Nilam rela meninggalkan panggung hiburan demi Indra, suaminya yang seorang manager di sebuah pusat perbelanjaan terkenal. Sayangnya, memasuki usia dua tahun pernikahan, sang suami berulah dengan berselingkuh. Suaminya punya kekasih!
Nilam yang kecewa kepada suaminya memutuskan untuk kembali lagi ke panggung hiburan yang membesarkan namanya dulu. Namun, dia belum mampu melepaskan Indra. Di tengah badai rumah tangga itu, datang lelaki tampan misterius bernama Tommy Orlando. Terbesit untuk balas dendam dengan memanfaatkan Tommy agar membuat Indra cemburu.
Siapa yang menyangka bahwa lelaki itu adalah seorang pengusaha sukses dengan masalalu kelam, mantan pemakai narkoba. Mampukah Tommy meraih hati Nilam yang terlanjur sakit hati dengan lelaki dan bisakah Nilam membuat Tommy percaya bahwa masih ada cinta yang tulus di dunia ini untuk lelaki dengan masa lalu kelam seperti dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minta Jatah?
Petir menyambar, hujan turun dengan deras. Ini sudah pukul tujuh malam, Indra baru saja pulang. Nilam sebenarnya kasihan, apalagi tak ada makanan terhidang di meja untuk lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu. Marissa benar-benar tak bisa diandalkan sebagai seorang istri. Masak untuk suaminya pun tak mau.
"Astaga, apa tak ada makanan di rumah ini?" seru Indra.
"Beli saja ya, Sayang. Aku betulan lesu, kau kan tahu sendiri aku lagi hamil. Gak boleh capek." Suara Marissa terdengar.
Nilam masih mendengarkan dari atas. Berbeda dengannya dulu, setiap Indra pulang selalu ada makanan yang tersaji di meja makan, sampai dingin tak tersentuh karena Indra pulang terlampau larut.
Nilam juga sedikit jengah, Marissa selalu menggunakan kehamilannya untuk menolak urusan pekerjaan rumah. Padahal, kurang baik apa Nilam, dia masih membiarkan bahan stok makanan di kulkas agar mudah perempuan itu memasak untuk Indra.
"Aku tak biasa makan dari luar, Marissa. Masa kau tak terpikir mau memasak untukku. Lauk yang simpel-simpel saja." Suara Indra terdengar lagi, dia protes.
"Kau ini gimana sih, Ndra. Kan aku udah bilang aku capek. Aku ini lagi hamil!"
Nilam geleng-geleng kepala, kasihan bayi di perut selalu kena fitnah ibunya yang malas. Memasak sebentar tak akan membuat keguguran!
"Kehamilan bukan alasan untuk kita bermalas-malasan, Marissa. Kau harus belajar banyak hal. Aku sedang berbaik hati kepadamu, Ndra. Duduklah, atau ganti bajumu dulu. Aku akan memasak buatmu."
Nilam akhirnya pergi ke dapur, dengan lingerie seksi yang membuat Indra menelan ludahnya susah payah. Sekarang dia yakin yang lapar bukan lagi perutnya, melainkan sesuatu di bawah sana.
Marissa berdecak, ia ikut duduk di meja makan menunggu Indra.
"Katamu kau lelah, sana tidur," usir Nilam.
"Suka-suka aku lah, mau kemana."
"Kau tak bisa memasak?" tanya Nilam keheranan sembari memotong sayur untuk dia jadikan sup. Kebetulan ada dada ayam dan beberapa jamur kancing di kulkasnya.
"Tak sempat, aku dulu sibuk bekerja. Kau tahu sendiri, aku kan wanita karir," sahut Marissa dengan sombong.
"Oh, sekarang mungkin kau mesti banyak belajar. Tak mungkin Indra kau biarkan makan di luar terus."
"Nanti aku dan Indra juga akan punya pelayan pribadi!" sahut Marissa ketus.
Nilam tertawa mendengarnya. Dia sekarang sibuk dengan kompor dan bahan makanan. Indra sendiri sudah berganti baju, nampaknya juga baru selesai mandi. Tatapan Indra tertuju kepada Nilam yang semakin indah dipandang mata. Apalagi dengan lingerie seseksi itu.
Ia segera mengalihkan perhatian kepada Marissa ketika perempuan itu melihatnya. Indra sekarang sibuk dengan ponsel tetapi sesekali akan melirik Nilam yang jadi semakin menggoda.
Hampir dua puluh menit kemudian, masakannya jadi. Ia segera menghidangkannya untuk Indra.
"Kau mau juga?" tanya Nilam kepada Marissa.
Perempuan itu tampak gengsi, dia tak menjawab. Nilam kembali tersenyum kecil.
"Baiklah, silahkan dinikmati. Aku ngantuk sekali, ingin tidur."
"Aku akan menyusul kelak, Lam," kata Indra tanpa bisa ditahannya. Mata Marissa melotot mendengarnya. Nilam sengaja tak memberi tanggapan, padahal dia pun tidak menginginkan Indra di dalam kamarnya lagi.
"Apaan sih, Ndra?! Aku ini lagi hamil, butuh kau! Gak mau ditinggal-tinggal!" sergah Marissa cepat.
"Aku mesti adil, Ris. Sudah berapa malam ini bersamamu terus."
"Sudahlah, tak baik berdebat di depan makanan. Kau temani saja dia, Ndra. Aku lebih suka tidur sendiri." Nilam membalas dengan malas lalu melangkah pergi.
Tak ada jawaban dari Indra, lelaki itu sekarang menyibukkan diri dengan makanannya. Nilam melongo sebentar, melihat Marissa yang beranjak menuju tempat dia masak tadi. Lalu menuang sup buatannya ke dalam mangkuk.
"Dasar gengsian!" desis Nilam lalu menutup pintu kamar.
Malam hari ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Nilam mendengar pintu kamarnya diketuk. Tadi ia kira itu bibi.
"Sayang, aku rindu sekali," bisik Indra.
Nilam memandangnya sesaat lalu menarik nafas panjang.
"Terus, mau minta jatah?" tanya Nilam sembari bersandar pada daun pintu yang belum sepenuhnya terbuka itu. Belahan dada Nilam yang bulat menantang itu membuat Indra tak kuasa untuk segera mendekatinya. Tapi baru juga selangkah, suara Marissa dari bawah sudah terdengar bising sekali.
"Astaga!" decak Indra kesal.
"Sana, aku gak mau malam ini hanya akan dihabiskan berdebat dengan istrimu itu. Lagipula, aku ngantuk sekali, Ndra."
"Lam, aku betulan kangen. Setiap aku bersamanya, kau selalu terbayang," keluh Indra.
"Dulu, tidak pernah ingat denganku saat kau sedang bergulat dengannya. Sudahlah." Nilam menutup pintu, membuat Indra kesal setengah mati.
Ia mengusak rambutnya gusar, suara Marissa yang berseru sedari tadi semakin menambah kekesalannya malam ini. Dia kangen berat dengan Nilam tapi Marissa terus-menerus ingin menempel kepadanya.
Nilam sendiri kembali tidur dengan nyenyak, tak lupa mengunci pintu. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.
Selamat tidur, Sayang.
Tommy yang mengirimkan pesan manis itu. Nilam tersenyum kecil, hanya membalas singkat.
Kau juga.
Lalu disusul balasan emoticon cium yang membuat Nilam mendengus sebal ke arah ponselnya sendiri. Dia tak membalasnya, memilih tidur dengan nyaman malam ini. Kehidupannya semakin tertata sekarang, hati yang hancur itu sudah mulai kembali seperti sedia kala.