Malam itu, Gwen seorang gadis remaja tidak sengaja memergoki cowok yang dia kejar selama ini sedang melakukan pembunuhan.
Rasa takut tiba-tiba merayap dalam tubuhnya, sekaligus bimbang antara terus mengejarnya atau memilih menyerah, Karena jujur Gwen sangat takut mengetahui sosok yang dia puja selama ini ternyata seorang pria yang sangat berbahaya, yaitu Arsenio.
Dia baru tahu, kalo Arsenio itu keturunan dari keluarga mafia. Akankah dia tetap mencintai Arsenio?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepercayaan masih semu
Di lantai yang dingin, Rafa meringkuk tak berdaya, tubuhnya yang bertelanjang dada terasa nyeri menggigil. Deretan bekas cambukan yang semakin dalam menghias punggungnya, menyiratkan amarah, sakit, dan kesedihan yang ia terima dari perlakuan tak manusiawi.
Ayahnya sendiri, Lucky, menjadi algojo dalam tiap adegan penyiksaan ini. “Minta maaf sekarang, biar Papa berhenti, Rafa!” teriak Lucky dengan nada membabi buta.
Joanna, istri Lucky, hanya bisa menatap dengan ekspresi datar, seolah mendukung perbuatan Lucky, sementara Maudy, dengan mata yang lebam, pipi yang teriris, tangan terbalut perban, serta leher yang dikungkung penyangga, memperlihatkan luka-luka misterius yang entah bagaimana dia dapatkan — semua disalahkan pada Rafa.
Dengan kekuatan terakhirnya, Rafa mencoba melawan, namun sia-sia. Pengawal yang memegang kedua tangannya membatasi geraknya. Matanya yang kering tak lagi mampu menumpahkan air mata meski dalam kesunyiannya ia menjerit kesakitan.
"Rafa!" teriak Lucky sekali lagi, sambil memberhentikan cambukan untuk sesaat.
Dengan mata yang memerah, penuh luka, Rafa perlahan mengangkat kepala. Dia menatap ayahnya — sang pemberi hidup yang seharusnya menjadi pelindung, namun kini berubah menjadi sosok yang keji, melenyapkan segala rasa aman yang pernah ada dalam hati. Dalam tatapan itu tercampur rasa kehilangan, pengkhianatan, dan rasa cinta yang hancur berkeping-keping.
Mata Rafa memancarkan kebencian yang terbakar, seolah ingin meluapkan api dendam yang tak tertahankan. "Aku sudah memperingatkan anakmu untuk menjauh dari keluarga Arsenio," ucap Rafa dengan suara yang mendesis penuh amarah.
"Seharusnya kamu bisa melindungi dia, Rafa. Dimana akal sehatmu? Kau hanya berdiri sambil menonton Arsenio menyiksa adikmu," Lucky menghardik dengan nada menuduh yang tajam.
"Siapa suruh dia membocorkan rahasia Arsenio? dan menuduh Gwen. Dia hanya merasa iri kepada Gwen," balas Rafa, matanya masih menatap tajam ke arah Maudy yang duduk dengan wajah muram di depannya.
Tanpa ampun, Lucky mengangkat cambuknya kembali, tak peduli pada tangisan dan ringisan Rafa, "Anak kurang ajar!" bentaknya seraya cambuk itu terayun lagi.
Namun, tepat sebelum cambuk mendarat, suara pintu yang terbuka tiba-tiba menghentikan aksi Lucky. Semua mata tertuju pada sosok yang berdiri di ambang pintu, mengenakan pakaian bergaya artis yang mencolok.
Donna, adik Darren—ayah Gwen dan artis yang diidolakan Danny, berteriak dengan suara menggelegar, "Kalian apa-apaan dengan Rafa, hah?!"
Senyum tipis menghiasi wajah Rafa ketika melihat bibinya datang, membantunya untuk bangkit. "Jangan ikut campur, Donna! Sejak kapan kau tiba ke sini?" desis Lucky dengan nada penuh kecaman dan rasa tidak senang yang teramat dalam.
"Kalian ibarat binatang buas, tega menyiksa anak sendiri!" teriak Donna dengan nada mencela.
Namun, balasannya hanya tamparan keras dari Lucky yang membungkam ruangan dengan ketegangan. "Kenapa kau menampar Donna, Lucky?" bentak seorang wanita tua yang dikenal sebagai Binar, istri kedua David, yang melenggang masuk dengan aura yang berwibawa.
Binar melotot kepada Lucky, "Dia membela anak yang tidak tahu diri, Ma," sahut Lucky dengan nada kesal.
Binar, dengan suara yang tajam, menambahkan, "Seharusnya kau tidak memukulnya tepat di wajah! Dia adalah publik figur. Jika wajahnya terluka, siapa yang akan mendatangkan uang untuk kita?"
Donna terpaku, hatinya teriris mendengar bagaimana dirinya hanya dianggap sebagai mesin penghasil uang. David, yang berdiri di samping, tampak pucat pasi, pikirannya telah teracuni oleh Binar, nenek tua yang kejam.
Dengan air mata yang mengalir dan mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang ada, Donna mendekati David. "Papa," panggilnya dengan suara gemetar.
David menatap wajah Donna yang sudah basah oleh air mata. "Tolong, lepaskan Rafa dari keluarga ini. Biarkan dia mencari kebahagiaan di luar sana. Cukup sudah mereka menyiksa Rafa atas kesalahan orang lain," ucap Donna, suaranya penuh dengan rasa memohon yang mendalam.
"Papa, aku mohon, aku tidak pernah meminta apa-apa kepadamu. Tapi tolong, kali ini saja," ucap Donna dengan suara bergetar, tangannya menggenggam erat tangan sang ayah.
David menarik nafas panjang, matanya yang tajam menatap Rafa. "Rafa! Mulai saat ini, jangan pernah kembali ke rumah ini. Kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini," ujar David dengan nada dingin yang membuat suasana semakin menegang.
Rafa hanya tersenyum miring, sebuah senyum yang pahit. Di dalam hatinya, ia merasakan kelegaan yang ambigu—bebas dari ikatan keluarga yang selama ini mencekiknya.
"Papa, apa ini keputusan Papa sendiri? Aku tidak akan menerima ini!" Lucky berseru, suaranya keras dan penuh penolakan.
"Jika kalian tidak bisa menghormati keputusanku, lebih baik kalian pergi saja dari sini. Saya tidak butuh orang pembangkang di dekatku," balas David tanpa melunak, langkahnya cepat meninggalkan ruangan tersebut.
Binar memberi isyarat kecil kepada Lucky, mengajaknya untuk tenang. Di sisi lain, Donna menyunggingkan senyum penuh arti kepada Rafa.
"Aku iri padamu, Rafa. Kau akhirnya terlepas dari belenggu keluarga ini. Pergilah dan jangan menoleh ke belakang lagi. Aku juga ingin berani sepertimu, tapi aku tak punya kekuatan," gumam Donna dalam hati, rasa cemburu dan kagum bercampur menjadi satu.
**
Rafa, terkulai lemah di sofa markas mereka, punggungnya yang penuh luka sedang dirawat oleh Danny yang telaten. Suasana hening, hanya terdengar bisik-bisik penuh empati dari sahabat-sahabatnya.
Eliano, dengan dahi berkerut dan mata yang tidak berkedip, memandangi Rafa dengan pandangan yang penuh kekhawatiran. "Akhirnya, lo berhasil juga keluar dari neraka itu," ucap Eliano, suaranya serak karena campuran lega dan cemas.
Seulas senyum pahit menghiasi bibir Rafa, "Semua berkat tante gue," gumamnya pelan.
Danny, yang terus sibuk dengan perban dan obat, tak henti-hentinya mengungkapkan kekagumannya, "Idola gue memang yang terbaik, ga sia-sia gue idolain dia"
"Eh, Rafa, sudah ada rencana apa setelah ini?" tanya Eliano, mencoba meredakan ketegangan.
"Gue bakal cari kerja," jawab Rafa sambil menatap langit-langit, pikirannya melayang.
"Tapi, lo lupa apa yang Nio bilang? Setelah lo bebas dari keluarga itu, dia sudah siapin apartemen dan pekerjaan di bengkelnya buat lo," ingat Eliano.
Serentak, Rafa menoleh, rasa syukur membanjiri hatinya, "Gue lupa itu, El. Terima kasih kalian sudah ada buat gue," ucapnya, tulus.
"Kita semua tahu kisah lo, Rafa. Kita tumbuh bersama, sudah sepatutnya kita saling mendukung," sela Eliano, suaranya hangat, menyentuh.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan deras, Gwen muncul dengan mata terbelalak, "Ya Tuhan,abang Rafa! Apa yang terjadi dengan punggung lo?!" serunya, suara bergetar.
Gwen terpaku, matanya tak lepas dari punggung Rafa yang penuh luka. "Biasa," sahut Rafa dengan senyum pahit. "Gue udah bebas, Gwen. Kakek yang lepasin gue."
"Serius? Terus kalo abang di sini, siapa yang jagain kakek?" tanya Gwen. Meski dia kesal dengan David, di lubuk hati yang paling dalam, dia masih khawatir akan kakeknya.
"Maaf, Gwen. Abang nggak bisa jagain kakek lagi," jawab Rafa.
"Mudah-mudahan kakek bisa jagain diri sendiri ya," Gwen berharap dengan nada lirih. "Trus, kakak-kakak yang baik hati, Kak Nio kok nggak ada kabar sih? Udah lima hari dia nggak ada kabar," tanya Gwen lagi.
"Emangnya Nio nggak kasih tahu lo? Dia balik ke Rusia, opahnya sakit. Satu keluarga udah balik semua ke sana," jelas Eliano.
"Kok Kak Nio nggak kasih tau sih? Pantas aja papi juga nggak ada di rumah. Semua nyembunyiin hal penting dari aku," keluh Gwen, kecewa.
"Mungkin mereka nggak mau lo kepikiran, Gwen. Makanya nggak kasih tau," timpal Danny.
"Tapi Kak Nio udah janji nggak akan hilang tiba-tiba tanpa beri kabar," kata Gwen. "Berarti Kak Nio belum percaya sama aku," matanya berkaca-kaca.
"Awas aja pulang nanti, aku bakal ngambek ke dia," katanya penuh tekad.