Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Pangeran Riana duduk dengan tenang di ruang rapat, wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Di sekelilingnya, para bangsawan dan penasihat kerajaan tengah membahas tindak lanjut mengenai pemakaman Pangeran Sera dan—lebih dari itu—membicarakan masa depan Yuki.
Di atas meja panjang dari kayu mahoni, gulungan dokumen terbuka, berisi rincian rencana pemakaman. Tubuh Pangeran Sera telah diawetkan dengan formula khusus, menjaga kondisi jasadnya hingga upacara penghormatan dapat dilaksanakan di Istana Argueda. Sesuai tradisi, jenazahnya akan dibakar dalam ritual suci, dan abunya akan dikirim kembali ke kuil suci sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.
Suasana di ruangan itu terasa berat, penuh dengan ketegangan yang tak diucapkan.
Lalu, dari ujung meja, suara berat Paman Gregor terdengar, mengubah arah pembicaraan dengan nada yang sarat makna.
“Selamat atas pernikahanmu, Pangeran Riana.”
Tatapan tajamnya tertuju langsung pada pria yang kini menguasai segalanya.
“Aku dengar bisik-bisik bahwa Anda menikahi istri dari keponakanku yang baru saja meninggal.”
Ruangan itu mendadak sunyi.
Beberapa orang menahan napas, menunggu reaksi dari Pangeran Riana. Sementara itu, pria yang baru saja disebut namanya tetap duduk tegak, tanpa menunjukkan perubahan emosi. Mata dinginnya hanya sedikit menyipit.
“Lalu apa masalahnya ?” Tanya Pangeran Riana balik.
Paman Gregor menyandarkan punggungnya ke kursi, bibirnya melengkung tipis dalam senyum yang sulit diartikan. Tatapannya tetap terarah pada Pangeran Riana, seolah mencari celah dalam ketenangan pria itu.
“Masalahnya?” Paman Gregor mengulang dengan nada geli. “Mungkin tidak ada… Jika semua orang di sini bisa menerima bahwa kau menikahi wanita yang, sampai beberapa waktu lalu, adalah istri sah keponakanku.”
Beberapa bangsawan bertukar pandang, ada yang menundukkan kepala, sementara yang lain menyembunyikan ekspresi mereka di balik cangkir teh atau dokumen di tangan mereka.
Namun, Pangeran Riana sama sekali tidak terusik.
“Jika itu yang kau maksud, maka aku tak melihat adanya masalah,” balasnya santai. “Yuki adalah istriku sekarang, secara sah dan resmi. Apa yang terjadi sebelumnya tidak lagi relevan.”
Nada suaranya begitu dingin, seolah menegaskan bahwa pembahasan ini tidak ada gunanya. Bahwa apa yang sudah menjadi miliknya, akan tetap menjadi miliknya—terlepas dari sejarah atau pendapat orang lain.
“Apakah anda sudah meminta izin pada kerajaan Argueda ?”
Ruangan menjadi lebih sunyi setelah pertanyaan itu keluar dari mulut Paman Gregor. Para bangsawan yang hadir mulai menunggu bagaimana Pangeran Riana akan menanggapi.
Pangeran Riana tidak langsung menjawab. Dia meletakkan cangkir tehnya dengan tenang, lalu menatap Paman Gregor dengan ekspresi datar. “Meminta izin?” Ia mengulang dengan nada rendah, seolah mempertimbangkan makna kata-kata itu. “Dewan Argueda hanya sibuk dengan urusan politik mereka sendiri. Jika mereka ingin keberatan, mereka seharusnya datang padaku. Tapi sampai saat ini, tidak ada satu pun utusan yang dikirim untuk menentang pernikahanku dengan Yuki.”
Paman Gregor menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya penuh arti. “Atau mungkin mereka belum sempat mengirim utusan karena mereka masih berduka.”
Pangeran Riana tersenyum tipis, tetapi dingin. “Berkabung tidak akan mengubah apapun. Yuki sekarang adalah istriku. Itu sudah menjadi kenyataan.”
Salah satu bangsawan yang duduk di seberang meja batuk pelan sebelum berbicara. “Tapi rakyat Argueda sangat mencintai Pangeran Sera. Jika mereka mengetahui bahwa istrinya langsung dinikahi oleh Pangeran Riana dari Garduete, itu bisa menimbulkan kemarahan.”
Pangeran Riana tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu. Sebaliknya, dia tampak semakin tenang. “Rakyat? Apa yang bisa mereka lakukan?” Ia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya tetap halus, tetapi mengandung ancaman samar. “Mereka boleh berduka, menangis, atau bahkan membenci pernikahanku. Tapi itu tidak akan mengubah takdir.” Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan bahwa tidak ada yang berani membantahnya. “Jika mereka tahu apa yang terbaik bagi mereka, mereka akan menerima keadaan ini.”
Ruangan itu terasa semakin sunyi ketika suara Paman Gregor kembali terdengar, penuh tekanan yang terselubung. “Pangeran Riana…”
Namun, sebelum pria itu sempat melanjutkan, Pangeran Riana sudah menyela. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan sikap santai, tetapi sorot matanya tajam dan menusuk.
“Tuan Gregor,” katanya pelan, suaranya nyaris terdengar seperti bisikan, tetapi jelas membawa bobot yang menekan. “Sekarang aku mengerti dari mana Sera belajar manipulasi dan intrik yang mematikan.”
Ia menyipitkan mata, meneliti ekspresi pria yang duduk di seberangnya. Tak ada perubahan berarti, tetapi Pangeran Riana tahu, ucapannya telah menusuk ke titik yang tepat.
“Untuk melawan ular berbisa di dekatnya, dia harus lebih berbisa daripada ular itu.”
Senyumnya muncul, tipis dan berbahaya, sementara ruangan kembali tenggelam dalam keheningan yang semakin mencekam.
Paman Gregor tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. “Menarik sekali.”
Pangeran Riana mengetuk ujung jarinya di atas meja, suaranya terdengar datar namun tajam. “Dia cukup berbisa untuk bertahan hidup di istana yang dipenuhi pengkhianat.”
Paman Gregor, yang duduk dengan tenang di seberangnya, mengangkat alis dengan ekspresi datar. “Dan kau menganggap aku pengkhianat?” tanyanya, nadanya terdengar lebih seperti tantangan daripada sekadar pertanyaan.
Pangeran Riana tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan menggantung sesaat sebelum akhirnya menyeringai tipis. “Aku tidak perlu menganggap, Tuan Gregor,” ujarnya perlahan, menikmati setiap kata yang diucapkannya. “Aku sudah membuktikannya.”
Tatapannya tajam, penuh keyakinan, seolah menunggu reaksi dari pria di hadapannya. Di ruangan itu, suasana semakin menegang, seperti mata pedang yang siap diayunkan kapan saja.
Paman Gregor menegakkan punggungnya, menatap Pangeran Riana dengan ekspresi tajam namun tetap terjaga. “Kau tahu, tuduhan tidak berdasar adalah bentuk penghinaan bagi keluarga kerajaan, Pangeran,” ujarnya dengan nada peringatan yang terselubung.
Namun, bukannya gentar, Pangeran Riana justru tersenyum. Senyum yang tidak sekadar ramah, melainkan penuh arti—dingin dan menghujam. Seolah ancaman yang tersembunyi di balik kata-kata Paman Gregor hanyalah angin lalu baginya.
“Silakan lakukan apa yang ingin kau lakukan, Tuan Gregor,” katanya santai, meletakkan tangannya di atas meja dengan gerakan perlahan, menguasai keadaan. “Aku tidak akan menghalangimu. Tapi ingat,” ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Paman Gregor dengan intensitas yang membuat udara terasa lebih berat, “aku bukan Sera, yang membiarkan bahkan seekor lalat pun menggangguku.”
Paman Gregor menyipitkan mata, matanya menyiratkan kewaspadaan. “Kau mengancamku?”
Pangeran Riana tidak mengubah ekspresinya. Ia hanya menarik napas ringan sebelum menjawab dengan nada halus, begitu lembut, namun menusuk hingga ke tulang. “Aku memperingatkanmu.”
Dingin. Penuh kepastian. Dan cukup untuk membuat siapa pun yang mendengarnya merinding.
...****************...
Setelah keluar dari ruang rapat, Pangeran Riana langsung menuju ruang kerjanya. Di sana, Bangsawan Voldermon sudah menunggunya, berdiri dengan ekspresi serius. Namun, ia tidak sendiri. Di sisinya, Dokter Aurelian dan Bangsawan Xasfir juga hadir, seolah membawa kabar penting yang tak bisa ditunda.
Tanpa basa-basi, Bangsawan Voldermon segera membuka percakapan. “Riana, aku sudah menyelidiki. Anak-anak yang ditemui Yuki sore itu—mereka tidak sekadar anak-anak biasa. Mereka telah dilatih sedemikian rupa untuk memberikan informasi yang diinginkan kepada Yuki.”
Pangeran Riana menyipitkan matanya, ekspresinya tetap dingin namun jelas tak senang dengan laporan itu.
Dokter Aurelian melangkah maju, nada suaranya terdengar hati-hati namun tetap tegas. “Hanya dengan membiarkan Yuki terus-menerus mengalami tekanan emosional akibat ingatannya tentang Sera, terutama dalam kondisi rentannya saat ini… prevalensi untuk Yuki mengalami keguguran akan meningkat drastis.”
Keheningan yang menyelimuti ruangan setelahnya terasa menyesakkan. Pangeran Riana tidak mengatakan apa-apa, tetapi aura dinginnya semakin pekat, membawa ancaman yang tidak terucapkan.
Pangeran Riana menatap kosong ke arah jendela, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu di depannya. Dulu, dia tidak akan ragu untuk menyingkirkan segala sesuatu yang mengancamnya, termasuk seorang bayi yang bahkan belum sempat melihat dunia. Tapi waktu telah mengajarinya sesuatu—atau mungkin, Yuki yang telah mengubah cara pandangnya.
Dia tidak menyukai anak yang lahir bukan dari benihnya. Namun, kali ini dia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti di masa lalu. Dia tidak akan menodai tangannya dengan darah bayi tak berdosa, meskipun itu adalah anak musuhnya.
Jika Yuki menginginkan bayi itu, maka dia akan menerimanya.
Meskipun jauh di dalam hatinya, Riana tidak tahu apakah dia bisa benar-benar menyayangi anak itu. Atau apakah anak itu nantinya bisa bertahan di sisinya.
Pangeran Riana mendengarkan tanpa ekspresi, tapi jemarinya yang semula mengetuk meja kini terhenti. Matanya meredup, seperti lautan yang mendung sebelum badai.
“Gregor ingin membunuh bayi itu sebelum lahir,” kata Bangsawan Voldermon, suaranya dipenuhi kemarahan yang terpendam. “Satu-satunya cara aman yang bisa dilakukan tanpa dicurigai adalah dengan merusak kondisi mental Yuki saat kandungannya masih rentan. Dengan terus menyuapkan ingatan-ingatan tentang Sera.”
Hening menyelimuti ruangan. Dokter Aurelian menundukkan kepala, sementara Bangsawan Xasfir mencuri pandang ke arah Pangeran Riana, menanti reaksinya.
Riana terdiam cukup lama, lalu bangkit dari kursinya dengan gerakan lambat. “Jadi mereka pikir bisa mengambil sesuatu yang sudah menjadi milikku… hanya dengan memainkan emosi Yuki?”
Nada suaranya rendah, tapi udara di ruangan itu terasa menekan.
“Karena Gregor sudah berbaik hati mencoba membantu Yuki mengingat Sera, Aku harus membalasnya,” lanjutnya dengan senyum dingin. “Jika dia begitu ingin mengingatkan Yuki akan masa lalunya, aku juga bisa melakukan hal yang sama… dengan cara yang jauh lebih menyakitkan.”