(INI KISAH ZAMAN DULU DIPADUKAN DENGAN ZAMAN SEKARANG YA)
"Emak sama Bapak sudah memutuskan jika kamu akan menikah satu bulan lagi dengan laki-laki pilihan Bapak kamu, Niah," Aku lantas kaget mendengar ucapan Emak yang tidak biasa ini.
"Menikah Mak?" Emak lantas menganggukkan kepalanya.
"Tapi umurku masih kecil Mak, mana mungkin aku menikah di umur segini. Dimana teman-temanku masih bermain dengan yang lainnya sedangkan aku harus menikah?" Ku tatap mata Emak dengan sendu. Jujur saja belum ada di dalam pikiranku untuk menikah apalagi d umur yang masih dikatakan baru remaja ini.
"Kamu itu sudah besar Niah, bahkan kamu saja sudah datang bulan. Makanya Bapak dan Emak memutuskan agar kamu menikah saja. Lagian kamu juga tidak sekolah, jadi tidak ada masalahnya jika kamu menikah sekarang. Menikah nanti pun tidak akan ada bedanya dengan sekarang karena, sama-sama menikah saja akhirnya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indah Yuliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
ISTRI 13 TAHUN
19
Di dalam kelas semua murid fokus mengerjakan tugas yang guru mereka berikan. Seharusnya Pajajar sudah keluar kelas dan membiarkan muridnya belajar. Tapi karena dirinya tau, pada jam siang ini Diah dan Eko akan bersantai di ruangan jika Pajajar kesana, sudah pasti mereka berdua akan banyak bertanya lagi. Entah itu soal calon istrinya ataupun tentang seseorang yang Pajajar sukai, lantaran Eko tadi menyebutkan hal itu.
"Apa Eko tau jika aku pernah menyukai Diah?" pikir Pajajar. Dia memainkan pulpen dengan jarinya, memutarkan pulpen itu seolah itu adalah stik drum. Begitulah Pajajar jika sudah banyak pikiran apapun yang ada di tangannya pasti akan dia mainkan.
Salah seorang murid perempuan berdiri dari bangkunya dan mendekati meja Pajajar, dia dengan sedikit malu mengeluarkan suara. "Pak, maaf sebelumnya saya mau bertanya."
Gadis SMA kelas 10 itu terlihat berbinar menatap gurunya dari jarak yang cukup dekat. Selama ini dia tidak berani mendekati gurunya, walaupun hanya mengumpulkan tugas, dia pasti menitipkan bukunya pada teman. Atau, dia akan menunggu banyak anak lain yang maju ke depan untuk mengumpulkan. Lantaran dari jarak jauh saja rasanya jantung Asih akan copot karena debarannya begitu kencang, belum lagi terkadang kakinya akan gemetar saat melihat Pak Jaja.
Pajajar menghentikan tangannya yang bermain pulpen dan melihat ke arah muridnya itu. "Ada apa? bukankah saya sudah menjelaskan rumus dan caranya tadi? Di papan tulis juga masih adakan." Entah mengapa Pajajar saat mengajar selalu bersikap tegas dan terkadang jutek. Mungkin karena murid di usia pancaroba seperti ini sikap lembut hanya akan membuat anak-anak berlaku seenaknya, tetapi bersikap terlalu kasar juga tidak bisa membuat mereka tunduk. Jadilah Pajajar mengambil sikap tegas dan tidak bertele-tele dalam mengajar atau menjelaskan sesuatu. Tetapi sebenarnya jika dengan anak laki-laki, apalagi kelas 12, Pajajar menjadi guru favorit mereka karena anak lelaki di kelas 12 bisa memahami soal ataupun materi yang dijelaskan oleh Pajajar. Beda dengan kelas lainnya.
Suara Asih rasanya tercekat begitu mendapatkan jawaban yang sedikit keras dari Pak Jaja. Tetapi kali ini dia benar-benar merasa harus menanyakannya langsung pada gurunya itu.
Dengan segenap tekad yang sudah lama dia pupuk, akhirnya Asih berhasil mengalahkan kegugupannya, walaupun dia tau hanya akan terkena amukan dari gurunya itu.
"Bukan itu pak!"
Pajajar mengerutkan keningnya, "Lalu apalagi? Apa kamu sudah menyelesaikan tugas kamu?"
Asih menggeleng, dirinya sangat tidak menyukai pelajaran matematika, bahkan setiap pelajaran yang diberikan oleh Pajajar saja, dia hanya sibuk melihat Pajajar dari bangku yang berada paling belakang. Jadi mana mungkin Asih sudah menyelesaikan tugasnya sedangkan temannya yang paling pintar di kelas saja masih berkutat dengan buku dan pulpen di mejanya.
Asih menjawab dengan gelengan kepala lalu melirik ke sekelilingnya, memastikan semua temannya di kelas sibuk dengan urusan mereka. Merasa aman, Asih lalu menatap Pajajar dengan dengan gugup.
"Kalau kamu belum menyelesaikan soalnya, kembali ke tempat duduk!" ujar Pajajar dengan nada yang tegas. Tetapi Asih tidak bergeming, anak itu masih tetap berdiri di depan meja Pajajar sambil terus melihat gurunya.
Pajajar tidak tau siapa nama muridnya ini karena tidak ada nametag di seragamnya. Pajajar tebak dia adalah murid dengan nilai terendah di kelas ini.
Malas menanggapi murid perempuan dengan kelakuan aneh. Pajajar memilih untuk mengabaikannya saja. Karena jika Pajajar ingin keluar kelas dirinya hanya akan di cerca oleh pertanyaan dari guru lainnya, tadinya Pajajar bertekad untuk menjawab mereka dengan santai. Tapi karena ucapan Eko tadi pagi, perasaan Pajajar menjadi kesal.
Jarum jam terus berputar, menunjukkan ke angka setengah sebelas. Asih masih saja berdiri di depan mejanya Pajajar. Alhasil Pajajar menjadi sangat jengkel. Dia berdiri dan berjalan ke depan papan tulis.
"Welas, maju ke depan." Panggil Pajajar pada murid yang selalu mendapatkan rangking satu di kelas ini.
Gadis itu menurut walaupun sedikit bingung karena merasa dirinya tidak melakukan kesalahan apapun.
"Dia peringkat berapa disekolah ini?!" Mata Pajajar mengarah pada Asih yang masih setia berdiri dengan tegak menatapnya tanpa rasa takut.
Welas melihat Asih dengan bingung lalu menjawab pertanyaan gurunya, "Tiga puluh sembilan Pak."
"Apa setiap mata pelajaran saya dia selalu mencontek dan tidak mengerjakannya sendiri?!"
Sejujurnya Welas dan Asih memang berteman sejak kecil, setahu Welas temannya ini memang sedikit bodoh dari kebanyakan teman lain. Apalagi soal matematika.
Welas rasanya tidak tega mengatakan hal yang jujur itu pada Pak Jaja, tapi dirinya juga tidak mau berbohong akan hal itu. Karena dia juga sudah jengah lantaran sejak dulu Asih selalu menyalin catatan dan jawaban dari bukunya.
Tak kunjung menjawab pertanyaan Pak Jaja, salah seorang murid laki-laki berdiri dan menjawabnya. "Iya pak, Asih selalu menyalin catatan dan jawaban soal dari buku milik Welas!"
"Siapa namanya, Welas?" tanya Pajajar.
Welas mengira pak gurunya bertanya nama anak laki-laki, "Udin pak."
"Itu saya tau, maksud saya, dia!" Pajajar mengarahkan matanya pada Asih. Memang Pajajar tidak tahu nama muridnya itu, juga merasa tidak pernah melihatnya di sekolah ini. Mungkin karena Asih adalah peringkat nomor dua dari akhir di kelas. Dan juga Pajajar tidak tertarik untuk menghafal nama semua murid di sekolah ini yang cukup banyak.
Asih terdiam, bahkan guru yang dia sukai pun tidak mengetahui namanya. Hatinya semakin hancur. Belum sempat Welas menjawab, Asih sudah lebih dulu mengeluarkan suara.
"Nama saya Asih, Pak! Saya memang bodoh pak. Saya menyukai bapak! tapi saya sakit hati karena mendengar bahwa Bapak akan menikah. Apakah itu benar Pak?"
Satu kelas kaget mendengar ucapan Asih yang tidak tahu malu. Mereka semua masih kelas 10, baru saja masuk ke bangku SMA, lalu dengan beraninya salah seorang murid menanyakan hal pribadi seperti itu pada guru yang termasuk dalam kategori killer.
Rahang Pajajar mengeras, baru kali ini ada murid perempuan berani mengganggunya secara terang-terangan dan menanyakan hal tersebut di depan kelas dihadapan semua murid lainnya seolah tidak memiliki rasa malu dan etika.
"Bukan urusanmu! keluar dari kelas saya sekarang, saya kesini untuk mengajar dan kalian datang ke sekolah untuk belajar, bukan untuk mengurusi urusan percintaan! Kalau kalian dan KAMU ASIH! tidak datang untuk belajar, LEBIH BAIK TIDAK USAH BERSEKOLAH, BUANG-BUANG WAKTU SAJA!"
Semua murid terdiam, mereka membenarkan apa yang diucapkan oleh Pak Jaja. Tetapi juga marah pada Asih karena menyebabkan kemarahan gurunya tersebut. Asih terdiam, dirinya merasa makin sakit hati karena ucapan Pak Jaja.
"Tapi Pak, saya--"
"KELUAR KAMU DARI KELAS SAYA!" marah Pajajar dengan mengepal ke-dua tangannya erat.
TBC