untuk menunjukkan ketidakpuasan mereka agar pelajaran bisa dipetik. Mereka berharap tindakan nekat ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi semua orang di bunker.

“Sekarang, kita harus kembali pada dzikir dan doa,” kata ulama dengan tegas. “Kita tidak boleh membiarkan ketidakpercayaan merusak persatuan kita. Mari kita berdoa dan memohon pada Allah agar Dia memberikan kita pertolongan.”

Seiring waktu berlalu, suasana di dalam bunker sedikit mereda. Namun, luka dan ketegangan tetap ada. Mereka yang mengalami luka bakar dirawat dengan seadanya, sementara semua orang berusaha mengembalikan ketenangan dan fokus pada keyakinan mereka.

1
Sandy
mantap, sangat menginspirasi
Bunga Lestary
semangatt kakk🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!