Dimana kehidupan sebuah keluarga yang semula hangat, nyaman dan tentram berubah menjadi medan perang.
Virani Kavita. Panggil saja Vira, dia sudah menjadi istri seorang pemuda kaya selama tiga tahun. Dahulu Vira tak menemukan adanya hal aneh saat beberapa kali berkunjung ke rumah ibu mertunya. Namun, seiring berjalannya waktu banyak hal yang membuat Vira bertanya-tanya sebenarnya apa yang disembunyikan Panji, suaminya itu.
Keanehan demi keanehan yang ada membuat Vira semakin muak, membangkitkan naluri kecurigaannya. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit rahasia keluarga suaminya itu pasti akan terbongkar.
Ternyata banyak hal yang tidak Vira tahu mengenai bisnis rahasia keluarga suaminya. Berbagai dugaan muncul, satu per satu fakta terkuak.
Vira merasa bingung bagaimana harus bersikap. Mempertahankan rumah tangganya dengan tertawa diatas penderitaan orang lain atau memilih melarikan diri.
Sebenarnya apa rahasia yang ditutupi keluarga suaminya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Nur Safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti & Saksi
Setelah memastikan tidak ada barang lain yang tersembunyi di dalam pakaian Heru, mereka pun menggotong pria itu untuk dibawa ke dalam rumah kosong itu lalu mengikatnya menggunakan tali besar di atas ranjang kamar lain.
"Tunggu disini ya, Ra! Kakak akan menyembunyikan mobilnya dulu."
Vira mengangguk lalu duduk di sebuah kursi kayu sambil menatap pria yang tak sadarkan diri itu.
"Semoga saja aku bisa mendapatkan petunjuk darinya mengenai keberadaan bayiku saat ini," gumam Vira.
Untung saja ponsel milik Heru tidak menggunakan kunci sandi, jadi lebih memudahkannya untuk membuka ponsel miliknya. Vira segera membuka pesan di aplikasi WhatsApp untuk menemukan sebuah petunjuk.
"Apa dia belum sadar, Ra?" tanya Bagas yang baru saja kembali lalu duduk di samping Vira.
"Belum kak, aku sedang membuka ponsel milik pria itu."
Benar saja ada riwayat pesan dengan nomor kontak ibu mertua Vira. Tetapi sepertinya Heru sudah menghapus riwayat pesan sebelumnya, karena hanya ada beberapa bait pesan baru yang tersisa.
(Bayi itu sudah mati, aku tidak ingin repot mengurus pemakamannya, ambil kembali bayi itu dan urus sendiri pemakamannya) pesan dari Heru untuk Sinta.
"Bisa jadi, bayi yang Heru maksud adalah bayi yang dikubur pengawal ibu mertuamu di belakang gudang perkebunan itu, Ra." ucap Bagas.
Vira hanya diam sembari menoleh menatap wajahnya.
(Kenapa bisa mati?) balasan dari Sinta.
(Sepertinya bayi itu punya penyakit bawaan, siang ini silahkan ambil bayi ini!)
(Iya baiklah, tapi kamu jangan meminta ganti rugi padaku karena kemarin aku sudah memberikanmu penggantinya, bayi perempuan yang sangat cantik) balasan dari Sinta.
Vira menoleh menatap wajah Bagas setelah membaca pesan dari Sinta. Apa jangan-jangan bayi perempuan yang ia maksud itu adalah anaknya? Karena riwayat pesan ini ada di dua hari setelah tanggal Vira melahirkan kemarin.
"Apa jangan-jangan yang dimaksud mertuamu itu anakmu, Ra? Bayimu itu kan, juga lahir berjenis kelamin perempuan?" ucap Bagas.
"Bisa jadi, kak. Aku juga punya pikiran yang sama denganmu."
Vira screenshot isi percakapan itu lalu mengirimkannya ke ponselnya, ini bisa dijadikan bukti bahwa Sinta memang memiliki bisnis rahasia yaitu menjual belikan bayi yang baru lahir.
Dan sepertinya Vira sudah tidak perlu lagi kembali ke rumah itu, karena ia sudah memiliki beberapa bukti dan dua orang yang bisa dijadikan saksi. Jadi mereka bisa langsung melapor pada pihak kepolisian.
"Dengan bukti-bukti ini aku rasa semuanya sudah cukup dan aku tidak ingin kembali lagi ke rumah itu, kak."
Bagas diam sesaat lalu menoleh kearah Vira.
"Apa kamu sudah merekam lubang bawah tanah itu, Ra?" tanya Bagas.
"Belum," jawab Vira sambil menggelengkan kepala.
"Sebenarnya bukti akan lebih kuat jika kita memiliki video lubang bawah tanah itu, Ra. Tetapi kakak juga khawatir denganmu, kakak takut nanti kamu akan kesulitan jika ingin melarikan diri lagi dari rumah itu."
Vira menatap wajah Bagas sambil berpikir, dalam keadaan seperti ini ia tidak boleh lemah, ia harus kuat dan berani.
"Kakak tenang saja, aku akan kembali ke rumah itu untuk mencari bukti yang lebih kuat. Kakak benar jika kita memiliki bukti rekaman video lubang bawah tanah itu pasti polisi akan secepatnya bertindak dan menggerebek rumah itu sampai ke dalam ruangan bawah tanah itu."
"Tetapi apa kamu yakin, ini akan berhasil, Ra?" tanya Bagas dengan tatapan khawatir.
"Aku yakin kak, kakak tenang saja aku pasti bisa jaga diri. Lagian kan aku juga sudah pernah belajar ilmu beladiri dari SMP, kak."
"Iya, Ra. Tapi kamu harus hati-hati ya, ingat kamu kan baru saja melahirkan pasti tenagamu juga tidak akan sama lagi dengan semasa masih gadis," ujar Bagas.
"Iya kakak tenang saja ya, aku pasti bisa melawan mereka kok."
Setelah lama menunggu akhirnya Heru sadar juga dengan dahi mengernyit. Matanya liar mengitari ruangan ini, untuk beberapa saat mereka bersitatap.
"Siapa kalian? Kenapa kalian mengikatku seperti ini, hah?"
"Itu tidak penting, yang harus kamu tahu dia adalah ibu dari bayi yang sudah kamu jual beberapa hari yang lalu," ucap Bagas sambil menunjuk adiknya.
"Jangan asal bicara kamu! Aku tidak pernah menjual seorang bayi." Heru mencoba berbohong.
"Jangan coba-coba untuk berbohong atau pistol ini akan meledakkan otakmu," ancam Bagas sambil menodongkan pistol itu kearah kepala Heru.
Matanya membeliak lebar kala menatap pistol yang ada di tangan Bagas, ia meronta mencoba melepaskan diri.
"A-apa yang kalian inginkan, hah?" tanya Heru dengan nada meninggi.
"Beritahu aku dimana bayi yang diberikan Bu Sinta untukmu, pada tanggal dua puluh lima Desember kemarin?!" tanya Bagas dengan suara penuh penekanan.
Heru terdiam lalu beberapa kali mencoba menelan ludah, nafasnya terengah-engah sambil terus meronta mencoba melepaskan diri.
"Aa-aku tidak tahu!" jawabnya membuat Vira jengkel, ia merebut pistol dari tangan Bagas dan menodongkannya ke kemaluan pria itu.
"Cepat beritahu kami! Kalau tidak aku akan menembak barang paling berhargamu ini!"
"Oh tidak! Jangan! Jangan!" teriaknya ketakutan.
"Cepat katakan! Dimana bayi itu berada?" teriak Vira dengan penuh emosi.
"Sebentar aku ingat-ingat dulu."
Mereka menatap Heru yang sedang berpikir.
"Jangan coba-coba untuk mengulur waktu, cepat katakan atau dalam hitungan ketiga maka burungmu itu akan hancur! Satu..."
"Duuuuuaaaa," ucap Vira sambil memainkan pistol itu.
"Ahh iya-iya! Bayi itu sekarang ada di Jakarta," jawabnya ketakutan.
"Jakarta mana?! Dan katakan siapa orang yang sudah membeli bayi itu!?" tegas Vira mendekatkan moncong pistol itu kearah kemaluannya.
"Jakarta Barat, di sebuah panti asuhan."
Jika pria ini berkata benar berarti bayi Vira berada di daerah tempat tinggalnya di kota, tetapi panti asuhan mana yang ia maksud?
"Jangan coba-coba untuk membohongiku atau kamu akan menerima resikonya!" ucap Vira dengan tatapan nyalang.
Mata Heru membulat, ia begitu ketakutan sambil menatap ke arah selangkangannya.
"I-iiya aku tidak berbohong!"
Bagas mengambil alih senjata api di tangan Vira, "Aku tidak main-main cepat katakan dengan jelas dimana dan pada siapa kamu menjual bayi itu?" tanya Bagas dengan suara penuh penekanan.
"Di... di panti asuhan milik Fransisca."
"Cepat katakan dimana alamatnya!" teriak Bagas.
Akhirnya pria itu berhasil mengucapkan alamat lengkap panti asuhan itu.
Sebenarnya Vira tidak yakin jika di alamat tersebut ada sebuah panti asuhan, tetapi semoga saja ia berkata jujur dan tidak memberikan informasi yang salah.
Lalu Bagas mengambil sesuatu dari dalam tas milik Rudi.
"Apa yang ingin kamu lakukan, hah? Bukankah aku sudah memberikanmu informasi, kenapa kalian tidak segera melepaskanku?" teriak Heru.
"Diam kamu!" tegas Bagas lalu ia pun menyuntikkan obat bius itu ke dalam tubuh Heru.
"Ayo kita keluar dan kunci pintunya, sepertinya Rudi juga membutuhkan suntikan obat ini."
"Emmm! Emmmm! Emmmm!" Rudi meronta mencoba melepaskan diri.
Bagas hanya tersenyum lalu menyuntikkan obat bius pada tubuh Rudi, yang membuat ia lemas dan kembali tak sadarkan diri.
--