Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Tidur Bersama.
Marsha memilih memejamkan matanya. Ia tidak perduli apa yang sedang Rafael lakukan di dapur. Gadis itu meringkukkan badannya, menekan rasa nyeri agar tidak terlalu terasa.
“Apa kamu memiliki handuk kecil, Cha?”
Suara Rafael tiba-tiba terdengar di dekat tempat tidur. Marsha pun menghela nafas. Ia kemudian membuka matanya dengan malas. Hendak bangkit dari atas ranjang, namun Rafael melarangnya.
“Katakan dimana tempatnya. Biar aku yang mengambil.” Perintah pria itu lagi. Ia meletakkan baskom kecil berisi air hangat di atas meja nakas.
“Di kamar mandi.” Jawab Marsha pelan.
Rafael mengangguk, kemudian pergi ke kamar mandi. Tak berselang lama, ia pun kembali.
Marsha seketika bergeser ketika Rafael duduk di tepi ranjang.
“Angkat bajumu, Cha.” Ucap Rafael sembari mencelupkan handuk kecil ke dalam baskom air hangat.
“Tidak.” Dengan cepat ia mengambil handuk kecil itu dari tangan Rafael.
Gadis itu mengompres perutnya di dalam selimut. Melindungi tubuhnya dari tatapan Rafael.
“Apa yang kamu tutupi, Cha? Aku bahkan hafal dimana letak tanda lahirmu.” Ucap Rafael sembari mencebikkan bibirnya.
“Jaga ucapanmu, El. Tolong. Aku tidak ingin membahas apapun.” Jawab Marsha dengan sedikit ketus. Gadis itu memiringkan badan, memunggungi Rafael.
Terserah pria itu mau tetap disini atau pergi. Marsha tidak perduli. Rasa nyeri pada perut bawah dan sakit kepala membuat Marsha malas berdebat dengan mantan kekasihnya itu.
“Istirahatlah.” Ucap Rafael kemudian.
Pria itu melirik arloji mahalnya. Sebentar lagi waktu makan malam. Ia pun memasan makanan untuk Marsha. Karena yakin gadis itu tidak akan bangun untuk membuat sesuatu.
Marsha merasakan pergerakan pada pinggir ranjang. Setelah itu, ia mendengar suara pintu kamar mandi tertutup. Gadis itu pun menoleh.
Sepertinya Rafael pergi ke kamar mandi.
“Apa dia tidak akan pulang?” Gerutu Marsha.
Ia ingin sekali marah, berteriak maupun memaki. Perasaannya selalu sensitif saat datang bulan. Dan kehadiran Rafael semakin memperburuk suasana hatinya.
Gadis itu dengan cepat kembali ke posisi semula, kala mendengar suara pintu kamar mandi di buka. Ia pun memejamkan matanya.
Entah berapa menit ia terlelap, Marsha mendengar suara seseorang sedang berbicara. Gadis itu pun membuka mata. Pun juga menajamkan indera pendengarannya.
Rafael, pria itu berdiri di samping meja dapur dengan ponsel menempel di telinganya.
“Aku masih di kantor, San. Ada apa?”
San?
Marsha mencebik. Sudah pasti yang menghubungi pria itu adalah istrinya.
Dan apa katanya tadi? Dia masih di kantor? Astaga, dasar pria penipu.
“Apa yang terjadi? Demam? Aku akan segera pulang.”
Marsha mendengar rasa kekhawatiran dari nada bicara Rafael. Sepertinya, sang mantan kekasih sangat menyayangi istrinya.
Wajar bukan? Dan Marsha tidak perduli.
Pria itu menyimpan ponselnya. Ia kemudian menghampiri Marsha.
“Cha. Aku sudah memesan makan malam. Ada di dapur. Maaf. Aku tidak bisa menyiapkan untukmu. Aku harus—
“Pulang saja, El. Terimakasih untuk bantuanmu. Lain kali, tidak perlu repot seperti ini.” Potong Marsha dengan cepat.
Rafael mengangguk. Ia pun meninggalkan apartemen Marsha dengan tergesa.
Setelah kepergian mantan kekasihnya itu, Marsha dengan malas turun dari atas ranjang. Sudah pukul delapan. Itu artinya ia terlelap cukup lama.
Gadis itu hendak pergi ke kamar mandi untuk mengganti pembalut. Namun beberapa bungkusan di atas meja dapur, menarik perhatiannya.
Ia pun memutar langkah. Ada tiga kantong plastik. Satu bungkus makanan, dua lainnya berisi pembalut dan minuman pelancar datang bulan.
Marsha mencebikkan bibirnya. Sungguh ia ingin melempar barang-barang itu di hadapan wajah Rafael.
Kejam?
Lebih kejam mana dari pria yang meninggalkan kekasihnya dengan menikahi wanita lain? Di saat hubungan mereka sedang hangat-hangatnya. Bahkan seminggu sebelumnya, sempat menghabiskan malam berdua.
\~\~\~
Rafael memasuki rumahnya dengan langkah lebar. Sandra menghubunginya, mengatakan jika Safa terkena demam, dan terus menerus memanggil papanya.
“Bagaimana keadaan Safa, bi?” Tanya Rafael saat melihat bibi Rita keluar dari kamar gadis kecil itu.
“Demamnya masih tinggi.” Jawab wanita paruh baya itu.
“Sudah panggil dokter?” Rafael berjalan menuju kamar sang putri. Dan bibi Rita pun mengekori.
“Sudah sore tadi. Safa juga sudah minum obat. Tetapi demamnya tidak turun. Dia terus memanggil nak Rafa. Karena itu, nak Sandra menghubungi nak Rafa.” Jelas bibi Rita lagi.
Pria itu mengangguk paham. Mereka pun masuk ke dalam kamar.
“San.”
Rafael duduk di tepi ranjang, tepat di samping sang istri yang sedang memeluk Safa.
“Maaf aku pulang terlambat.” Ucap Rafael penuh sesal. Ia tidak tahu jika putrinya mengalami demam.
Kurang komunikasi.
Itulah yang terjadi di dalam rumah tangga mereka. Sandra hanya akan menghubungi di saat keadaan darurat saja. Selebihnya, tidak ada obrolan singkat, walau sekedar basa-basi bertanya tentang kegiatan sehari-hari mereka.
Pun juga Rafael, ia tidak pernah berinisiatif menanyakan kabar di rumah pada sang istri. Harusnya, sebagai seorang kepala keluarga, setidaknya ia mengirim sebuah pesan untuk menanyakan kabar sang putri.
“Dia tidur. Apa kamu sudah makan?”
Lihatlah. Istri yang tidak Rafael anggap itu, bahkan masih ingat menanyakan suaminya makan.
“Belum.” Jawab Rafael pelan.
“Pergi bersihkan diri kemudian makanlah. Setelah itu, apa boleh aku meminta kamu untuk tidur bersama kami disini?” Tanya Sandra hati-hati.
Dan Rafael pun menganggukkan kepalanya.
“Bi, tolong siapkan makanan untuk Rafa.” Ucap Sandra pada bibi Rita yang berdiri tak jauh dari mereka.
Rafael dan bibi Rita keluar dari kamar Safa.
Pria itu bergegas pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri. Ia ingin cepat-cepat memeluk sang putri, agar suhu panas gadis kecil itu segera menurun.
Lima belas menit membersihkan diri. Rafael bergegas turun, kemudian makan malam.
“Apa Sandra sudah makan, bi?” Tanya Rafael pada bibi Rita yang menemaninya di meja makan.
“Hanya sedikit. Karena Safa rewel. Tadinya nak Sandra juga tidak mau makan, tetapi bibi memaksanya. Dan dia pun menurut.” Jelas bibi Rita.
Rafael menghela nafas pelan. “Tolong siapkan buah potong untuknya, bi. Aku tahu, Sandra tidak akan mau makan makanan berat lagi.”
Bibi Rita pun mengupas sebuah apel, jeruk, dan juga melon. Semua itu adalah buah kesukaan Sandra.
Rafael membawa semangkok buah potong ke dalam kamar Safa. Ia melihat Sandra telah memejamkan mata.
“San, bangun.” Pria itu duduk di tepi tempat tidur. Sembari mengusap lengan sang istri.
Sandra mengerejapkan matanya.
“Kata bibi, kamu makan sedikit tadi. Ini aku bawakan buah.” Rafael memperlihatkan mangkuk yang ia bawa.
Sandra pun perlahan melepas pelukannya pada sang putri, kemudian duduk menyandar di kepala ranjang.
“Makanlah.”
Rafael menyerahkan mangkok itu. Ia kemudian memutari tempat tidur, dan mengambil tempat di sisi kiri Safa.
Sandra menatap mangkuk di atas pangkuannya. Haruskah terjadi musibah dulu, baru ia mendapatkan perhatian sang suami?
Dan haruskah putri mereka sakit dulu, agar bisa tidur satu ranjang?
mungkin itu jg yg membuat banyak orang tidak bisa hidup damai, karena sakit hati harus dibalas dengan sakit hati jg.. 🤦🏻♂️
.
cerita nya bagus, keren 👍
secangkir kopi buat author ☕