Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sidang putusan
Langit Jakarta pagi itu tampak kelabu, seolah turut merasakan beban yang menggantung di pundak Indira. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, menatap pantulan dirinya dengan tatapan kosong. Hari ini. Hari yang sudah dinanti-nantikannya selama berbulan-bulan. Hari di mana ia akhirnya akan benar-benar terbebas dari belenggu pernikahan yang telah lama mati.
"Kamu yakin tidak mau aku temani?" suara Rani terdengar dari ponsel yang tersangga di meja rias. Sahabatnya itu terlihat cemas meski hanya melalui layar video call.
Indira tersenyum tipis sambil mengancingkan blazer abu-abu tuanya. "Aku baik-baik saja, Ran. Kamu tenang saja di Surabaya. Lagipula, Adrian sudah berjanji akan menemani aku."
"Adrian?" nada suara Rani berubah senang. "Aah syukurlah kamu dan dia makin dekat sekarang. Tapi... bagaimana jika nanti kamu bertemu Rangga yang pastinya akan datang dengan..."
"Dengan Ayunda?" Indira memotong, kali ini senyumnya lebih lebar meski tidak mencapai matanya. "Justru karena itu aku butuh seseorang di sisiku. Bukan untuk pamer atau balas dendam, tapi agar aku punya kekuatan. Adrian paham itu. Dia teman baik."
Rani terdiam sejenak, tatapannya menyelidik melalui layar. "Teman?"
"Ya, teman," Indira menegaskan, meski ada sesuatu yang bergetar di dadanya saat mengucapkan kata itu. Ia tahu perasaan Adrian padanya. Bagaimana mungkin tidak? Pria itu selalu ada, selalu hadir dengan kesabaran yang hampir tidak masuk akal. Tapi hatinya... masih terlalu lelah untuk memikirkan hal itu sekarang.
Adrian sudah menunggu di lobi hotel ketika Indira turun. Pria itu berdiri dengan postur tegap, mengenakan setelan jas biru dongker yang membuatnya tampak lebih matang dari biasanya. Matanya yang gelap langsung menangkap sosok Indira begitu wanita itu keluar dari lift, dan sesuatu dalam tatapannya melembut dengan cara yang hanya Indira yang bisa membuatnya begitu.
"Siap?" tanya Adrian lembut ketika Indira menghampirinya.
Indira menarik napas panjang, kemudian mengangguk. "Siap. Terima kasih sudah mau menemaniku, Adrian."
"Hey," Adrian mengulurkan tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menyentuh lengan Indira dengan sangat hati-hati. "Kamu tidak perlu berterima kasih. Aku di sini karena aku ingin di sini."
Ada kehangatan dalam sentuhan itu yang membuat Indira hampir meneteskan air mata. Hampir. Tapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri: tidak ada lagi air mata untuk Rangga. Tidak satu tetes pun.
Perjalanan menuju Pengadilan Agama terasa lebih cepat dari yang Indira bayangkan. Atau mungkin pikirannya yang terlalu sibuk berputar, mengulang semua kejadian yang membawa mereka ke titik ini.
"Indira," suara Adrian menyadarkannya. Mereka sudah tiba.
Gedung pengadilan tampak megah dan menjulang, tapi bagi Indira, itu adalah gerbang menuju kebebasan. Ia melangkah keluar dari mobil dengan Adrian di sampingnya, dan di situlah ia melihat mereka.
Rangga dan Ayunda.
Mantan suaminya itu berdiri di dekat pintu masuk, tampan seperti biasa dengan setelan jas hitamnya. Tapi yang membuat perut Indira bergejolak adalah wanita di sampingnya. Ayunda, dengan dress putih yang terlalu mencolok untuk acara seperti ini, tangan mungilnya melingkar posesif di lengan Rangga.
Mata Rangga dan Indira bertemu. Untuk sesaat, Indira melihat sesuatu di sana... penyesalan? Kerinduan? Tapi ia segera mengalihkan pandangannya. Sudah tidak ada lagi yang tersisa untuk dibicarakan.
Dengan langkah mantap, Indira berjalan melewati mereka menuju pintu masuk. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan tidak memberikan pandangan kedua. Di belakangnya, Adrian mengikuti dengan tenang, kehadirannya seperti benteng pelindung yang tidak terlihat.
"Indira, tunggu..." suara Rangga terdengar, tapi Indira tidak berhenti. Ia terus berjalan hingga memasuki gedung, meninggalkan masa lalunya di luar.
Adrian hendak mengikuti Indira masuk ketika tangan Rangga menahan lengannya. Pria yang pernah menjadi suami Indira itu menatapnya dengan tatapan meremehkan yang sangat kentara.
"Jangan terlalu berharap," bisik Rangga, suaranya rendah agar hanya Adrian yang mendengar. Bibirnya menyunggingkan seringai tipis yang penuh kesombongan. "Kamu mungkin cucu dari keluarga Suryatama, pewaris terkaya di Indonesia, tapi percayalah... pada akhirnya Indira akan kembali ke pelukanku. Dia selalu kembali."
Adrian menatap Rangga dengan tatapan datar, tidak ada kemarahan atau emosi apapun di wajahnya yang tenang. Ia tidak tergerak oleh provokasi murahan itu. Perlahan, ia melepaskan tangannya dari cengkeraman Rangga dengan gerakan yang sangat terkontrol.
"Biar waktu yang menjawab kemana hati Indira akan berlabuh," ucap Adrian dengan suara yang begitu tenang, tapi ada ketegasan yang tidak bisa disangkal di sana. "Dan aku akan ada di sana, menemaninya dalam setiap pilihannya. Bukan karena nama keluargaku, tapi karena aku peduli padanya sebagai manusia... sesuatu yang mungkin kamu sudah lupa caranya."
Tanpa menunggu respons Rangga, Adrian melangkah masuk, meninggalkan pria itu terdiam dengan wajah yang memerah.
Ruang sidang terasa dingin meski AC tidak terlalu kencang. Indira duduk di kursinya dengan punggung tegak, tangan terlipat rapi di pangkuan. Di seberangnya, Rangga duduk dengan postur yang tidak kalah tegap, meski matanya terus mencuri pandang ke arah Indira.
Hakim yang memimpin sidang, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal, membuka berkas di hadapannya. "Baik, kita akan memulai sidang putusan perceraian antara Tuan Rangga Pradipta dan Nyonya Indira Putri Zamora."
Suara hakim itu terdengar jauh bagi Indira. Ia merasakan tangan Adrian yang duduk di bangku penonton di belakangnya... tidak menyentuh, tapi kehadirannya memberikan kekuatan. Di sisi lain ruangan, Ayunda duduk dengan wajah yang berusaha terlihat simpati tapi gagal menyembunyikan sorot kemenangan di matanya.
"Setelah melalui beberapa kali persidangan dan mendengar kesaksian dari kedua belah pihak," hakim melanjutkan, "majelis hakim telah mengambil keputusan. Apakah ada yang ingin disampaikan sebelum putusan dibacakan?"
Rangga tiba-tiba berdiri. "Yang Mulia, saya..."
"Tuan Rangga, silakan duduk," potong hakim dengan tegas. "Kesempatan untuk menyampaikan pendapat sudah diberikan di sidang-sidang sebelumnya."
Rangga duduk kembali, rahangnya mengeras. Indira bisa merasakan tatapannya yang memohon, tapi ia tidak menoleh. Ia sudah terlalu lama tenggelam dalam permohonan dan janji-janji kosong itu.
"Berdasarkan bukti-bukti yang ada dan pertimbangan majelis hakim," suara hakim menggemakan di ruangan yang sunyi, "perceraian antara Tuan Rangga Pradipta dan Nyonya Indira Putri Zamora dikabulkan."
Ketukan palu hakim menggema seperti dentuman kebebasan.
Indira menutup matanya, membiarkan kelegaan yang luar biasa membasahi setiap sel tubuhnya. Akhirnya. Akhirnya ia bebas.
Di belakangnya, Adrian tersenyum tipis. Sementara di seberang ruangan, wajah Ayunda berseri-seri... tidak menyadari bahwa kemenangan yang ia pikir telah diraih bersama Rangga sebenarnya adalah awal dari mimpi buruk mereka sendiri.
Setelah semua dokumen ditandatangani dan formalitas selesai, Indira berjalan keluar dari ruang sidang dengan kepala tegak. Udara luar terasa lebih segar, langit yang tadinya kelabu sudah mulai cerah. Adrian berjalan di sampingnya, tidak berkata apa-apa, hanya hadir.
"Aku bebas, Adrian," bisik Indira, suaranya bergetar antara tawa dan tangis. "Aku benar-benar bebas."
Adrian menatapnya dengan tatapan yang begitu lembut. "Kamu memang pantas mendapatkan kebebasan itu, Dira. Dan sekarang, kamu bisa memulai hidup yang kamu inginkan."
Indira menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia tersenyum tulus yang mencapai matanya. "Terima kasih sudah selalu ada untukku."
"Selalu," jawab Adrian sederhana, tapi kata itu mengandung sejuta janji.
"Adrian," Indira memanggil saat mereka berjalan menuju mobil. "Apa kamu... mau makan bersama? Sebagai perayaan?"
Wajah Adrian menyala dengan cara yang membuat Indira menyadari betapa jarang ia melihat pria itu benar-benar bahagia. "Aku akan sangat senang."
Saat mereka memasuki mobil dan mulai meninggalkan gedung pengadilan, Indira menoleh ke belakang satu kali terakhir. Di sana, Rangga berdiri dengan Ayunda, tapi matanya menatap kepergian Indira dengan tatapan yang sulit diartikan.
Indira menghadap ke depan lagi, menatap jalan yang terbentang di hadapannya. Masa lalu sudah berlalu. Dan masa depan adalah halaman kosong yang siap ia tulis dengan tinta yang ia pilih sendiri.
Di sampingnya, Adrian menyetir dengan senyum tipis di wajahnya, hatinya penuh harapan yang tidak ia ucapkan. Waktu akan menjawab semuanya, seperti yang ia katakan pada Rangga. Dan untuk sekarang, berada di sisi Indira sebagai teman... sebagai apapun yang wanita itu butuhkan sudah lebih dari cukup.
Hari pembebasan telah tiba. Dan dengan kebebasan itu, datanglah kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terbatas.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.