Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, malam itu adalah pertama kalinya Abi membentak Zahra supaya putrinya itu menikah dengan anak Kyai Amir, Gus Afkar. Padahal Gus Afkar adalah suami incaran sahabatnya, dan dia sebenarnya berencana untuk lanjut S-2 dulu.
Setelah pengorbanannya, ia harus menghadapi sikap sang suami yang tiba-tiba berubah dingin karena setelah akad nikah, dia mendengar rencana Zahra yang ingin menceraikannya. Belum lagi, reputasi pondok yang harus ia jaga.
Mampukah Zahra bertahan diantara orang-orang yang punya keinginan tersendiri padanya? Dan akankah ia dapat mempertahankan rumah tangganya?
Zahra sang anak kesayangan keluarga, benar-benar ditempa dalam lingkungan baru yang tak pernah ia sangka-sangka sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nur Halimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengapa aku terus memikirkannya
Zahra tersenyum melihat tingkah Ning Alfiyah yang berjalan cepat keluar dari rumahnya.
“Sepertinya kau begitu nyaman bersandar pada dadaku, Dek?”
‘Hah!’
Zahra terkesiap kecut menatap pipinya yang menempel pada dada Gus Afkar, dan bahunya yang dipeluk erat oleh kedua tangan lelaki itu.
Ia segera melepaskan dirinya dari dekapan lelaki itu sambil mendorongnya sekuat tenaga.
Tapi sekali lagi lelaki itu mendekapnya lebih kuat.
Zahra melirik ke atas sambil menatapnya tajam.
“Sebentar saja, sebentar! aromamu sungguh menyegarkan, batinku menjadi tenang,” Ucap lelaki itu sambil menatap dalam-dalam mata Zahra.
Zahra luluh, ia akhirnya menunduk sambil tersenyum menggigit bibir bawahnya.
“Apakah kau tersenyum?” tanya lelaki itu sambil menilik wajah Zahra.
Zahra mendadak terkesiap menatap wajah lelaki itu yang kini terlihat berbinar-binar memandangnya.
Ia menelan ludahnya sendiri, dadanya kembali berdebar tak karuan.
Perlahan, lelaki itu mulai membalikkan badan Zahra menghadap dirinya, sambil tetap memegang bahunya.
“Kau terlihat sangat menggemaskan,” bisik lelaki itu lirih sambil menatap mata kanan dan kiri Zahra bergantian dalam-dalam
“Sepertinya aku tidak bisa menahannya lagi,” lanjutnya.
Deg
Lelaki itu memejamkan matanya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Zahra.
Jantung Zahra terasa berat, nafasnya terhenti, tanpa sadar ia ikut terhanyut dalam suasana tersebut.
Aamiin yaqina, ya moustahila, Aammin yaqina bil amal ya moustahila…..
Tiba-tiba terdengar suara nada dering telepon dari saku Zahra
‘Allah Bagaimana aku bisa melupakannya?’
“Itu terdengar seperti…..” ucap sang suami sambil melirik ke saku gamis Zahra.
Zahra yang bingung harus menjawab apa, langsung mengeluarkan ponsel itu dari sakunya dan meletakkannya di atas tangan suaminya, dan berlalu begitu saja.
Gus Afkar terlihat bengong menatap ponselnya tersebut.
‘Kalau tak kujelaskan dia bisa berpikir macam-macam’ pikir Zahra kemudian berbalik dengan cepat ke arah Gus Afkar dan menghampirinya.
Lelaki itu menatapnya dengan heran dan penasaran.
Tapi Zahra tidak peduli, dia ingin segera menyelesaikan kalimatnya karena saking malunya.
“Aku melihat ponsel itu kamu pegang di atas dadamu, aku— takut dia jatuh karena kamu sudah tertidur, dan juga—radiasinya tidak baik untuk kesehatanmu jadi—aku mengambilnya” ucap Zahra tanpa intonasi, kemudian membalikkan badannya keluar dari kamar itu menuju toilet untuk bersembunyi dari suaminya.
Sayup-sayup terdengar Gus Afkar menggodanya dari jauh, “terima kasih ya sudah perhatian sekali sama aku, suamimu ini.”
‘Terserah’ pikir Zahra berlalu dengan cepat.
‘Bagaimana bisa sich, Zahra? Itu memalukan sekali’ lanjutnya sambil merengut malu.
******
Sebuah notifikasi pesan WA masuk di ponselnya.
Zahra segera meletakkan bukunya di atas meja dan mengambil ponselnya tersebut.
Salam sayang dari Imam Surgamu, in sya Allah
Ia langsung senyum-senyum sendiri membaca pesan dengan sticker photonya di pantai dari suaminya itu, yang baru pamitan pergi untuk mengisi Khutbah Jumat di Masjid Akbar Surabaya.
‘Allahumma aamiin’ doanya dalam hati tanpa sadar.
‘Zahra apa yang barusan kamu katakan?’
Ia ingin membatalkan kalimat in sya Allah itu dengan naudzubillah, tapi rasanya hatinya begitu berat. Pikirannya terus mengingatkannya tentang janjinya pada Nayla, tapi perasaannya tak bisa menanggungnya.
Ia tatap foto pengantin yang terpajang begitu besar di atas dinding kamarnya itu.
‘Apakah kamu benar-benar sanggup untuk mengikhlaskannya untuk sahabatmu, Zahra. Bahkan Allah sendiri saja yang mengatur dan mentakdirkannya dengan caranya, meski kau tak tak menginginkannya waktu itu.
Ia kemudian memegang dadanya yang terasa aneh tiap kali berdekatan dengan lelaki itu. Bahkan rasa itu tak pernah muncul ketika ia bersama Kak Adrian, meski ia begitu mengagumi sosok tersebut.
‘Apa ini cinta? atau aku hanya terpancing perasaan suamiku saja?’
Zahra yang masih memegang dadanya itu, menatap heran ke arah photo suaminya itu sambil bertanya-tanya.
‘Kenapa aku bahkan berdebar saat menatap photomu saja?’
Semakin ia berpikir, semakin banyak yang ia tanyakan.
Albi ya Albi…..
Ia tersentak kaget mendengar nada dering dari panggilan telepon di ponselnya.
Ia kembali tersenyum setelah mengalihkan pandangannya ke arah layar ponsel itu dan mendapati tulisan Gus Afkar dengan emoticon snow.
‘Dan kenapa aku tersenyum tiba-tiba begini’ pikirnya keheranan dan segera memasang wajah serius, kemudian langsung mengangkat panggilan tersebut, tapi tepat ia mengangkatnya, panggilan tersebut terputus.
Ia menghela nafas panjang penuh sesal, kemudian merebahkan punggungnya di atas sandaran sofa dengan malas.
Namun baru saja ia bersandar, panggilan telepon itu kembali berdering. Ia segera mengangkatnya dengan antusias, “Assalamualaikum, Gus.”
“.......”
‘Astaghfirullah malu!, harusnya aku tadi melihat ini telepon dari siapa?’ gerutu Zahra sambil menarik ponsel itu dari telinganya dan mengecek siapa yang menelpon dengan wajahnya yang berkernyit malu.
“Eh iya, Ning Alfiyah?” jawab Zahra berpura-pura bersikap sewajarnya supaya tidak semakin digoda.
“......”
“Baik Ning, Saya kesana.”
“.......”
“Waalaikum salam.” ucap Zahra sambil menutup telepon itu.
Ia menggigit bibirnya dan merengut malu.
‘Zahra…. Zahra! bisa-bisanya kamu langsung angkat saja dan tak melihat siapa yang telpon, Dasar ceroboh!’ gumam Zahra menyalahkan dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya sendiri.
“Aw!” teriaknya sakit.
‘Tapi kenapa aku begitu antusias mengangkatnya, setelah begitu kecewa telpon tersebut terputus?’ pikir Zahra yang mulai kepikiran lagi, membuatnya semakin heran dan penasaran dengan perasaannya sendiri.
“Zahra….. zahra! kamu ini kenapa sich?” ucap Zahra kemudian mengacak-acak kerudung di kepalanya karena semakin dipikirkan, semakin membuatnya bingung.
Namun kemudian ia menyesal sudah mengacak-acaknya, bukankah ia harus segera menemui Ummi Aminah di rumahnya.
Ia segera berjalan masuk ke kamarnya dan bercermin untuk merapikan kerudungnya dan berangkat menuju kediaman ibu mertuanya itu.
Zahra yang sudah berada di luar teras rumah, memandang jauh ke atas mentari yang terlihat begitu terik itu, hari memang sudah menjelang siang.
‘Apa Gus Afkar sudah sampai ya?’ pikir Zahra kemudian beristighfar lagi kenapa ia memikirkan lelaki itu lagi.
Ia segera menurunkan kepalanya dan mulai berjalan. Terlihat dari jauh beberapa santri berjalan menuju masjid dengan pakaiannya yang rapi dan rambutnya yang klimis.
‘Kira-kira baju Gus Afkar masih rapi atau sudah lusuh ya, karena perjalanan jauh ke surabaya.?’ gumamnya dalam hati kembali, lalu beristighfar kembali sembari memalingkan muka ke arah jalan menuju rumah Kyai Amir.
Tak berapa lama ia telah sampai di depan rumah Kyai Amir. Terlihat Ummi Aminah sedang menyelempangkan sorban salur yang sudah dilipat rapi di bahu kanan suaminya tersebut seraya berkata, “Nanti langsung pulang ya, Bi! Ummi sudah menyiapkan makan siang spesial untuk Abi.”
Lelaki itu tampak tersenyum mengangguk.
‘Apa Gus Afkar nanti dapat makan siang ya?’
Sekali ia berpikir tentang lelaki itu dan beristighfar.
ia sendiri heran, kenapa ia terus-terusan memikirkannya.
“Masya Allah, ada Ning Zahra,” sapa Kyai Amir yang baru saja tampak keluar membuat Zahra yang tengah melamun sedikit terperanjat.
“Nggih Aba Kyai!” jawab Zahra santun.
“Masuk saja langsung! Ummimu itu sepertinya sudah menunggumu, kayaknya gak puas kalau tak melihat menantunya sehari saja,” ucap Kyai Amir kemudian berlalu.
Zahra menurutinya dan masuk ke rumah tersebut.
“Assalamualaikum!” salam Zahra sambil memandang Ummi Aminah yang sedang duduk di ruang tamu.
“Waalaikum salam, Alhamdulillah kamu sudah datang, Ning. Sini duduk sama Ummi!” ajak mertuanya itu sambil menepuk-nepuk space kursi di sebelahnya.
“Nggih, Ummi,” jawab Zahra sambil berjalan menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Zahra Ummi mau minta tolong, kamu yakinkan suamimu itu supaya ia menerima Nayla mengajar di Madrasah ini,” ucap Ummi Aminah.
Deg