Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Bagai Petir untuk Shanaira
Aula pernikahan masih didekorasi dengan rangkaian bunga putih dan pita emas, tapi atmosfernya jauh dari yang seharusnya. Tamu-tamu duduk kaku di bangku masing-masing, saling berbisik, bertanya-tanya, dan bergumam penuh rasa ingin tahu. Ada yang kecewa, ada yang bingung, dan ada yang hanya menanti drama apa lagi yang akan terungkap hari ini.
Di depan altar, Ethan berdiri kaku dengan jas pernikahan yang semula disiapkan untuk pernikahan impiannya dengan Shanaira. Tapi kini, jas itu terasa seperti pakaian tahanan. Matanya kosong, wajahnya datar, dan jiwanya... kosong.
Di sebelahnya, Claira berjalan pelan menyusuri lorong aula, didampingi Refina yang tersenyum penuh kemenangan. Gaun pengantin putih yang dikenakannya adalah milik Shanaira. Sedikit disesuaikan, tapi tetap gaun yang disiapkan untuk hari bahagia kakaknya.
Wajah Claira nyaris tanpa ekspresi, tapi di balik tatapan tenangnya, ada badai kecil yang berputar. Ini bukan hari pernikahan impiannya, tapi dia akhirnya berdiri di samping pria yang diam-diam selalu ia inginkan.
Pendeta mulai membacakan kalimat pembuka, suaranya bergema di antara pilar-pilar aula.
“Hari ini, kita berkumpul untuk menyatukan Ethan Renault dan Claira Monard dalam ikatan suci pernikahan…”
Ethan tidak mendengar apapun. Semua suara terasa jauh. Di dalam pikirannya, hanya ada wajah Shanaira—tertawa kecil saat kecil dulu di taman rumah, menangis di pelukannya saat dunia terasa terlalu kejam, dan tersenyum saat pertama kali ia melamarnya.
Saat pendeta berkata, “Apakah kau, Ethan Renault, bersedia menerima Claira Monard sebagai istrimu yang sah…?”
…Ethan diam cukup lama hingga membuat bisik-bisik semakin riuh.
Hazard menatapnya tajam. Daisy menggenggam tangan suaminya, khawatir anaknya akan berbuat hal bodoh.
Ethan akhirnya menjawab, lirih, “Saya... bersedia.”
Claira pun menjawab hal yang sama, dengan suara sedikit bergetar.
“Dengan ini, saya nyatakan kalian resmi menjadi suami dan istri.”
Tepuk tangan terdengar. Tapi tidak meriah. Tidak hangat. Hanya seperti formalitas, karena semua orang tahu, pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang kepentingan, nama baik, dan dendam yang telah lama disimpan.
***
Cahaya lampu di langit-langit kamar rumah sakit perlahan menembus kelopak mata Shanaira. Kelopak matanya bergerak pelan, seperti berjuang menembus selimut mimpi yang berat. Kepalanya terasa pening, tubuhnya lemah. Ia berusaha duduk, namun nyeri di perut membuatnya mengerang pelan.
“Shana…”
Suara lembut itu datang dari sisi ranjang. Oma Aini segera menggenggam tangan cucunya. Matanya berkaca-kaca, tapi senyum sabarnya tak pernah luntur.
“Oma…?” gumam Shanaira, suaranya serak. “Apa yang… terjadi?”
Oma Aini mengelus pelan rambutnya. “Kau pingsan, sayang. Tapi sekarang kau aman. Kau hanya perlu banyak istirahat.”
Shanaira memejamkan mata sesaat. Tapi seketika, ingatan akan hari itu menghantam: hari pernikahannya… Ethan… lorong hotel… altar…
Matanya terbuka lebar. “Pernikahannya… Ethan? Di mana Ethan?”
Oma Aini terdiam. Tangannya berhenti bergerak. Ekspresinya berubah sendu.
“Dia… tidak disini, ya?” bisik Shanaira, mulai merasa hampa di dadanya.
Oma Aini menarik napas panjang, lalu berkata dengan lirih, “Tidak, sayang. Pernikahannya tetap berlangsung. Tapi… bukan denganmu.”
Jantung Shanaira serasa berhenti berdetak. “Apa… maksud Oma?”
“Ethan… menikah. Tapi dengan Claira.”
Dunia di sekeliling Shanaira runtuh dalam satu detik. Matanya membulat. Tubuhnya menegang.
“Tidak… Tidak mungkin… Ethan tidak akan melakukan itu padaku!” serunya dengan suara bergetar. Air mata jatuh begitu saja dari matanya.
Oma Aini menarik napas, ragu sejenak. Ia ingin menunggu, tapi dokter sudah mengatakan bahwa tak ada gunanya menyembunyikan fakta terlalu lama.
Oma Aini menghela napas pelan, lalu dengan hati-hati berkata, “Shana, Oma tahu ini pasti berat buat kamu. Tapi, ada satu hal yang harus kamu tahu. Kau hamil, Shana. Usia kandunganmu empat minggu.”
Dunia serasa berhenti berputar.
“Apa…?” suara Shanaira tercekat. “Oma… bercanda, kan?”
“Tidak, sayang… Aku berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi… itu kenyataan.”
Shanaira menggeleng, matanya membesar, tubuhnya menegang. “Itu tidak mungkin! Aku… aku belum pernah… aku dan Ethan… kami belum pernah melakukannya!”
Napasnya mulai memburu. Tangannya mencengkeram selimut. Dadanya berdebar tak karuan. “Kalau bukan Ethan… lalu… siapa?!”
Saat itu juga, sebuah kilasan menyerbu pikirannya. Fragmen ingatan yang selama ini ia tekan keras-keras di pojok terdalam kesadarannya—yang ia kira hanya mimpi buruk, mimpi kabur setelah malam yang tidak jelas.
Sebulan yang lalu.
Pesta ulang tahun Claira.
Claira memaksa Shanaira ikut—mengatakan bahwa sebagai bagian dari keluarga, ia tak bisa selalu menyendiri. Shanaira menolak, tapi akhirnya menyerah karena tekanan ibunya.
Ia ingat… lampu yang berkelap-kelip, musik yang terlalu keras, dan gelas minuman yang terus disodorkan padanya. Shanaira tak biasa minum. Tapi malam itu, Claira menyuruhnya, mendorongnya, bahkan mengejeknya di depan orang-orang.
Dan setelah itu… gelap.
Ia ingat terbangun di sebuah kamar hotel. Sendirian. Pakaiannya berantakan. Tubuhnya terasa aneh, berat, dan kosong.
Air matanya menetes satu demi satu saat semua fragmen itu terangkai menjadi sesuatu yang nyata.
“Tidak…” gumamnya, gemetar. “Aku tidak tahu… siapa ayah bayi ini…”
Oma Aini menatap cucunya dengan hati remuk. Ia menarik Shanaira ke pelukannya, mengusap punggung gadis itu dengan lembut.
“Aku di sini, Shana. Kau tidak sendirian. Sekarang bukan waktunya menyalahkan dirimu. Kau butuh waktu, dan kebenaran pasti akan terungkap.”
Shanaira memeluk omanya erat, tubuhnya bergetar. Di dalam dadanya, ada luka yang baru saja terbuka… dan luka itu dalam. Lebih dalam dari apa pun yang pernah ia rasakan.
***
Lampu-lampu kristal berpendar lembut di ballroom hotel malam itu. Alunan musik klasik mengisi udara, para tamu berdansa, bercengkrama, dan tersenyum dalam balutan gaun mahal dan jas elegan. Tapi di satu sudut ruangan, di balik tirai dan keramaian, berdiri seorang wanita muda dengan mata merah dan napas tertahan.
Shanaira Monard.
Berdiri terpaku, memandang dari jauh ke arah pelaminan megah di tengah aula. Gaun pasiennya telah diganti dengan dress sederhana berwarna pastel yang dikenakan atas desakan Oma Aini. Tapi tidak ada yang bisa menyamarkan wajahnya yang pucat dan hati yang koyak.
Di sana, di atas pelaminan yang penuh bunga dan cahaya… berdiri Ethan Renault.
Dan di sampingnya—dalam balutan gaun putih yang seharusnya ia kenakan—Claira Monard, adik tirinya. Wanita yang membencinya. Wanita yang dulu tertawa saat ia dihina ibu tiri. Wanita yang merebut semua yang tersisa dalam hidupnya, termasuk cinta terakhir yang ia punya.
Shanaira menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak. Tapi air mata tetap jatuh. Ia tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi begitu cepat. Ia baru saja bangun beberapa jam lalu… lalu diberi tahu bahwa ia hamil… dan sekarang, pria yang selama ini ia cintai telah menikahi wanita lain.
Claira tertawa di pelaminan, menyandarkan kepala di bahu Ethan, seolah ingin menunjukkan pada dunia siapa yang menang. Sekilas, mata Claira melirik ke arah sudut ruangan—dan bertemu pandang dengan Shanaira.
Senyum di bibirnya melebar. Sebuah senyum penuh kemenangan.
Shanaira memalingkan wajah, dadanya sesak.
“Shana…” bisik Oma Aini di sampingnya, mencoba menuntunnya kembali ke kamar. Tapi Shanaira menggeleng pelan.
“Aku hanya ingin melihatnya sekali saja, Oma,” gumamnya. “Melihat bagaimana pria yang dulu bersumpah akan melindungiku… kini berdiri di samping orang yang menghancurkan hidupku.”
Ia menarik napas panjang. “Lucu, ya? Ternyata janji sehidup semati bisa dibatalkan… hanya dengan satu malam kesalahan.”
Oma Aini memeluknya dari samping, menahan isak yang nyaris pecah. “Kau lebih kuat dari yang kau kira, Shana. Mereka pikir ini akhir bagimu. Tapi justru inilah awalmu.”
Shanaira mengusap air matanya. Matanya menatap lurus ke pelaminan, dingin, penuh luka… tapi juga dengan bara yang mulai menyala.
“Kalau ini awalku,” bisiknya, “maka akan ku pastikan mereka melihat—bahwa aku bukan gadis yang bisa diinjak dan dibuang.”
Malam pesta itu terus berjalan. Tapi bagi Shanaira, malam itu adalah titik nol. Tempat ia kehilangan segalanya. Dan tempat di mana ia mulai membangun kembali… dari kehancuran.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh