"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Lima
Pagi yang cerah menyambut Adara saat ia melangkah ke studio tempat pertemuan berlangsung. Harum aroma kopi mengisi udara, bercampur dengan semangat para kru yang sudah bersiap. Hari ini adalah hari besar. Dia akhirnya memutuskan untuk menjadi investor dalam film yang akan dibintangi oleh Darren, aktor yang selama ini diam-diam dia kagumi.
Adara menyesuaikan blazer berwarna navy yang dikenakannya di depan kaca kecil. Dengan napas dalam, dia berusaha menenangkan diri. Tanggal di kalender sudah menunjukkan, saatnya untuk mewujudkan mimpinya yang telah lama terpendam. Namun, ada sedikit rasa gugup di hatinya ketika dia memikirkan bahwa ia akan bekerja sama dengan Darren.
Walau dia yang meminta agar mereka pura-pura berhubungan, tapi tetap rasa gugup itu ada. Apalagi dalam diam sebenarnya dia mengidolakan Darren, hanya saja tak pernah dia katakan untuk menghormati sahabatnya Sheila, mantan istrinya Darren.
"Adara!" Suara khas Arief, produser film sekaligus sahabatnya, menyapa di ujung ruangan. "Datang juga akhirnya!"
"Ya, Arief. Tak sabar ingin membahas proyek ini!" jawab Adara sambil tersenyum semangat.
"Baguslah! Di sini semua sudah siap. Oh iya, Darren sudah menunggu di ruang rapat," Arief menjelaskan sambil membuka pintu. "Ayo, masuk."
Begitu kakinya melangkah masuk, pandangannya langsung tertuju pada seorang pria yang berdiri di tengah ruangan. Darren, dengan rambut sedikit berantakan dan senyum yang menawannya, semua wanita yang melihat pasti akan terpesona. Dia ingat saat-saat dulu, ketika Darren masih remaja, mengukir namanya di hati banyak penggemar. Termasuk dirinya.
"Adara," sambut Darren sambil melangkah mendekat. "Aku terkejut saat Arief mengatakan jika investor film ini adalah Adara. Aku langsung berpikir kamu. Tapi, akhirnya aku tepis, tak mungkin kamu. Ternyata emang benar."
"Aku coba peruntungan di sini," jawab Adara.
"Aku akan berusaha menjadi pemain terbaik," ujar Darren dengan senyumannya.
Arief yang melihat situasi itu mengerutkan dahinya melihat keakraban kedua orang itu. "Kalian berdua sudah saling kenal ya?" tanyanya sambil mengangkat alis.
"Ya, kebetulan Darren adalah mantan suami sahabatku," jawab Adara.
"Gimana perasaan kamu saat sahabatmu menikah dengan idolamu?" tanya Arief.
Pertanyaan pria itu membuat Darren jadi terkejut. Tak menyangka jika Adara adalah salah satu fansnya.
"Arief ... Kamu buat malu aku aja," ujar Audi.
"Maksudnya apa?" tanya Darren masih tak percaya jika Audi adalah salah seorang dari fansnya.
"Adara ini dulu fans beratnya kamu, Darren," Arief mengungkapkan dengan tawa. "Bisa dibilang, Darren adalah idolanya saat SMA."
Wajah Adara mendadak memerah. "A-apa? Arief, jangan ngomong gitu!" ujarnya dengan suara yang hampir berbisik.
Darren pun tertawa pelan, pandangannya penuh keingintahuan. "Oh, jadi kamu yang itu? Aku ingat, banyak penggemar yang mengagumi peranku di film pertama. Tapi, jujur, tak pernah tahu kalau ada seseorang sepertimu yang mengagumi aku sampai segitunya."
Adara mengalihkan pandangannya ke meja, berusaha menutupi rasa malunya. "Itu sudah lama banget, Darren. Sekarang semua orang sudah punya kehidupannya masing-masing. Itu hanya saat abege."
Arief tidak mau membiarkan Adara melarikan diri dari momen canggung itu. "Berarti kamu sudah setuju untuk investasi dalam film ini, kan? Itu menjadi lebih menarik, lho. Ada fansnya langsung yang jadi investor!"
"Ya, aku sudah memikirkan itu," jawab Adara sambil menegakkan tubuhnya. "Aku percaya pada visi ceritamu, Arief. Lagipula, film ini punya potensi yang besar."
Darren tersenyum, senang mendengar keputusan Adara. "Terima kasih, Adara. Dukunganmu sangat berarti. Dengan pengalaman dan identitasmu di dunia seni, kontribusimu pasti akan membawa pengaruh positif."
Adara merasa terharu, tandanya keputusan yang diambilnya tidak salah. "Aku senang bisa terlibat,” ujarnya dengan tulus.
Setelah sedikit berkelakar dan meredakan ketegangan, mereka mulai membahas skenario film dan visi Arief untuk proyek ini. Diskusi berjalan lancar, dipenuhi pertukaran ide yang dinamis. Adara merasa terlibat lebih dalam dan produk dari diskusi tersebut akan menjadi menarik.
Namun, saat mereka berbicara tentang karakter dan dialog, Adara tak bisa menahan diri untuk sesekali mencuri pandang kepada Darren. Dia mengagumi cara pria itu menjelaskan peran yang akan dia mainkan, penuh semangat dan detail.
Setelah beberapa sesi diskusi, Arief bertanya, "Darren, apakah menurutmu ada elemen yang perlu ditambahkan untuk membuat karaktermu lebih dalam?"
Darren berhenti sejenak, menatap Adara dengan saksama. "Mungkin pendapat Adara juga penting. Dia kan tahu bagaimana pandangan fans terhadap karakternya."
Adara yang terkejut merasa bibirnya tercekat. "Aku? Maksudmu, apa yang bisa aku katakan?"
"Aku rasa pendapatmu bisa memberikan perspektif yang berbeda. Kita bisa mendapatkan umpan balik yang lebih utuh dari penonton," sahut Darren.
Adara merasa terhormat sekaligus bingung. "Hmm, jika aku boleh memberi saran, mungkin ... karakter itu bisa diberi sisi yang lebih rentan, lebih manusiawi. Sehingga penonton bisa merasakan empati," jawabnya, perlahan-lahan.
Darren mengangguk, menyimak setiap kata Adara. "Itu ide yang bagus, Adara. Menambahkan lapisan ke dalam karakter membantu membuatnya lebih relatable."
Tanpa mereka sadari, Arief hanya terdiam sambil tersenyum. Dia merasakan keakraban yang kuat di antara mereka, seperti melihat sepasang teman yang saling mengagumi.
Ketika diskusi akhirnya selesai, Adara merasa seperti baru saja terbang melampaui awan. Kembali ke realitas, merasa bangga dan puas dengan partisipasinya.
"Terima kasih banyak, Adara. Sangat menyenangkan bisa berdiskusi denganmu," kata Darren penuh perhatian.
"Sama-sama. Senang bisa membantu, Kak," jawab Adara, berusaha mengendalikan degup jantungnya.
Arief memecah suasana. “Nah, kita sudah punya rencana yang jelas. Aku akan atur langkah selanjutnya dan kita bisa mulai mempersiapkan semuanya dari sekarang.”
Adara merasakan sendi-sendi tubuhnya menjadi lebih santai. "Oke, aku tunggu kabar selanjutnya."
Setelah diskusi, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu berdua agar bisa lebih mengenal satu sama lain. Arief undur diri dengan mengatakan ada urusan mendesak. Tinggallah Adara dan Darren, enam mata bertemu dalam keadaan canggung.
"Jadi, Adara," Darren mencoba memecah keheningan, "Apa yang kita masih terus mainkan sandiwara ini?" tanya Darren.
Adara menghela napas. "Boleh juga. Tapi kita buat semua seperti natural, tanpa ada yang curiga."
"Jangan ragukan soal itu. Kamu lupa jika aku adalah aktor?"
“Iya, percaya. Tapi aku bukan aktris. Kakak harus ingat itu."
Darren tersenyum. “Jangan takut, kamu ikuti saja skenarioku."
"Baik. Aku akan ikuti," jawab Adara sambil tersenyum.
"Kita tak akan membuat semua orang tertipu dengan peran kita, bukan hanya Sheila dan Galang saja."
Adara mengangguk sambil tersenyum mendengar ucapan pria itu. Waktu seakan berhenti saat percakapan mereka mengalir. Adara merasakan koneksi yang kuat. Mungkin, ini lebih dari sekadar pertemuan bisnis.
Kedua orang itu melanjutkan pembicaraan mereka sampai tak terasa jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Adara merapikan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. "Aku harus segera pergi, Kak Darren."
“Hampir saja aku lupa. Besok malam ada undangan dari salah seorang teman dekat Sheila. Pesta anniversary pernikahan mereka yang ke sepuluh. Aku mau ajak kamu sebagai pendampingku di pesta itu, apakah kamu ada waktu?" tanya Darren.
Adara terdiam, tampaknya berpikir langkah apa yang akan dia lakukan. Akhirnya setelah beberapa saat dia mengangguk tanda setuju. Darren tersenyum menanggapi.
"Sampai ketemu, aku akan menjemputmu besok malam."
"Iya, Kak." Dara menjawab singkat.
Good Andara jangan mau di injak 2 sama nenek gombel Sheila
kl mau pngsan,slakan aja....drpd mkin malu....😝😝😝