Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ijazah Ilmu Pring Gebug
Setelah dua hari menginap di desa Sukagabut, pagi itu Shantand bersiap melanjutkan perjalanan. Kudanya yang gagah telah menanti di tempat penitipan di ujung desa, tempat sederhana beratap rumbia, namun bersih dan tertata.
Saat ia hendak menaiki pelana, suara serak namun ramah menahannya.
“Maaf anak muda, bisakah kisanak singgah sebentar… barang dua sepeminuman teh?”
Shantand menoleh. Seorang lelaki tua berdiri di depan lumbung tempat penyimpanan pakan kuda. Rambutnya perak, bajunya lusuh, celananya hanya dari goni, dan tangan kirinya memegang lintingan tembakau yang masih mengepul tipis. Wajahnya tirus, namun sorot matanya teduh—seperti menyimpan cerita panjang yang tak sempat ditulis sejarah.
Shantand menunduk sedikit, sopan. “Baik, Paman. Jika hanya sepeminuman teh mungkin aku bisa ikut menemani…”
Mereka duduk di bangku kayu lapuk di bawah pohon nangka yang rindang. Si tua menuangkan teh dari kendi tanah liat ke dua cangkir bambu kecil.
“Saya hanyalah penjaga kuda, tapi dari kuda-kuda yang saya rawat, saya banyak belajar. Dan melihat kisanak beberapa hari ini… saya tahu, kuda kisanak bukanlah kuda biasa. Ia setia, tapi juga gelisah. Seolah tahu pemiliknya tengah membawa beban besar.”
Shantand menatap cangkir teh bambunya. Kata-kata Paman tua ini, meski lembut, terasa menyentuh sesuatu di dalam dadanya. Ia hanya tersenyum kecil.
“Tak kusangka, di desa kecil ini ada orang yang bisa membaca kuda seperti membaca hati.Paman sungguh luar biasa”
Paman tua itu tertawa kecil, batuk-batuk. Lalu melanjutkan, “Hati-hati di perjalanan, anak muda. Aku bukan peramal, tapi aku pernah mendengar bisikan orang-orang dulu... tentang ‘jalan silang yang menelan nama’. Jika kau melewati batu besar di tepi sungai Pecang, dan bertemu pria dengan tiga bekas luka di wajahnya—jangan abaikan kata-katanya, meski penampilannya terlihat seperti orang gila.”
Shantand mengerutkan alis, sedikit heran.
“Apakah itu petunjuk? Atau sekadar dongeng?”
“Kadang dongeng, adalah cara langit menyampaikan peringatan,” jawab Paman Tua itu sambil menghembuskan asap lintingannya perlahan.
Shantand mengangguk, lalu hendak berdiri.
“Terima kasih, paman. Aku akan mengingat pesan ini.”
“Dan… satu lagi,” kata Paman tua sambil menepuk bahunya. “Kalau kau sempat kembali… bawalah cerita baru. Sudah lama aku tak mendengar kisah pendekar yang bisa membuatku tersenyum seperti kemarin.”
Shantand hendak naik ke pelana saat suara si Paman tua kembali memanggil, kali ini lebih lirih namun dalam.
“Nak… sebelum kau pergi… izinkan aku bicara sedikit lagi.”
Shantand menoleh, masih dengan senyum ramah. Tapi kali ini, nada suara Paman Tua terdengar berbeda—seperti menyimpan sesuatu yang telah lama terkubur di balik debu waktu.
“Aku sudah lama hidup sendiri…” lanjutnya, matanya memandang ke kejauhan dan suaranya bergetar.
“Dulu… orang mengenalku dengan julukan Pendekar Pring Kuning. Karena senjata yang selalu menemaniku Ya, tongkat bambu, persis seperti yang kau pinjam kemarin untuk menghajar para anjing penjilat yang menindas rakyat."
Shantand terdiam. Ia menatap Paman Tua itu dengan lebih saksama. Kini ia mulai menyadari... ada sesuatu dalam cara Paman tua membawa diri—diamnya yang mantap, duduknya yang seimbang, dan tatapannya yang tenang… itu bukan kebiasaan orang normal yang tak tahu ilmu kanuragan.
“Waktu telah membuatku melupakan siapa aku dulunya. Aku terjatuh dalam pikiranku sendiri hingga melupakan tujuanku menimba ilmu kanuragan, Namun kemarin… saat melihatmu berdiri, bukan dengan ilmu tinggi, bukan pula dengan nama besar… tapi dengan keberanian tulus, aku seperti melihat cermin masa mudaku sendiri. Kau seolah mengajarkanku sesuatu tentang kehidupan ini anak muda"
Pak tua itu menghela napas, lalu berdiri perlahan. Ia melangkah ke bilik belakang dan kembali membawa sebuah gulungan kain kusam. Dibukanya dengan hati-hati—di dalamnya, sebatang tongkat bambu kuning keemasan, panjangnya seukuran tubuh manusia, namun tampak ringan dan lentur.
"Tongkat ini kupotong dari hutan Pringgading, tempat bambu-bambu hanya tumbuh jika bulan dan hujan bercengkerama di tengah malam ganjil. Ilmu yang kupelajari bernama Pring Gebug—gerakan bambu yang diam namun menghantam. Tidak banyak jurus, tapi setiap pukulannya mampu mengeluarkan kekuatan seperti badai.”
Shantand menelan ludah. Ia tahu saat seperti ini saat yang sangat penting. Ia menunduk hormat.
Di dalam labu Tuak, Guru Tahu nya ikut berbisik, “kamu harus besyukur dan banyak berterima kasih jika Paman ini mau mengambilmu sebagai murid”
“Paman…suatu kehormatan bagiku jika kau sudi membagi ilmu. Tapi aku hanyalah orang biasa, belum tentu sanggup…dan maaf,perkenalkan aku yang bodoh ini bernama Shantand.”
Pak tua itu tersenyum. “Ilmu bukan untuk orang kuat, tapi untuk orang yang tahu kapan harus menggunakannya,kau bisa memanggilku Ki Welat Kuning.”
Sesaat Ki Welat Kuning mengerling ke arah labu tuak itu dan tersenyum tipis. “Sampaikan salamku pada gurumu, anak muda. Beliau pasti Guru yang hebat, dan ilmu yang kuajarkan ini mungkin tidak ada seujung kuku jarinya,namun aku hanya ingin apa yang kupelajari ini dapat bermanfaat bagi dunia..”
Shantand terkejut ternyata Ki Welat Kuning bisa tau kalo Gurunya berada di dalam Labu tuaknya! Apakah dia juga tahu kalo gurunya hanya sebuah tahu??
***
Butuh waktu kurang lebih satu Purnama bagi Shantand untuk menerima pelajaran ilmu Tongkat Bambu Pendekar Pring Kuning…dan selama itu banyak hal berharga yang dia terima selain ilmu Kanuragan.
Dan selama itu pula Shantand berusaha menyembunyikan identitas Bhaskara sebagai Gurunya. Dan Ki Welat Kuning juga tak pernah membahas hal itu seolah itu bukan urusannya.
Hingga akhirnya Guru barunya puas dengan hasil yang di capai Shantand , “ ingat muridku, Gunakan semua ilmu yang kuturunkan kepadamu dengan bijak,mungkin di lain waktu jika kau lewat desa ini singgahlah ke Gubug tua ini..”
“Baik Guru, mohon ijin pamit untuk melanjutkan perjalanan lagi..”
Sebelum Shantand pergi,Gurunya pergi mengambil sebatang bambu kuning dari balik gubuk. Tongkat bamboo itu tampak sederhana, namun aura yang terpancar darinya terasa lembut sekaligus kokoh.
“Ini tongkat lamaku, Si Pring Kuning. Ia bukan senjata untuk membunuh, tapi sahabat bagi jiwa yang selalu haus akan keadilan.”
Shantand menerima tongkat itu dengan dua tangan dan membungkuk hormat. “Terima kasih atas kebaikan Guru selama ini, Saya akan belajar dengan sungguh-sungguh, Guru.”
“Bagus. Tapi ingat, sebelum kau benar-benar bisa menggerakkan tongkat ini, kau harus bisa menggerakkan hatimu terlebih dulu.”
Setelah berpamitan , Shantand meneruskan perjalanannya dengan hati ringan, tapi juga penuh semangat baru. Langkah kudanya tenang melewati jalanan desa Sukagabut yang kini terasa berbeda. Di balik senyumnya, ada kesadaran bahwa dirinya telah tumbuh — bukan hanya secara ilmu, tapi juga sebagai pribadi.
Tongkat bambu pemberian Ki Welat Kuning terselip di punggungnya, sejajar dengan labu tuak tempat Bhaskara biasa “muncul” memberi wejangan. Dan meski tak terlihat, Bhaskara seolah ikut tersenyum bangga.
“Kau makin dewasa, Shantand… Satu purnama bukan waktu yang lama, tapi jika niatmu lurus, maka waktu tak berarti.”
Shantand menoleh ke arah labu tuaknya dan bergumam pelan, “Terima kasih, Guru…”
Mentari pagi menyinari jalan setapak berbatu yang kini kembali ia lalui. Awan putih berarak pelan di atas langit biru.
Desa Sukagabut perlahan menjauh di belakangnya, namun kenangan dan pelajaran yang dia dapat di sana akan selalu membekas.
Dan entah mengapa, di kejauhan terlihat sekumpulan burung elang yang terbang berputar di langit. Pertanda? Atau hanya kebetulan?
Namun Shantand tahu satu hal—perjalanannya belum usai. Dunia persilatan masih penuh gelombang, dan seperti yang selalu Bhaskara katakan:
“Langkahmu adalah naskah takdir yang kau tulis sendiri… maka tulislah dengan hati yang bersih seorang pendekar.”