NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Patah

Aku mencoba membuka mata, silau, kembali ku pejamkan mataku. Berusaha untuk menyesuaikan kondisi cahaya yang terang. Badanku serasa remuk hingga sulit untuk bergerak, seolah tulangku tak berada di tempat seharusnya. Hidungku mencium samar bau desinfektan, ingatanku mundur, dan ah, aku tersentak, bayiku.

"Sayang, kamu udah bangun? Apa yang kamu rasain?"

Suara itu, aku mengenalnya, Mas Dwi.

"Mas, bayi kita ga apa-apa, kan?" tanyaku padanya.

Dia tak langsung menjawab, terdengar helaan nafas beratnya, yang ku tahu, itu pertanda tak baik. Aku meraba perutku, dan perasaanku terasa kosong seketika. Tangan yang ada di perutku digenggam, dan dapat ku rasakan dahiku dikecup berulang.

"Anak kita udah di tempat yang baik, Sayang. Ikhlaskan, ya? Mas mohon, Aya bisa ikhlaskan dia, Mas juga minta maaf, dia udah Mas makamkan, dan Mas beri nama Khanza Dwika Rahadian. Baby K sekarang pasti sedang main-main di surga-Nya. Aya harus cepat pulih, ntar kalo udah bisa pulang, kita tengok baby K, ya?" bujuknya dengan lembut, seperti biasa.

Aku tak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian memejamkan mata. Boleh saja aku tak bereaksi berlebihan seperti menangis histeris atau menggugat Tuhan, tapi siapa yang tahu badai dalam hatiku? Perasaan bersalah karena tak bisa menjaga anakku dengan benar sangat menyiksa. Bagaimana bisa aku lalai menjaganya? Padahal anakku bahkan masih berada dalam diriku. Masih pantaskah aku menjadi ibu? Terang saja Tuhan mengambilnya kembali, ah, Dia memang senang sekali menggodaku.

Aku menutup mata, dan enggan untuk membukanya. Aku hanya ingin tidur, begitulah caraku menikmati dukaku, tanpa meratap dan meraung. Bukankah mereka menginginkanku tenang? Baiklah, aku akan lakukan, aku berharap, dalam tidurku kali ini, anak cantikku yang bahkan tak bisa ku sentuh itu hadir menyapa ibunya yang tak becus ini. Ah, betapa nyamannya, sungguh, aku hanya ingin tidur.

...\=\=\=\=\=...

PoV 3

Adara kembali tidur, Dwi menatap sendu istrinya yang terlelap. Suara pintu terbuka mengalihkan pandangannya, terlihat Amri dengan wajah kusutnya.

"Gimana? Sudah ada titik temu?" tanya Dwi pada temannya itu.

"Mm, seperti dugaan awal, memang dia. Pada awalnya si tersangka ini ngelak, tapi pas tahu Adara lagi hamil dan anak kalian nggak selamat, dia akhirnya ngaku kalo yang nyuruh si ani-ani. Menurut pengakuannya, dia ga tahu kalo targetnya sedang hamil, dan setuju jadi eksekutor karena istrinya butuh biaya buat lahiran. Brengsek! Gue jadi pengen nginjek batang lehernya," umpat lelaki berambut klimis itu.

"Astaghfirullah, apa lagi sih yang mereka mau? Padahal Aya udah nyerahin hak warisnya loh, kok bisa masih belum puas? Gue ga mau tahu, lu urus sendiri kasus ini, sampe si Hana masuk ke sel. Dunia akhirat gue ga ridho!"

"Iya, gue yang turun sendiri. Tapi yang gue denger dari Ojik, surat wasiat itu ada tambahannya, di mana isinya tuh, aset yang sudah diwariskan ga bisa dialihkan apapun situasi dan kondisinya, kecuali si ahli waris meninggal. Bisa jadi pemicunya ini. Ternyata tante Lana udah tahu lama, makanya beliau sampe sempatin buat bikin surat waris ini. Kasihan gue sama bini lu, Us. Andai gue ga jadi aparat, udah gue giling itu setan satu."

"Ga usah lu, Am, gue sendiri yang bakal turun tangan. Mertua gue keknya belum tahu gue kalo ngamuk kek mana. Gue bikin collapse itu perusahaan segede upil. Gue harap, Aya ga sampe down, gue ga tahu harus gimana kalo sampe gitu." Dwi menengadah sembari memejamkan mata. Wajahnya tampak kusut seperti hatinya yang sudah tak tenang.

Detik dan menit terus berputar tanpa bisa dicegah, hari pun berganti, namun, Adara seperti enggan terbangun, ia terbuai mimpi. Dwi yang terus berjaga, mulai kehilangan setengah warasnya.

"Ini si Aya kenapa, Ian? Betah banget ga bangun-bangun. Ga ada yang salah, kan?"

"Sebenarnya ga apa-apa, Us. Cuma ini si Ara emang ga pengen bangun, kalo di medis istilahnya lucid dream. Biarin sehari dulu, biar dia terima kenyataan pahit ini dulu, salah satu terapi juga sih, buat hilangin stres dan depresi dia," jawab Ian yang saat itu masuk ke ruang rawat sepupunya itu.

"Terus banguninnya gimana? Gue dari tadi udah berusaha bangunin tapi ga bangun-bangun. Gue takut."

"Dia belum mau bangun, lagi asik di dunia mimpi. Tunggu sebentar, kalian abis ini mending pada ke mana kek, biar bisa lebih santai. Gue tahu, kalian kehilangan, dan rasanya pasti sakit. Tapi, demi kedamaian hidup ke depannya, gue harap lu pertimbangin buat nyari suasana baru. Adara ga apa-apa, efek bius total sekaligus kehilangannya emang penyumbang besar keadaannya sekarang. Lu ajakin ngobrol terus, biar dia bisa bangun sendiri."

Tak ada yang bisa mereka lakukan, selain membiarkannya "menikmati" alam fantasi yang dibuatnya sendiri. Tetapi mereka tak berencana membiarkannya untuk waktu yang lama, tentu saja demi dirinya sendiri dan kesehatan mentalnya.

Kedua orangtuanya menenangkan Dwi, menyuruhnya untuk fokus pada sang istri. Untuk urusan pelaku, mereka yang akan maju. Tentunya pasangan Rahadian ini juga geram dengan tingkah keluarga besannya yang tak tahu malu ini. Mereka akan terus melanjutkan perkara ini sampai akarnya tertangkap.

"Yang, abis ini bangun, ya? Mas nungguin kamu, nih. Kamu tega biarin Mas ngomong sendiri gini? Ayolah, kamu lagi mimpiin apa, Yang? Kok betah banget bobonya. Setelah ini, ayo kita rangkai ulang semuanya. Kamu mau apa? Bilang sama Mas, tapi bangun dulu, atuh."

Firdaus Dwi terus berceloteh, berharap sang istri segera membuka mata. Perlahan, suaranya menghilang, disertai nafasnya yang teratur, matanya memejam dan ia tertidur di bangku penunggu.

Tak lama berselang, mata Adara mulai terbuka perlahan. Ia mengerjapkan mata, alisnya tertekuk, dengan bibir yang mengerucut. Menoleh ke samping kiri, ia melihat Dwi tertidur di samping lengannya dengan posisi duduk di bangku.

Ara dengan pelan melepas kacamata milik suaminya. Pandangannya melembut, ia menghembuskan nafas pelan. Ingatannya mundur ke awal pertemuan mereka, sampai hari ini, tak pernah sekalipun ia merasa sendiri. Meski sempat hilang kontak selama beberapa bulan, nyatanya Allaah tak pernah membiarkannya benar-benar sendiri. Lelaki yang tengah memejamkan mata inilah yang selalu menjadi tempat pulangnya. Kesabarannya memang luar biasa untuk orang yang tak berhubungan keluarga dengannya.

Dengan pelan, ia membelai rambut tebal Dwi, berusaha membangunkannya agar pindah tempat tidur.

"Mas, bangun dulu. Pindah, biar badannya ga sakit." Dengan suara serak dan kering Ara mencubit lembut pipi tirus itu.

Dwi mengerang pelan, matanya terbuka dan melihat istrinya tengah memandangnya dengan wajah geli.

"Maaf gangguin tidurnya, sini deket Aya, biar kakinya bisa lurus." Ara menepuk pelan bed yang masih kosong.

"Loh, bukan mimpi, udah bangun, Yang? Kamu haus? Minum dulu, ya? Bentar." Dwi gegas bangun menuju nakas dan mengambil segelas air minum yang memang sudah tersedia, ia dengan telaten mengurus istrinya.

"Cukup, Mas. Ayo bobok lagi, Aya udah ngga ngantuk. Mas pasti ga pernah istirahat, ya? Maafin Aya, Mas, Aya ga bisa jagain anak kita. Aya juga udah nyusahin Mas dengan keadaan Aya yang kaya gini."

"Nah, mulai lagi. Kalo ada yang mesti disalahin, harusnya Mas yang salah, Ay. Mas ga bisa jagain kalian, dan hey, berhenti salahin diri sendiri! Kamu ga ngerepotin, Adara Eka Mentari! Ini musibah, kita ga berhak buat mempertanyakan takdir, kita cuma bisa berbaik sangka sama Allaah." Dwi menatap Ara dengan tegas, agar tak lagi menyalahkan diri sendiri.

"Mmm, Aya tahu." Ara menganggukkan kepalanya dengan patuh.

"Pinter, harus terus berpikir positif, ya? Baby K juga pasti ga pengen bundanya tenggelam dalam kesedihan, jadi kamu harus semangat. Oiya, kamu masih pengen stay di Jepang, Ay? Ayo tinggal di sana, Mas kemarin ada tawaran buat jadi dosen di Tokyo, kamu mau?" tawar Dwi.

"Jepang? Ayo, tapi Mas harus selesaikan urusan dulu di sini. Perkara ini pasti ga jauh dari si Hana, kemarin dia sempat kirim pesan ancaman. Mas aja yang urus, Aya males liat mukanya, ntar kalo pak Reza dateng buat cabut perkara, abaiin aja, tuman! Calon anakku sampe meninggal sebelum sempat lahir, dia masih ada hati buat minta cabut. Ajakin ke kuburan anakku, biar tahu kalo nggak cuma dia yang punya anak!"

Keduanya berdiskusi, melanjutkan obrolan tentang Jepang. Dwi sengaja mengalihkan pembicaraan tentang kasus ini, dan diam-diam setuju dengan permintaan Ara. Semuanya harus tuntas, agar tak ada lagi Khanza selanjutnya.

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!