Terima atau tidak, mau tak mau manusia harus menerima kenyataan itu. Bahwa mereka terlahir dengan apa adanya mereka saat ini. Sayangnya manusia tak bisa memilih akan dilahirkan dalam bentuk seperti apa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang berlomba-lomba memilih versi terbaiknya sebelum lahir ke dunia.
Terkadang hal istimewa yang Tuhan beri ke kita justru dianggap hal aneh dan tidak normal bagi manusia lain. Mereka berhak untuk berkomentar dan kita juga berhak memutuskan. Mencintai diri sendiri dengan segala hal istimewa yang Tuhan tuangkan dalam diri kita adalah suatu apresiasi serta wujud syukur kepada sang pencipta.
Sama seperti Nara, yang sudah sejak lama menerima kenyataan hidupnya. Sudah sejak dua tahun lalu ia menerima panggilan spiritual di dalam hidupnya, namun baru ia putuskan untuk menerimanya tahun lalu. Semua hal perlu proses. Termasuk peralihan kehidupan menuju hidup yang tak pernah ia jalani sebelumnya.
Sudah setahun terakhir ia menjadi ahli pembaca tarot.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Dipa Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengobatan
Jadwal bus selanjutnya tak terlalu lama. Jika berdasarkan papan informasi, seharusnya mereka hanya perlu menunggu sekitar sepuluh menit lagi saja. Kebetulan hanya ada Nara dan Baron di halte saat ini. Tidak ada calon penumpang lain yang ikut menunggu untuk sementara waktu.
Meski halte tampak sepi, tidak dengan jalanan di depan mereka yang tampak ramai lancar. Nara tak banyak bicara sejak tadi. Selain tak ada topik yang penting untuk diperbincangkan, gadis itu juga tak punya banyak energi untuk berceloteh. Ia bukan tipikal orang yang suka bersosialisasi. Dirinya cukup tertutup. Bisa dikatakan sebagai seorang introvert.
Begitu pula dengan Baron, ia tak mau menganggu ketenangan gadis itu. Sehingga Baron hanya membiarkannya menikmati dunianya sendiri.
Sudah sejak beberapa menit lalu Nara hanya duduk sambil mengayunkan kedua kakinya. Dengan pandangan yang lurus ke depan. Memperhatikan deretan mobil dan kendaraan lain ysng berlalu lalang di depannya. Sesekali juga menoleh ke kanan dan kiri untuk memeriksa apakah bus mereka sudah hampir tiba atau belum.
Kegiatan Nara sudah berlangsung sejak tadi dan ia tampak enggan berpaling. Gadis itu sepertinya cukup menikmati pemandangan yang ada di depannya.
'BRAKK!!!'
Secara tiba-tiba dua mobil dari arah berlawanan saling beradu kepala. Tabrakan baru saja terjadi tepat di depan mata mereka.
Mata gadis itu terbelalak lebar. Ia tercengang dengan peristiwa yang baru saja terjadi di depannya. Otaknya masih sibuk memproses segala informasi yang baru ia terima.
Hal yang sama juga terjadi pada Baron. Ia cukup terkejut dengan hal barusan. Pria itu sama sekali tak menyangka akan terjadi hal semacam ini.
Semuanya terjadi dengam begitu cepat. Hanya dalam hitungan detik semuanya jadi kacau. Situasinya berubah seratus delapan puluh derajat. Yang semula sangat damai, kini menjadi cukup menegangkan.
Dalam hitungan detik pula polisi dan mobil ambulan datang ke lokasi kejadian. Mereka bergerak dengam cepat saat menerima informasi darurat.
"Apa ada korban jiwa?" tanya Nara dengan suara yang bergetar.
"Ku rasa begitu," jawab Baron.
Gadis itu masih cukup terkejut dengan apa yamg baru saja terjadi di depannya. Beruntung bantuan medis dan polisi segera datang. Jika mereka terlambat, maka belum tentu orang-orang di dalamnya akan selamat.
Beruntung tak lama setelahnya bus mereka juga sudah datang. Baron buru-buru menarik tangan gadis itu untuk masuk ke dalam bus. Jika dilihat terlalu lama, kecelakaan tadi bisa menjadi memori traumatis bagi Nara.
"Ini minum dulu," tawar Baron tepat setelah bus melaju.
Nara sama sekali tak menolaknya. Ia langsung meraih botol minum yang disodorkan oleh pria itu. Kemudian meneguknya beberapa kali. Berharap sedikit air putih bisa membuatnya kembali waras.
"Terima kasih," ucap Nara lalu mengembalikan botol tersebut.
Baron tersenyum tipis sebagai respon balik.
"Sudah, jangan dipikirkan lagi soal kecelakaan itu," ujar Baron berusaha menenangkan.
"Bagaimana bisa aku melupakannya. Yang tadi itu benar-benar mengejutkanku," protes Nara.
"Mau aku bantu melupakannya?" tawar Baron.
"Bagaimana caranya?" tanya gadis itu dengan serius.
"Kau hanya perlu memandangi wajahku dan semuanya akan baik-baik saja," jawab Baron dengan santai.
Sontak Nara langsung memukul bahu pria itu dengan perasaan kesal. Padahal ia sudah menanggapinya dengan serius tadi.
...****************...
Mereka sudah sampai sejak sekitar sepuluh menit yang lalu. Namun tam bisa langsung masuk. Meski sejak dulu Nara selalu datang ke klinik ini jika ada masalah kesehatan, tetap saja ia harus menaati peraturan. Mereka masih harus menunggu antrian lagi. Entah sampai kapan mereka harus menunggu tak ada yang tahu.
"Sepertinya antrian kita masih lama," ujar Nara.
"Sudah jam makan siang. Mau makan dulu?" tanya Baron.
"Tidak, aku tidak lapar," ucap gadis itu.
"Sampai kapan pun kau tak akan pernah merasa lapar," cecar Baron.
Gadis itu lantas memicingkan matanya. Menatap pria yang duduk di sebelahnya dengam tatapan sinis. Ia sama sekali tak terima jika diejek seperti itu oleh Baron hanya karena dirinya malas makan.
"Nara!" sahut seseorang dari ambang pintu.
Ternyata itu adalah seorang perawat yang sepertinya bertugas memanggilkan nama-nama pasiennya. Gadis itu merasa cukup terkejut karena namanya dipanggil beberapa saat setelah ia mengeluh jika sepertinya gilirannya masih lama lagi.
Nara dan Baron saling melempar pandangan satu sama lain. Mereka tampak sama-sama kebingungan.
"Nara!" sahut wanita itu sekali lagi.
"Ayo!" ajak Baron.
Lagi-lagi pria itu menarik tangan Nara. Hari ini ia bertugas untuk menuntunnya. Baron akan menjadi instruktur khusus bagi Nara hanya untuk hari ini. Hitung-hitung sebagai permintaan maafnya juga.
"Selamat siang!" sapa Nara.
Mereka langsung menuju tempat duduk yang sudah disediakan.
"Siang!" sapa doker Hara balik.
"Apa namaku benar-benar secepat ini di panggil?" tanya Nara untuk memastikan.
"Aku meletakkanmu di daftar prioritas," jawab wanita itu secara gamblang.
"Tapi bagaimana jika pasien lain melihatnya? Mereka akan protes," balas Nara panik.
Ia tak mau mendapatkan masalah lain hanya karena urutan prioritas itu. Belakangan ini hidupnya sudah dihampiri oleh cukup banyak masalah. Nara tak mau menambah lebih banyak masalah.
"Tenang saja, mereka tak akan memperhatikannya," jelas Dokter Hara.
"Lagi pula ibumu sudah membuat janji temu denganku," sambungnya.
"Baiklah," jawab Nara.
Meski masih merasa cemas, ia tak mau terlalu memikirkannya. Nara menyerahkan segala urusannya pada wanita itu. Toh bukan Nara juga yang memutuskan dan mengaturnya. Hanya Dokter Hara yang memiliki wewenang di sini.
"Baiklah, jadi apa keluhanmu?" tanya Dokter Hara.
Ia memulai diagnosisnya dengan pertanyaan mendasar. Selebihnya Nara yang akan menjelaskan. Wanita itu hanya memberi pertanyaan pancingan saja.
"Beberapa waktu lalu aku baru saja mendapatkan serangan dari sosok siluman. Dan serangan itu meninggalkan luka di tangan serta kakiku," jelas Nara sebagai pembuka juga.
"Kau mendapatkan serangan dari dunia gaib tapi datang ke dokter di dunia nyata?" tanya Dokter Hara kebingungan.
"Seharusnya kau temukan dokter di dunia gaib," tambahnya.
"Ayolah, ku mohon," pinta Nara.
"Jadi apa yang bisa ku lakukan?" tanya wanita itu.
"Tolong periksa kondisi lukaku. Apakah parah atau tidak," jelasnya kemudian.
"Kalau begitu tunjukkan lukamu padaku!" perintah Dokter Hara.
Nara lantas segera menuruti permintaannya. Ia membuka lukanya yang terbalut kain kasa sejak kemarin. Membiarkan wanita itu mengeceknya.
"Kondisinya tidak terlalu buruk. Seharusnya akan sembuh dalam satu minggu ke depan," jelas Dokter Hara.
Selanjutnya ia mengambil beberapa salep dan mengoleskannya di area luka setelah dibersihkan. Lalu membalutnya dengan kain kasa yang baru.
"Aku akan memberikan beberapa obat makan dan obat salep," ucap dokter itu.
"Minumlah secara rutin. Jangan lupa untuk rutin membersihkan lukanya juga," sambungnya.