Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Di Jumat siang, seorang wanita cantik berhijab dan berpakaian modis, tengah memeriksa formulir Mahasiswa Pascasarjana yang mengikuti seminar.
Saat tiba di lembar terakhir, dia menghentikan kegiatannya. Karena tangannya gemetaran tanpa aba-aba.
Wanita itu mengangkat lembaran formulir ke depan wajahnya. Dia baca dengan teliti nama seseorang yang begitu sangat dia rindukan.
Seseorang yang pernah ada di hatinya, sebelum dia memutuskan untuk menikah karena dijodohkan. Dan tepat di saat seseorang itu mendapat tugas mengabdi di daerah terpencil, sebagai Guru PNS.
Pernikahannya pun tak berjalan mulus dan lama. Pernikahan itu kandas, bahkan di tahun pertama. Huh! Tidak sebanding dengan pengorbanannya, yang memutus sebelah pihak perasaan cintanya pada seseorang itu.
Bibir wanita itu tertarik ke samping. Dia agak tertegun ketika tahu ada nomor WhatsApp yang tertera di sana.
Tanpa babibu, wanita itu langsung menyimpan nomor itu dengan perasaan berdebar di dalam dada.
.....**.....
Setelah urusan bensin selesai, Halim langsung mengajak Istri tercintanya untuk berangkat.
Medina bangkit dari duduknya dengan sumringah. Tapi beberapa detik kemudian dia mengerutkan kening, melihat Suaminya hanya berdiri menatap dirinya dari atas sampai bawah.
Medina refleks ikut-ikutan memperhatikan penampilannya.
‘Perasaan penampilan gue udah pas. Gue udah pake gamis, sama hijab syar’i. Manset tangan sama kaos kaki juga udah terpasang. Apanya yang salah?’
“Abang, kenapa? Apa ada yang salah sama penampilan Adek?”
Halim terkekeh sambil mendekat dan mengusap lembut pipi Medina.
“Bentar ya, Dek? Abang ke dalam sebentar.”
Halim langsung berlari kecil masuk ke dalam rumah.
Lagi-lagi Medina geleng-geleng kepala. Entah kenapa, tingkah Suaminya masih susah untuk dia tebak.
Medina tersenyum, mungkin begini rasanya menikah tanpa pacaran. Masih harus saling mengenal satu sama lain.
Tak lama Halim keluar. Jaket denim sudah terpasang di badannya. Halim kembali berlari kecil menghampiri Medina yang berdiri di halaman, dekat dengan motor.
Medina memandang penuh takjub, pada Suaminya yang begitu mempesona itu.
‘Subhanallah. Ini Suami gue ‘kan? Kok ganteeeeeng beut! Boleh sombong gak ‘sih, kalau gue punya Suami ganteng?’
Melihat Istrinya Cuma bengong mandangin dia, membuat percaya diri Halim meningkat 150 persen.
Nikmat mana lagi yang hamba dustakan?
Apa lagi yang Halim inginkan sekarang, selain sering-sering membuat Istrinya terpesona akan dirinya.
Entah kenapa, rasanya ‘kok bahagia kali gitu, ya? Kalau Istri jatuh cinta terus sama diri ini? Begitu kira-kira isi pikiran Halim.
“Adek, Adek pake masker ini, ya? Ini punya Bibah, Abang colong 1 untuk Adek.” Halim mengulurkan masker pada Medina.
Medina bengong. Bengong dengan tindakan Suaminya, dan agak terbodoh sikit dengan ucapan Suaminya.
Halim mengernyit, kenapa Istrinya Cuma diam aja?
Tanpa menunggu jawaban Istrinya, Halim langsung pakaikan saja masker hijab itu ke wajah Medina.
Setelah itu dia senyum-senyum. “Alhamdulillah. Wajah Adek jadi tertutup. Adek terlalu cantik untuk dipandang oleh yang bukan mahram. Nanti kita beli maskernya, ya?”
Setelah berucap begitu, Halim langsung naik dan duduk di atas motornya.
Medina terkesiap mendengar ucapan sweet dari Suaminya.
Jantung di dalam dada terasa terpompa lebih cepat. Medina menoleh ke arah Suaminya yang tengah memakai helm, dan menghidupkan motornya.
Medina tersenyum dengan pipi yang mulai terasa panas. Ditambah lagi dia pakai masker, makin menjadi panasnya.
Medina menunduk malu-malu. Diam-diam dalam hati, Medina bersyukur bersuami kan Halim yang begitu menjaganya.
Kalau Halim sudah menjaga, dia akan menjadi yang terjaga. Dirinya hanya milik Suaminya, Abiyan Halim. Oouuh, nyebutkan namanya aja udah bikin kesemsem gimana gitu, yaaa. Omaygot!
“Adek, ayo berangkat.”
“Egh, iya, Bang.” Medina mendekat dan mencoba untuk naik ke motor sport Halim.
“Bisa naiknya, Dek?”
“Masih mau Adek cobak, Bang.”
Medina menaikkan sedikit gamisnya. Melihat itu, Halim langsung membelalak.
“Eh! Eh! Kok diangkat gitu gamisnya, Dek?” cecar Halim dengan hebohnya.
Medina lagi-lagi terkejut dengan spontanitas Suaminya. “Kalau gak Adek naikkan, terkoyak lah gamis Adek, Bang. ‘Kan mau duduk mengangkang, Bang.”
Mendengar kata ‘mengangkang’, otak Halim langsung loading ke hal lain. Dia jadi cengar-cengir. Gini kali ya, Woi! Sebagai pria dewasa yang sudah beristri. Tapi belum dapat kebutuhan, sesuai keinginan yang terpendam di dalam hati.
Tuh, kan! Suaminya mulai agak laen lagi tingkahnya. Apa Suaminya gak tahu, ya? Cara naik orang pakai gamis, ya memang kayak tadi.
‘Subhanallah. Suami gue unik juga orangnya. Apa Suami gue terlalu bahagia kali, ya? Sampek entah yang ke berapa kali senyum-senyum sendiri?’
“Abang!” Medina sudah gemas setengah ampun.
Halim tersentak. “Astaghfirullah. Ayo naik, Dek. Aurat Adek gak ada yang kelihatan ‘kan?”
Medina tersenyum. “Insya Allah, gak, Bang.”
“Ayo Abang bantu naik.”
Halim menengadah tangan kirinya untuk Medina genggam. Medina juga berpegangan pada bahu Halim.
“Adek, peluk Abang, ya?”
“Egh, iya, Bang.”
Halim menggeber sekali motornya, lalu mulai melajukan kuda besi itu keluar dari area rumahnya.
Sepanjang perjalanan, Halim tak henti-henti mengucap syukur pada Allah. Bersyukur karena jodohnya yang sudah tertulis di Lauhul Mahfuz, adalah gadis cantik yang tengah memeluknya ini.
Halim berjanji akan mencintai dan menyayangi Medina sepenuh hati, jiwa dan raga. Akan setia selamanya, hingga tua bersama.
‘Keren kali gak ‘sih aku sekarang ini? Aku bonceng Medina. Istri aku. Ya Allah. Impian aku.’
Halim membawa Medina ke mal yang ada di kota. Dengan perjalanan memakan waktu sekitar sejam.
Medina turun dengan pelan dibantu Halim.
Tak lupa Halim membantu melepaskan helm Medina, yang baru saja mereka beli tadi di jalan.
Medina tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Tahu gak ‘sih, Medina bilang makasih aja, Halim udah gemas setengah ampun. Halim mode ingin peluk cium sudah mulai on, dan tidak pada tempatnya.
Halim melepaskan helm dan turun dari motornya. Tanpa minta ijin Medina, dia gandeng tangannya dan melangkah masuk ke dalam.
Medina berjalan mengikuti langkah Suaminya. Dia celingak-celinguk ke sana ke mari. Jujurly, ini kali pertama dia pergi ke mal.
Bahkan dia sempat merasa kedinginan terkena hembusan AC, saat masuk tadi.
Gimana bisa dia ke sini? Dari umur 12 tahun, sudah ditinggal Ayah. Ibunya berjuang mati-matian untuk biaya makan mereka dan sekolahnya.
Medina baru merasakan yang namanya punya hp saja, ketika dia baru masuk SMK.
Medina mengepal tangan kirinya sendiri. Semoga dia tidak bertingkah norak, yang akan membuat malu Suaminya di sini.
“Egh, Abang.”
Halim menoleh ke samping dan tersenyum. “Ya?”
Medina celingak-celinguk sekilas sebelum kembali menatap Suaminya. “Kita ke sini mau ngapain?”
“Abang mau beli baju, Dek. Lihat ini!” Halim menyibak jaketnya, dan menunjukkan bentuk perut maskulinnya itu dari balik kaos putih yang dia kenakan. “kaos Abang udah pada ngepas semua, Dek. Makanya Abang tadi pakai jaket, biar gak ada mata-mata yang melihat tubuh Abang.”
Medina senyum-senyum dari balik maskernya.
“Abang juga mau belikan baju untuk Adek.”
Kedua alis Medina naik. “Baju? Adek gak usah beli baju, Bang. Baju Adek masih ada.”
Halim pasang senyum tampan bin mempesona. Yang membuat Medina tidak berkutik, dan memilih menunduk.
Halim mencolek dagu Medina. “Turuti aja perintah Abang ya, Dek?”
Medina langsung mengangguk, tanpa membantah lagi.
Halim membawa Medina ke toko baju muslimah.
“Adek, pilih baju yang Adek mau, ya?” perintah Halim sembari mengusap kepala Medina dengan sayang.
Tanpa mereka tahu, semua pengunjung yang punya mata di sana, memperhatikan mereka.
"Itu, kok Suaminya co cweeet kali gitu, ya? Laki gue, boro-boro ngusap kepala gue. Sampek mal aja, mata gue langsung ditutup. Ngapain ke mal kalau mata ditutup, coba?"
"Itu, Istrinya pasti cantik itu. Tertutup masker gitu."
"Itu, Suaminya ganteng kali, woiii!"
Bisik-bisik mulai terdengar. Halim yang dengar ‘sih. Halim anggap saja sebagai bisyikan syehtan.
Medina tersenyum, tampak dari matanya yang menyipit dari balik masker. Dia mendekat dan merangkul lengan Halim.
“Abang, bantu pilihkan, ya?”
Nada bicara Medina terdengar begitu manja di telinga Halim. Halim mengulum senyum. Saking bahagianya, rambut dia seakan terasa dihembus angin kencang dari bawah. Semeriwing , dingin-dingin gimana gitu. Beeerrrr.
Halim mengusap pipi Medina. “Baiklah, Istri Abang. Abang pilihkan, ya?”
Medina mengangguk senang. Toh, tingkah dia begini wajar ‘kan ya? Sama Suaminya sendiri.
Baru saja hendak melangkah menuju baju-baju. Hp Halim berbunyi dari balik kantung jaketnya.
Medina menoleh. “Ada yang nelpon, Bang?”
“Adek duluan, ya? Biar Abang lihat dulu.”
Halim mengambil hp dan menatap layarnya. Halim mengernyit, ketika tahu kalau ini nomor yang tadi. Yang telponin dia dan mengirim chat aneh.
‘Siapa ‘sih ini?’
Tring.
[Halim, aku rindu sama kamu. Bisa kita bertemu?]
'Lagi-lagi si aneh ini gangguin aja! Astaghfirullah! Betingkah kali 'sih jadi orang!'
......***......
Assalamu'alaikum Pembaca aku 🤗.
Maaf ya kalau ada salah kata dan agak kurang nyambung. Akoh lagi sakit ini, kepalanya agak pucing. 🤣
Dan maaf juga ya kalau ada kata-kata aku yang agak kasar, atau ada yang kalian kurang mengerti. Bahasa orang Medan kadang kayak gitu ya, weh. 🤣
selamat membaca. Dan jangan lupa like ya, Weh.
Akoh pada kalian, sarang heo love muah muah 💐❤️🤟🏻
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan