Setelah bercerai, lalu mengundurkan diri sebagai seorang Ajudan pribadi. Akhirnya pria yang akrab disapa 'Jo' itu kembali menerima sebuah tawaran pekerjaan dari Denis yang tak lain adalah temannya saat sejak masih SMA.
Dia yang biasanya mengawal wanita-wanita paruh baya, seorang istri dari beberapa petinggi. Kini dia di hadapkan dengan seorang gadis keras kepala berusia 20 tahun, Jasmine Kiana Danuarta. Sosok anak pembangkang, dengan segala tingkah laku yang membuat kedua orang tuanya angkat tangan. Hampir setiap Minggu terkena razia, entah itu berkendara ugal-ugalan, membawa mobil di bawah pengaruh alkohol, ataupun melakukan balapan liar. Namun itu tak membuatnya jera.
Perlahan sifat Kiana berubah, saat Jo mendidiknya dengan begitu keras, membuat sang Ayah Danuarta meminta sang Bodyguard pribadi untuk menikahi putrinya dengan penuh permohonan, selain merasa mempunyai hutang budi, Danu pun percaya bahwa pria itu mampu menjaga putri semata wayangnya dengan baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berpikir.
"Sudah. Sekarang istirahat!" Herlin meraih gelas yang Kiana berikan.
Gadis cantik yang sudah berganti dengan pakaian rumahpun mengangguk, dia menarik selimut dan membaringkan diri.
"Jangan marah oke? Terkadang Papa memang begitu, jadi jangan terlalu di ambil hati. Sekarang istirahat saja agar kamu segera pulih." Herlin merapihkan selimut yang putrinya pakai sampai menutupi bagian atas tubuhnya.
Kiana tidak banyak bicara. Dia hanya mengangguk kemudian memejamkan mata. Sekitar satu jam berbicara dengan Herlin, mengutarakan setiap kekesalan karena persepsi Danu yang selalu buruk, akhirnya Kiana berusaha mengerti karena itu yang ibunya minta.
"Mau Mama masakan?"
"Tidak usah. Nanti aku makan yang Mbok masak aja, atau kalau mau yang lain tinggal order, … kadang kalau sedang pusing begini mau makan yang hangat-hangat, sedikit berkuah dan lembut." Jelas Kiana.
Gadis itu mulai memejamkan mata. Berusaha menyambut rasa kantung yang mungkin sebentar lagi akan datang karena efek obat yang dia minum beberapa detik lalu.
"Bubur ayam Bandung" Herlin mengusap kening putrinya yang mengeluarkan sedikit keringat.
Wanita paruh baya itu selalu mengerti apa yang Kiana inginkan, termasuk jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja.
"Iya. Aku mau makan siang dengan itu! Tolong siapkan yah!" Kiana berbalik badan, menjadi memunggungi ibunya saat ini yang masih duduk di tepi ranjang sana.
"Baiklah, kalau begitu Mama kebawah lagi. Minta Pak Yanto belikan bubur Bandung biasa langganan kita."
Kiana tidak menjawab lagi. Dan dengan segera Herlin bangkit, berjalan mendekati pintu, membuka nya lalu keluar dan menutup benda itu kembali seperti semula.
Kiana mulai merasakan rasa kantuknya. Bahkan sempat memasuki alam bawah sadar, hingga ketukan pintu membuat Kiana kembali tersadar.
Klek!!
Kiana memutar tubuh saat mendengar pintu kamarnya kembali di bukan.
"Aku mau istirahat, Ma …"
Namun gadis itu segera bungkam ketika mendapati Danu memasuki kamarnya. Dengan langkah pelan pria itu mendekat, kemudian duduk di tepi ranjang, seraya mengarahkan tangannya ke arah kening, namun setelah itu Kiana tepis cukup kencang.
Rasa kesalnya masih terus terasa, hingga kini dia mulai merasa muak dengan ayahnya.
"Kamu benar demam?" Danu berbasa-basi.
Kiana memutar tubuhnya ke posisi semula, menarik selimut sampai menutupi kepala.
"Papa salah. Papa minta maaf sudah berpikir yang tidak-tidak, Papa hanya sedang takut jika kamu melakukan hal yang buruk, … dan berakibat kepada dirimu sendiri." Jelas Danu, kemudian dia mengusap punggung putrinya.
Rasa sesak tentu saja Danu rasakan. Ketika menuduh Kiana melakukan sesuatu yang bahkan tidak gadis itu lakukan.
"Maafkan Papa."
Helaan nafas Kiana terdengar jelas.
"Papa tidak bermaksud membuat hatimu sakit. Papa hanya khawatir jika kamu benar-benar di keluarkan dari kampus, … sudah berapa kali kamu mendapatkan peringatan dari sana? Sementara pelajarannya hampir saja selesai, kamu akan lulus jadi Papa mohon jangan berbuat yang akan merugikan dirimu sendiri."
"Terserah Papa saja mau berkata apa, mikir aku seperti apa. Yang harus Papa tahu aku tidak pernah memulai sesuatu tanpa penyebab. Jika dulu aku menjadi brandal, aku akui hanya terbawa arus, dan itu aku lakukan agar memiliki teman. Aku kesepian, sampai aku berusaha mencari sesuatu yang mungkin bisa membuat perhatian orang-orang tertuju kepadaku." Ucap Kiana dengan suara pelan.
"Dan satu lagi. Tuntutan dari Papa jelas-jelas membuat aku frustasi, Papa mau aku menjadi sangat sempurna. Ya aku tahu mungkin orang tua ingin semuanya berjalan sebagaimana mestinya kepada anak-anak merek. Tapi Papa jangan lupa, aku juga manusia biasa, terkadang ada sesuatu yang keliru terhadap diriku sendiri, dan aku tidak menyadari itu."
Mendengar itu Danu diam. Menatap punggung Kiana yang bergerak naik turun dengan teratur.
Hatinya begitu sakit, ketika Kiana mengatakan semua itu. Apa dia terlalu keras selama ini? Menuntut banyak hal? Sementara dia melupakan jika Kiana juga manusia normal pada umumnya. Gadis kecil yang dahulu sangat dekat dengan dirinya, mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari orang-orang sekitarnya, namun di tidak beruntung di lingkungan sekolah, bahkan beberapa kali Kiana berpindah sekolahan hanya untuk menghindari semua itu. Perlakuan dan kata-kata buruk selalu Kiana dapatkan, hanya karena dia hidup mewah dengan uang kedua orang tuanya, dan itu selalu mereka jadikan senjata untuk menyerang, hingga Kiana benar-benar tak pernah mempunyai teman yang tulus.
"Ah betapa jahatnya aku ini. Dia sudah sangat tertekan di lingkungan luar. Lalu aku menambahnya dengan segala kesempurnaan yang aku inginkan." Batin Danu berbicara.
"Baiklah. Setelah ini kamu boleh melakukan apa saja, dengan satu catatan. Jangan pernah membahayakan dirimu sendiri, apalagi orang lain! Papa minta maaf jika sudah sangat keterlaluan." Danu mengusap rambut pendek Kiana yang kini di kuncir.
Hening.
"Kia?"
Gadis itu tidak menjawab.
"Ya ampun kamu sudah tidur?" Danu terkekeh ketika dia mencondongkan tubuh dan mendapati Kiana sudah terlelap.
Cup!!
Dia mencium kening putri semata wayangnya, yang memang terasa sedikit hangat, dan itu menandakan jika Kiana benar-benar sedang tidak sehat hari ini.
"Papa mau memberi tahu sesuatu. Tapi kamu nya tidur, jadi nanti saja kita bicarakan lagi, … saat kamu bangun, dan sudah sehat seperti biasa." Katanya, lalu beranjak pergi meninggalkan kamar Kiana.
***
Jovian segera kembali, setelah berbicara hal yang sangat mengejutkan bersama atasannya, Danu. Pria yang dengan terang-terangan menyodorkan putrinya untuk segera dia nikahi.
"Ini gila!" Gumam Jovian.
Dia duduk di sofa seperti biasa, memijat pelipis saat tiba-tiba saja kepalanya terasa sangat pusing, dengan bola mata yang dia pejamkan, membayangkan sesuatu yang hanya Jovian saja yang tahu.
"Ini sungguh gila. Bagaimana bisa, Pak Danu menawarkan hal besar, … astaga mimpi apa aku semalam." Dia bergumam lagi, sampai tanpa dia sadari Denis muncul dari arah luar, masuk dan menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
"Tawaran pertama itu masih sangat masuk akal. Dia memintaku hanya agar dapat melindungi putrinya dengan baik. Tapi tawaran kedua, … astaga ini di luar nalar!"
"Apanya yang di luar nalar?"
Tiba-tiba saja suara itu terdengar, membuat Jovian tersentak kaget sampai mengubah posisi bersandarnya menjadi duduk tegak.
"Hey, … sejak kapan kau berdiri di sana?"
"Sejak kau bergumam berbicara tentang tawaran Pak Danu." Denis segera duduk di sampingnya setelah menyelesaikan beberapa hal.
"Tawaran besar apa yang dia berikan?"
Jovian menggelengkan kepala.
"Kamu diminta mengundurkan diri dengan sebuah pesangon besar?" Denis menerka-nerka.
Jovian kembali menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa. Meletakan lengan sebelah kanannya di atas wajah, kemudian menghembuskan nafasnya dengan sangat kencang, seolah sedang mengeluarkan sesuatu beban di dalam dirinya.
"Apa kau masih sahabatku? Apa aku bisa mempercayaimu sekarang agar tidak membuka mulut kepada siapapun lagi?" Kata Jovian pelan.
Denis menganggukan kepalanya.
"Tentu saja. Aku masih Denis yang dulu, teman SMA mu."
"Pak Danu memberikan dua tawaran yang sangat luar biasa, … oh tidak, yang satu bukan tawaran, tapi ajakan yang lebih memaksa."
"Apa?"
Jovian menyingkirkan tangannya, lalu duduk menoleh ke arah Denis berada saat ini.
"Pak Danu meminta aku untuk menikahi Kiana. Sungguh ini sangat konyol!"
Denis mematung ketika mendengar penuturan sahabatnya sendiri. Hingga keadaannya menjadi hening, dengan mata saling memandang satu sama lain.
"Lalu apa kau terima?"
Jovian menggelengkan kepala.
"Aku di beri waktu dua hari berpikir." Katanya.
"Lalu tawaran lainnya apa?" Denis semakin penasaran.
Jovian mengatupkan mulut, dan diam cukup lama, dengan pikiran yang sudah entah kemana perginya, sampai saat ini dia benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih.