Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Pura-pura Sakit
Marsha baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, handuk putih membalut tubuhnya.
Embusan udara dingin dari pendingin ruangan membuatnya menggigil sedikit.
Ia baru akan melangkah menuju lemari pakaian ketika suara langkah berat menarik perhatiannya.
Giorgio. Suaminya.
Pria itu berjalan ke arahnya dengan langkah sempoyongan. Dasi yang tadi terikat rapi kini melonggar di lehernya, jas mewah yang masih melekat di tubuhnya terlihat kusut.
Wajahnya sedikit pucat, dan matanya menatap Marsha dengan pandangan redup.
“Sya ...,” suaranya terdengar serak.
Marsha sempat mengerutkan kening sebelum Giorgio tiba-tiba ambruk. Refleks, ia mengulurkan tangan untuk menangkap tubuh kekar suaminya itu.
Keduanya kini saling berpelukan. Marsha bingung sekaligus malu, kondisi tubuhnya yang hanya terlilit handuk membuatnya tak nyaman.
“Mas Gio!” serunya panik.
Beruntung, ia berhasil menahan tubuh Giorgio sebelum jatuh sepenuhnya.
Namun, karena bobot tubuh pria itu yang terlalu berat, mereka akhirnya terjatuh ke sofa di belakang mereka.
Kini, Giorgio menindihnya.
Dada bidangnya hampir menyentuh tubuh Marsha yang hanya berbalut handuk. Wajah mereka begitu dekat, hanya berjarak beberapa sentimeter saja.
Marsha menahan napas, detak jantungnya menggila. Degupnya semakin terpacu hebat.
“Jangan macam-macam,” ucapnya memperingatkan, suaranya lebih lemah dari yang ia harapkan.
Namun, bukannya menjauh, Giorgio justru menatapnya dengan tatapan tajam. Entah apa artinya itu.
“Maagku kambuh, Sya. Aku sakit,” katanya dengan nada memelas. Tatapan matanya pun berubah sendu.
Marsha menatap curiga. “Jangan bohong.”
“Aku nggak bohong.” Giorgio berusaha memasang ekspresi menyedihkan. “Sakit banget, Sya… Aku lemas.”
Untuk memperkuat aktingnya, pria itu merintih pelan, lalu dengan gerakan cepat, bibirnya berhasil mendarat di pipi Marsha.
Kecupan singkat, tapi cukup untuk membuat wajah Marsha memerah bak kepiting rebus.
“Mas Giorgio!” serunya, gugup.
“Aku hampir pingsan ....” Giorgio berbisik tepat di telinganya, suaranya rendah dan dalam. “Kau harus menolongku, Sayang.”
Sial! Kenapa pria ini harus terdengar begitu menggoda dalam kondisi sakit sekalipun? Membuat Marsha tedesak dan tak tega.
Marsha menggigit bibirnya, mencoba menenangkan degup jantungnya yang semakin tak karuan iramanya.
“Oke, aku ambilkan obat. Jangan bergerak.”
Ia mendorong tubuh Giorgio pelan dan segera beranjak dari sofa.
Begitu menemukan obat di dalam tasnya, ia kembali ke sisi pria itu yang masih berbaring dengan ekspresi seakan dunia akan kiamat.
“Minum ini.” Marsha menuangkan segelas air dan mengulurkan obat.
Giorgio tetap diam, menatapnya tanpa berkedip. Tetapi ekspresinya terlihat payah, dan menyedihkan.
Marsha mendesah. “Kenapa?”
“Lemas,” jawab Giorgio singkat. “Nggak ada tenaga buat minum sendiri.”
Manja. Memang.
Marsha menatapnya tajam, lalu menghela napas panjang. Akhirnya, ia mengambil satu tablet obat, lalu mendekatkannya ke bibir Giorgio.
Pria itu tersenyum kecil sebelum membuka mulutnya sedikit.
Marsha menyuapinya.
Giorgio menelan obat itu dengan air yang Marsha bantu tuangkan ke mulutnya. Setelah itu, ia tersenyum puas.
“Sekarang istirahat.” Marsha berdiri dan berbalik. “Aku mau ganti pakaian dulu.”
Namun, sebelum ia sempat melangkah, Giorgio menarik pergelangan tangannya.
“Sya....”
Marsha menoleh. “Apa lagi?”
“Aku lapar,” ucapnya, lagi-lagi dengan suara memelas.
Marsha mengerjapkan mata. “Aku baru aja ngasih Mas Gio obat loh.”
“Itu obat, bukan makanan.” Giorgio memasang ekspresi seakan-akan ia benar-benar kelaparan. “Aku butuh bubur.”
Marsha mendesah, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa menolak.
“Baiklah. Aku ganti baju dulu, lalu aku akan masak untukm Mas Gio.”
Giorgio tersenyum kecil. “Jangan lama-lama.”
Marsha hanya memutar mata sebelum melangkah menuju kamar ganti.
***
Setengah jam kemudian, Marsha kembali dengan semangkuk bubur hangat di tangannya.
Aroma harum kaldu ayam memenuhi ruangan.
Giorgio masih berbaring di sofa dengan mata terpejam, tetapi begitu Marsha mendekat, ia membuka mata dan tersenyum tipis.
“Cepat juga,” katanya.
“Jangan banyak ngomong dulu. Duduk.”
Giorgio bangkit perlahan dan bersandar di sandaran sofa. Marsha duduk di sampingnya, lalu mengambil sendok.
“Buka mulut.”
Pria itu menatapnya dengan senyum jahil.
“Disuapin?” tanyanya setengah mengejek.
“Kalau nggak mau, aku makan sendiri.”
Sebelum Marsha bisa benar-benar melakukannya, Giorgio buru-buru membuka mulut.
Marsha menyendok bubur dan menyuapkannya.
Giorgio mengunyah pelan, lalu tersenyum.
“Enak.”
“Tentu saja. Aku yang masak,” sahut Marsha sedikit sombong.
Mereka melanjutkan sesi makan dalam diam, tetapi suasana di antara mereka terasa lebih hangat dari sebelumnya.
Saat suapan terakhir, Giorgio menatapnya lama. “Sya.”
“Hm?”
“Tinggal di sini lebih lama, ya?”
Marsha terdiam.
Tatapan Giorgio begitu dalam, seakan pria itu benar-benar menginginkannya tetap di sini.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya… Marsha merasa ia memang ingin tinggal berdua saja dengan suaminya.
Marsha meletakkan mangkuk kosong di meja setelah Giorgio menghabiskan buburnya. Ia menghela napas, merasa lelah setelah seharian mengalami banyak hal, termasuk menghadapi kelakuan suaminya yang manja dan penuh akal yang nakal.
“Aku mau istirahat,” katanya sambil bangkit dari sofa.
Namun, sebelum ia sempat melangkah jauh, sebuah tangan besar kembali menangkap pergelangan tangannya.
“Sya....” Suara Giorgio terdengar serak, menggoda. “Aku berkeringat. Mau mandi.”
Marsha mengerjapkan mata. “Ya, silakan. Pergi ke kamar mandi, Mas.”
“Tapi aku masih lemas.”
“Lalu?” tanya Marsha, sedikit kesal.
“Bantu aku.”
Sepasang mata Marsha terbelalak. “Mandi sendiri.”
Giorgio menghela napas dramatis. “Aku ini orang sakit, Sya. Setidaknya bantu longgarkan dasiku.”
Marsha mendengus. “Mas Gio, kau itu—”
Belum selesai ia bicara, Giorgio meraih tangannya dan membawanya ke lehernya.
Jantung Marsha langsung berdegup kencang.
Tangannya kini berada tepat di atas dasi Giorgio, dengan punggung jemarinya menyentuh kulit leher pria itu yang hangat.
Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Napas Giorgio terasa menerpa wajahnya, membuat tubuhnya menegang, aroma parfum Giorgio sungguh terasa menggoda. Aroma khas yang terasa candu.
“Biar kubantu!” katanya cepat, berusaha menghindari tatapan tajam suaminya.
Jari-jari Marsha bergerak gugup, mencoba menarik simpul dasi itu, tetapi entah kenapa, ia malah membuatnya semakin kencang.
Giorgio menahan senyum. “Kamu tidak bisa membuka dasi?”
Marsha mendengus, lalu menggeleng pelan.
Giorgio menaikkan satu alisnya, ekspresinya berubah jahil.
“Jadi kamu belum pernah pacaran dan kencan?”
Marsha meneguk ludah, enggan menjawab.
Giorgio menatapnya lebih tajam. “Apa aku pria pertamamu?”
Marsha terdiam, bibirnya sedikit terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar.
Giorgio tersenyum penuh kemenangan.
Lalu semuanyapun terjadi begitu cepat. Kedua bibir itu kini saling bersentuhan. Membuat Giorgio menekan tengkuk istrinya dengan telapak tangannya agar tidak terlepas.
Entah berapa lama mereka melakukannya. Ciuman hangat sepasang suami istri yang seharusnya terjadi sejak lama.
Wajah Marsha memerah. Giorgio menyadarinya. Lalu ia menggapai puncak kepala istrinya, menenggelamkan ke dada bidangnya. Hangat.
"Mari kita jalani hubungan ini selayaknya suami istri yang sebenarnya, Sya. Aku tidak pernah merasa pernikahan kita ini main-main sejak awal. Percayalah... aku tidak seperti yang Joseph tuduhan." Entah mengapa, tatapan teduh dan sendu itu mampu menyentuh hati Marsha.
Ada rasa sedih yang dalam saat mendengar Giorgio menyuarakan isi hatinya.
"Aku mencintaimu, sangat," bisiknya kemudian.
Bersambung....