NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:112
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29: CIUMAN PERTAMA

#

Malam turun dengan cepat di Puncak. Udara dingin mulai menusuk, tapi Julian dan Laura masih duduk di beranda belakang—sekarang dengan selimut tebal yang Julian ambil dari dalam rumah, membungkus mereka berdua.

Langit malam di sini beda banget sama di Jakarta. Gak ada polusi cahaya yang bikin bintang-bintang tersembunyi. Di sini, langit penuh dengan titik-titik cahaya yang berkelap-kelip—ribuan bintang yang terlihat jelas, membentuk pola yang indah.

"Gila," bisik Laura, kepalanya mendongak menatap langit. "Gue lupa terakhir kali lihat bintang sebanyak ini kapan."

Julian mengikuti pandangannya, tapi matanya lebih sering melirik ke Laura—cara wajahnya diterangi cahaya bulan, cara matanya berbinar ngelihat bintang, cara bibirnya sedikit terbuka dengan kagum.

"Cantik," gumamnya tanpa sadar.

"Iya, cantik banget," jawab Laura, masih natap langit.

"Gue gak ngomong tentang bintang," ujar Julian pelan.

Laura menoleh, dan saat mata mereka bertemu, Laura merasakan jantungnya berhenti sejenak. Ada sesuatu di tatapan Julian malam ini—sesuatu yang lebih dalam, lebih intens dari sebelumnya.

"Lo—lo natap gue kenapa?" tanya Laura, suaranya bergetar sedikit.

"Karena gue gak bisa berhenti," jawab Julian dengan jujur. "Karena setiap kali gue lihat lo, gue ngerasa—gue ngerasa kayak orang paling beruntung di dunia."

Laura merasakan pipinya memanas. "Julian, lo—"

"Gue serius, Laura," potong Julian, tubuhnya bergerak sedikit lebih dekat. "Sepuluh tahun lo mencintai gue dalam diam. Dan sekarang—sekarang gue yang gak bisa diam lagi. Gue pengen bilang ke seluruh dunia gimana pentingnya lo buat gue. Gimana lo ngubah hidup gue. Gimana lo—"

Suaranya terhenti. Dia menatap Laura dengan tatapan yang penuh emosi—cinta, ketakutan, harapan, semua bercampur jadi satu.

"Gimana lo jadi alasan gue masih di sini," bisiknya akhirnya. "Masih bernapas. Masih percaya ada yang indah di dunia ini."

Laura merasakan air matanya mulai berkumpul. "Julian—"

"Boleh gak—" Julian menelan ludah, tangannya bergerak menyentuh pipi Laura dengan lembut "—boleh gak gue cium lo?"

Pertanyaan itu keluar dengan suara yang hampir gak terdengar, penuh dengan keraguan dan harapan yang bercampur.

Laura merasakan napasnya tertahan. Mereka pernah ciuman sekali—di apartemen Julian, malam yang penuh hujan dan emosi. Tapi ciuman itu terputus, berakhir dengan kebingungan dan sakit hati.

Tapi sekarang—sekarang berbeda. Sekarang mereka udah melewati semua kesalahpahaman. Sekarang mereka udah tau perasaan satu sama lain dengan jelas.

"Iya," bisik Laura, suaranya bergetar. "Boleh."

Julian tersenyum—senyum kecil yang lembut—lalu perlahan, sangat perlahan, dia membawa wajahnya lebih dekat. Tangannya masih di pipi Laura, ibu jarinya mengusap air mata yang mulai jatuh dengan lembut.

"Kenapa lo nangis?" bisik Julian, dahinya nyaris menyentuh dahi Laura.

"Karena aku bahagia," jawab Laura dengan jujur. "Karena sepuluh tahun aku mimpi moment ini. Dan sekarang—sekarang ini beneran terjadi."

"Ini beneran terjadi," ujar Julian dengan lembut. "Dan gue gak akan kemana-mana lagi."

Lalu—akhirnya—bibir mereka bertemu.

Ciuman itu dimulai lembut, nyaris hati-hati. Bibir Julian hangat meski udara dingin, bergerak perlahan terhadap bibir Laura seperti dia takut Laura akan hilang kalau dia terlalu cepat.

Tapi Laura gak mau ciuman yang hati-hati. Laura udah tunggu sepuluh tahun untuk ini.

Tangannya bergerak ke belakang leher Julian, menarik dia lebih dekat, membuat ciuman mereka lebih dalam. Dan Julian—Julian merespons dengan semangat yang sama, tangannya berpindah ke pinggang Laura, menarik dia lebih dekat sampai hampir gak ada jarak antara mereka.

Ciuman itu—ciuman itu berbeda dari ciuman pertama mereka. Kalau ciuman pertama penuh dengan kebingungan dan keraguan, ciuman ini penuh dengan kepastian. Penuh dengan cinta yang udah lama mereka pendam, udah lama mereka simpan, sekarang akhirnya bisa mereka ekspresikan dengan bebas.

Saat mereka akhirnya terpisah—napas terengah-engah, dahi masih menempel—mereka menatap satu sama lain dengan senyum yang lebar.

"Itu—" Laura mencoba bicara tapi suaranya hilang.

"Itu luar biasa," selesai Julian untuknya, senyum gak lepas dari wajahnya.

Laura tertawa—tertawa yang tulus, yang bikin Julian merasakan dadanya hangat. "Gue udah bayangkan ini berkali-kali. Tapi kenyataannya—kenyataannya lebih bagus dari semua bayangan gue."

"Cuma itu?" Julian menaikkan alis dengan main-main. "Gue harus coba lebih keras kayaknya."

Sebelum Laura bisa protes, Julian udah menciumnya lagi—kali ini lebih playful, senyum masih di bibirnya, tangan memegang wajah Laura dengan lembut tapi possessive.

Dan Laura—Laura melupakan semua keraguan, semua ketakutan, semua pikiran negatif yang pernah ngeganggu. Di moment ini, di bawah langit penuh bintang, dalam pelukan Julian, dengan bibir mereka bertemu—semua terasa sempurna.

Saat mereka terpisah lagi, Julian menarik Laura ke pelukannya, dagunya bersandar di puncak kepala Laura. Mereka duduk seperti itu—dibungkus selimut, dipeluk satu sama lain, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di atas mereka.

"Gue mau bilang sesuatu," ujar Julian setelah beberapa saat dalam keheningan yang nyaman.

"Hmm?" Laura terlalu nyaman untuk bergerak.

"Gue mencintai lo," ujar Julian dengan suara yang jelas dan tegas. "Gue mencintai lo dengan cara yang gue gak pernah pikir gue bisa rasain. Gue mencintai lo bukan karena lo sempurna—karena lo gak sempurna, dan gue juga gak sempurna. Tapi lo sempurna buat gue."

Laura mengangkat kepalanya, menatap Julian dengan mata yang berkaca-kaca lagi.

"Gue mencintai gimana lo peduli sama detail kecil," lanjut Julian. "Gimana lo kerja keras buat semua yang lo lakuin. Gimana lo bisa kuat tapi juga vulnerable. Gimana lo bisa tegas tapi juga lembut. Gimana lo—" suaranya bergetar "—gimana lo diam-diam mencintai gue sepuluh tahun tanpa pernah expect apapun balik."

"Julian—" suara Laura pecah.

"Dan gue minta maaf," lanjut Julian, air matanya mulai jatuh sekarang. "Gue minta maaf butuh waktu selama ini untuk nyadar. Minta maaf bikin lo tunggu. Minta maaf bikin lo ngerasa lo gak cukup, padahal lo—lo lebih dari cukup. Lo adalah segalanya."

Laura gak bisa nahan lagi. Dia nangis—nangis bahagia, nangis lega, nangis karena semua yang dia rasain terlalu besar untuk ditampung di dadanya.

"Aku juga mencintai lo," bisiknya di antara tangisannya. "Aku mencintai lo sejak hari pertama aku lihat lo di kampus. Aku jatuh cinta sama cara lo serius pas lagi belajar, cara lo peduli sama temen-temen lo, cara lo—cara lo jadi diri lo sendiri tanpa pura-pura jadi orang lain."

Dia menarik napas yang bergetar. "Dan sepuluh tahun itu—sepuluh tahun itu nyakitin karena aku ngerasa aku gak pernah cukup buat lo. Tapi sekarang—" dia menatap Julian dengan senyum meski air mata masih mengalir "—sekarang aku ngerti. Bukan aku yang gak cukup. Cuma timing-nya yang belum tepat."

"Dan sekarang timing-nya tepat," ujar Julian dengan tegas. "Sekarang gue siap. Gue siap untuk mencintai lo dengan cara yang lo pantas dapatkan. Gue siap untuk jadi orang yang lo butuhkan."

"Lo udah jadi orang yang aku butuhin," bisik Laura. "Lo udah jadi itu sejak lama. Aku cuma—aku cuma terlalu takut untuk percaya."

"Dan sekarang?" Julian menatapnya dengan harapan di mata.

"Sekarang aku percaya," jawab Laura dengan yakin. "Aku percaya sama lo. Aku percaya sama kita."

Julian tersenyum—senyum yang paling lebar dan paling tulus yang Laura pernah lihat di wajahnya. Lalu dia mencium Laura lagi—kali ini lebih lambat, lebih dalam, menuangkan semua cinta yang dia punya ke dalam satu ciuman.

Dan di bawah langit malam yang penuh bintang, di tengah dinginnya udara Puncak, Julian dan Laura akhirnya menemukan apa yang mereka cari selama ini: kepastian. Cinta yang gak perlu diragukan lagi. Cinta yang tulus, yang kuat, yang worth waiting for.

Sepuluh tahun menunggu. Dua bulan penuh drama. Tapi semua itu—semua sakit, semua air mata, semua kesalahpahaman—worth it untuk moment ini.

Worth it untuk bisa duduk dalam pelukan orang yang lo cintai, tau dia mencintai lo balik dengan cara yang sama, dan merasakan peace yang gak pernah lo rasain sebelumnya.

"Aku mencintaimu," bisik Laura sekali lagi, butuh ngomong itu sebanyak mungkin untuk yakin ini semua nyata.

"Gue juga mencintai lo," jawab Julian, mencium dahi Laura dengan lembut. "Sekarang. Besok. Selamanya."

Dan di malam itu, di bawah bintang-bintang yang jadi saksi, Laura dan Julian akhirnya menutup chapter lama dalam hidup mereka—chapter yang penuh dengan sakit dan kesepian—dan membuka chapter baru yang penuh dengan cinta dan harapan.

Chapter dimana mereka gak sendirian lagi. Chapter dimana mereka punya satu sama lain. Chapter dimana akhirnya—akhirnya—mereka bisa bahagia tanpa ragu lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!