Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
"Ternyata dia berbakat juga menjadi penata rambut," ucap Damar sambil memandangi dirinya di depan kaca kamar mandi.
Beberapa detik kemudian, ia keluar dari ruangan itu. Ia langsung menghampiri Quin yang masih berbaring.
"Loh, tidur?" gumamnya seraya tersenyum kemudian duduk di sisi sang asisten. "Quin."
Damar mengusap puncak kepala gadis itu turun ke pipi dengan sayang. "Quin," panggil Damar lagi. Akan tetapi tak ada respon.
Selang beberapa menit kemudian, bel pintu berbunyi. Karen tak tega membangunkan Quin, Damar menghampiri pintu lalu membukanya.
"Al," sebutnya. Namun, yang di sapa hanya diam sekaligus terpana menatap Damar yang hanya mengenakan handuk.
Tik ... tik ... tik!
Damar menjentikkan jari tepat di depan wajah Al lalu tertawa. "Al, kamu kenapa? Ayo masuk?"
"Ah, ya," sahut Al merasa canggung. 'Apa benar dia Damar? Buset, cakep benget. Apa mereka berdua ... ah, Al apa yang sedang kamu pikirkan!'
Otak gadis itu seketika traveling ke mana-mana membayangkan Quin dan Damar. Al langsung ke kamar Quin sambil menenteng paper bag.
"Quin! Wake up!" pekik Al lalu mencubit paha sang sahabat.
Ulahnya itu sontak membuat Quin kaget. Ia langsung membuka mata seraya merubah posisi menjadi duduk.
"Sssttt, Al! Kamu apa-apaan sih?!" ucapnya kesal sambil mengusap bekas cubitan di paha. "Ih, sakit tahu."
Tawa Al langsung pecah menatap wajah kesal Quin. Sedetik kemudian, ia duduk di samping sang designer lalu berbisik, "Wah Quin, apa kalian habis ..." ucapannya langsung terpotong karena Quin mencapit bibir Al.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh deh, Al. Aku dan Damar nggak ngapa-ngapain. Lagian nih ya, siapa juga yang mau dengan pria player sepertinya. Kebayang nggak sih, itunya ... ah, you know-lah."
Ucapan ambigu Quin kembali membuat Al terbahak. Sama halnya dengan dirinya. Ia juga Quin tak bisa menahan tawa.
Gelagat aneh kedua gadis itu, jelas membuat Damar keheranan. "Quin, Al, kalian kenapa?"
"Nggak apa-apa," sahut Quin.
Setelah puas menertawai Damar, Quin mengambil paper bag yang tergeletak di samping Al lalu beranjak dari ranjang.
"Damar, ini setelan untukmu," kata Quin lalu mengeluarkan jas berwarna coksu. "Mendekatlah biar aku akan membantumu."
"Thanks ya, Quin. Sebentar, aku pakai celananya dulu," kata Damar.
Quin mengangguk sambil memegang kemeja berwarna putih. Sedangkan Al, hanya menjadi penonton mereka.
Setelah memakai celana, Quin membantu Damar mengenakan kemeja lalu memasangkan kancingnya satu per satu.
Lupa jika dikamar itu masih ada Al, Damar mengelus pipi Quin lalu menangkupnya. Perlahan mendekatkan wajah ingin mendaratkan ciuman.
"Ehem!" Al sengaja berdeham.
'Ah, sh*it!! Again?' umpat Damar dalam hati.
Quin dan Damar seketika menoleh ke arah Al. Gadis itu senyam senyum memandangi keduanya.
"Di sini masih ada orang woi!" protes Al sambil menaik turunkan alisnya dengan senyum jahil.
Quin kembali menatap Damar lalu memukul dadanya. "Ini semua gara-gara kamu! Al pasti sudah berpikir yang tidak-tidak," omel Quin.
Ia mundur dua langkah ke belakang lalu membentuk bingkai dengan jarinya.
"Hmm, perfect, Mr. Bre ... ah, no. But, my handsome Boss," puji Quin. Ia melirik Al sekilas.
"Awas, ilernya jatuh. Sampai segitunya kamu mengagumi Damar," ledek Quin lalu tergelak.
Al langsung mengusap bibirnya. Merasa sedang di kerjai, ia langsung melempar Quin dengan bantal.
"Sialan kamu, Quin!" gerutu Al.
Quin balik melemparnya dengan tawa yang semakin pecah.
"Emang enak dikerjain," balas Quin. "Damar, kembalilah ke kantor. Sampai bertemu lagi di rumah nanti."
"Berjanjilah jika kamu akan pulang ke rumah," pinta Damar.
"Oke, aku janji, Tuan," balas Quin. "Ayo, aku akan mengantarmu sampai ke depan pintu," ajak Quin.
"Aku berangkat, ya," pamit Damar sesaat setelah membuka pintu.
"Hmm, hati-hati di jalan." Setelah Damar menghilang dari pandangan matanya, barulah Quin menutup pintu.
Ia kembali ke kamar lalu merebahkan tubuhnya di samping Al. Ia memejamkan mata sembari menghela nafas.
"Quin." Al ikut berbaring.
"Hmm."
"Jika aku perhatikan, sepertinya Damar menyukaimu," celetuk Al.
"Ck, jangan ngaco kamu, Al. Jika kamu mau, ambil saja. Bukankah tadi kamu menatap mendamba padanya? Sampai-sampai ngeces pula, hahahaha. Silakan berfantasi liar dengannya," kelakar Quin lalu terbahak.
"Never!" protes Al.
"Why?" Quin memiringkan tubuhnya menghadap Al.
"Aku lebih tertarik pada Adrian," jawab Al cepat.
"What! Beneran, Al?!" pekik Quin.
"Menurutmu? Ya, beneranlah masa bercanda," timpal Al.
"Kelihatannya kalian memang serasi. Adrian orangnya kaku, sedangkan kamu cerewet," tutur Quin sekaligus mendukung.
.
.
.
.
Setibanya di kantor, Damar langsung menuju ke ruangan kerja. Begitu membuka pintu ia langsung menyapa Adrian yang sejak tadi sudah menunggunya.
"Adrian, sudah lama?"
"Tidak juga, Tuan. Saya hanya ingin menyampaikan undangan ini untuk Anda," Adrian memberikan kartu undangan itu kepada Damar.
"Kartu undangan?" Damar meraih kartu itu lalu membacanya. "Peluncuran produk baru? Ini kan dari perusahaan kakaknya Angga?"
"Benar, Tuan. Lebih tepatnya Pak Altaf," timpal Adrian.
"Hmm ... apa masih ada yang ingin kamu sampaikan?"
"Tidak, Tuan," jawab Adrian.
"Baiklah, kembalilah ke ruanganmu!" perintah Damar.
Dengan patuh, Adrian menurut lalu meninggalkan ruangan itu. Sepeninggal Adrian, Damar menghampiri dinding kaca ruangan.
Memandangi kota J dari tempatnya berdiri saat ini. Benaknya kembali dipenuhi dengan wajah Quin.
"Quin Atalia Pranata, apakah aku bisa memilikimu?"
.
.
.
Sore harinya ....
"Quin, aku pamit, ya," izin Al sambil bersiap-siap.
"Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Quin yang sedang memakai dress-nya.
"Ya, lagian sudah sore juga," jawab Al.
"Kita barengan saja ke baseman. Aku juga sudah mau pulang," cetus Quin dan Al mengangguk sebagai jawaban.
Beberapa menit berlalu ....
Ketika berada di baseman, Quin dan Al harus berpisah, karena kendaraan mereka terparkir di tempat yang berbeda.
Sesaat setelah mendaratkan bokongnya di kursi kemudi, Quin mulai menyalakan mesin mobil. Beberapa detik kemudian ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat itu.
Ia tak langsung pulang melainkan mampir ke taman kota. Setelah membeli es boba, gadis itu berjalan menghampiri salah satu bangku yang kosong.
Senyumnya seketika terukir manis saat mengenang, pertama kali ia bertemu dengan Damar di taman itu.
"Saat pertama kali bertemu denganmu di sini, aku sama sekali nggak menyangka jika kamu adalah putra Tuan Alatas."
Quin kemudian mendesah ketika mengingat di hari yang sama pula, ia memergoki Angga dan Kinar mengkhianatinya.
"Pria brengsek dan wanita ja*lang! Kalian memang serasi menjadi pasangan!" maki Quin.
Ia mendongak menatap langit. Buliran bening di ujung mata ikut berjatuhan. Seketika dadanya menjadi sesak disertai hati yang ikut terasa sakit.
"Oh God ... aku nggak pernah menyangka jika akan dikhianati oleh mereka berdua." Quin memejamkan mata sembari mengatur nafas.
"Yang aku inginkan saat ini adalah, waktu secepatnya segera berlalu. Agar kontrak itu juga segera berakhir."
Tak lama berselang, seseorang menutup matanya dari belakang. Sontak saja Quin langsung memegang kedua tangan itu dengan kening mengerut tipis.
"Damar, jangan bercanda kamu," kata Quin. Namun, orang itu tak menjawab tapi merasa geram. "Damar!" Quin melepas paksa tangan itu lalu menoleh ke belakang.
"Kamu!" bentak Quin kesal.
"Ada hubungan apa kalian?" tanya pria itu yang tak lain adalah Angga.
"Bukan urusanmu! Urus saja wanita ja*langmu sekaligus pemuas hasratmu!" kata Quin dengan ketus.
"Sayang, please, beri aku satu kesempatan," ucap Angga lirih kemudian duduk di samping Quin.
Quin tersenyum sinis. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Nggak ada kesempatan kedua bagi seorang pengkhianat sepertimu. Sekali berselingkuh seterusnya akan tetap seperti itu," sarkas Quin dengan perasaan dongkol.
"Quin ..."
"Pergilah, pergi bersama wanita jala*ngmu itu. Wanita yang bisa memuaskanmu kapan dan di manapun yang kamu mau. Oh ya, jangan lupa mengundangku jika kalian akan menikah!" sindir Quin.
"Quin!" bentak Angga merasa tak terima dengan ucapan eks tunangannya itu.
"Oh, Man, calm down. Bukankah apa yang aku katakan tadi benar adanya? Lalu, kenapa kamu emosi!" sindir Quin lagi dengan tatapan mengejek.
Angga mengetatkan rahang sembari mengepalkan kedua telapak tangan. Ia membatin, 'Lihat saja nanti malam, aku nggak akan melepaskanmu.'
Tak lama berselang, ponsel Quin bergetar. Tanpa memperdulikan Angga yang masih terus menatapnya, ia menjawab panggilan itu dengan santai.
"Ya, Al, ada apa?" tanyanya.
"Quin, kita mendapat undangan dari kak Altaf," jawab Al dari seberang telefon.
"Dalam rangka apa?" Quin lalu melirik Angga.
"Peluncuran produk cosmetics," jelas Al.
"Ya, sudah kalau begitu," balas Quin kemudian memutuskan panggilan telefon.
Ia kembali melirik Angga seraya berkata, "Sampai kapan kamu akan duduk di situ? Sebaiknya kamu pulang saja!" usir Quin.
"Quin, please ..."
"Enough, Angga. Di antara kita sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Mari mengambil jalan kita masing-masing," pungkas Quin.
...----------------...