Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
"Geni ...!" Ranu berteriak keras agar Geni bereaksi.
Seketika keluarlah semburan api yang panas dan langsung membakar para perampok yang berada di dekatnya. 20 orang lebih langsung terbakar tubuhnya. mereka melolong merasakan sakit dan panas bersamaan.
"Hati-hati ...! Dia bukan pemuda sembarangan!"
Mereka yang tadinya mengerubungi Ranu dalam jarak dekat akhirnya sedikit menjauh. Tentunya tidak ada yang berani maju dan mati terlebih dahulu. Hampir semuanya takut terbakar seperti teman-teman mereka yang sudah mati tersambar api. Terlebih lagi pedang yang bisa mengeluarkan api tentu saja bukan pedang sembarangan.
Hal itu dimanfaatkan Ranu untuk bergerak sedikit demi sedikit mendekati gapura pintu masuk ke markas perampok tersebut.
"Bunuh dia atau kalian yang akan kubunuh!" teriak seorang lelaki bertubuh tinggi besar.Tampaknya lelaki bertubuh tinggi besar itu adalah pemimpin gerombolan perampok tersebut. Itu terbukti ucapannya yang langsung dituruti oleh para anggotanya.
"Setidaknya kurangilah separuh jumlah mereka dulu dengan apiku, Ranu. Setelahnya kau bisa lari atau menyerang mereka."
Ranu kembali melakukan beberapa kali putaran sambil menyabetkan pedangnya. Kobaran api yang keluar dari Pedang Segoro Geni menyambar setiap anggota perampok yang berusaha mendekatinya.
Sudah lebih dari 40 orang anggota perampok yang terbakar akibat mereka berani mendekati Ranu. Suara lengkingan kematian pun terus terdengar bersahutan.
Tubuh orang terbakar yang berlarian membuat anggota perampok yang mengepung Ranu menjadi buyar. Hal tersebut langsung dimanfaatkan Ranu untuk berlari secepat mungkin keluar dari markas perampok tersebut dan kemudian melesat ke atas pohon yang tinggi untuk bersembunyi.
"Selamat ... selamat!" batin Ranu.
"Terus kejar dan cari dia sampai ketemu! Jangan sampai markas kita ketahuan orang lain!" Pemimpin rampok itu terus memberi perintah kepada semua anggotanya untuk menyebar mencari keberadaan pemuda yang telah membuat kacau markas mereka.
Tanpa sadar, pemimpin rampok tersebut berada sendirian saja di depan markasnya. Kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Ranu. Dia lalu melompat dari atas pohon dan mendekati pemimpin perampok Macan Kumbang.
"Ternyata kau bodoh sekali! Kau beri perintah kepada anak buahmu untuk mencariku, sedangkan kau sendirian di sini."
"Kau ... bagaimana kau masih ada disini?"
"Tidak perlu banyak bicara! Aku di sini ingin menuntut balas atas kematian kedua orang tuaku yang kalian bunuh tiga tahun lalu."Pemimpin rampok Macan Kumbang celingukan mencari anak buahnya yang mungkin saja masih ada di markasnya.
"Mau minta bantuan? Jangan harap kau bisa lolos dari kematianmu dini hari ini!"
"Bedebah ...! Kau kira aku takut padamu?!"
"Mukamu memang tidak menunjukkan ketakutanmu. Tapi lihatlah kakimu gemetar seperti orang yang kebelet pipis!"
Pemimpin perampok tersebut kemudian mencabut pedangnya, "Mati saja kau!"
"Enak saja nyuruh aku mati, kau yang harus mati saat ini juga!" balas Ranu sambil menghindari tebasan pedang yang mengarah ke lehernya.
Ranu tidak ingin berlama-lama menghabisi pemimpin rampok bertubuh tinggi besar tersebut. Dia sedikit kuatir jika anggota perampok Macan Kumbang sampai datang kembali. Tentu pekerjaannya bakal semakin sulit.Dengan kecepatannya, Ranu berhasil membuat lelaki tinggi besar tersebut terdesak meski dia menyerang dengan tangan kosong.
Dalam satu gebrakan berikutnya, Ranu berhasil menyarangkan tendangannya tepat mengenai kantong menyan lelaki itu dengan telak.
Pemimpin perampok Macan Kumbang itu berguling-guling di tanah dengan rasa sakit yang luar biasa ketika biji salak yang ada di pangkal pahanya serasa pecah.
"Bagaimana rasanya jika sudah dekat dengan kematian?" tanya Ranu sambil duduk jongkok di samping lelaki yang terus mengeluh kesakitan.
Tidak bisa menjawab, pemimpin perampok Macan Kumbang terus mengerang kesakitan sambil memegangi pangkal pahanya.
"Karena senjatamu sudah tidak berfungsi lagi, maka percuma saja bila kau tetap hidup!"
Ranu kemudian memegang kepala pemimpin rampok tersebut dengan tangan kanannya dan kemudian memutarnya hingga terdengar suara leher yang patah.
Lelaki tersebut pun mati mengenaskan dengan mata membelalak lebar sambil tetap tangannya berada di pangkal pahanya.
Seusai membunuh pemimpin perampok Macan Kumbang, Ranu memandang ke sekeliling.
Setelah dirasanya aman, dia kembali memasuki markas perampok menuju rumah lelaki yang baru saja dibunuhnya.
Sesampainya dia di depan rumah besar tersebut, Ranu langsung masuk dan mencari barang berharga yang bisa dibawa.
Setelah beberapa saat mencari, dia menemukan dua peti kecil berisi koin emas dan perak yang tersimpan di bawah tempat tidur. Tanpa pikir panjang Ranu langsung membawanya keluar meski lumayan berat bebannya.
Sesampainya di luar rumah, pandangan Ranu celingukan mencari sesuatu. Hingga tatapan matanya tertuju kepada sebuah kandang kuda tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan sedkit berlari kecil, pemuda berwajah khas daratan Jawadwipa itu kemudian mengambil seekor kuda dan mengikat dua buah peti yang dibawanya. di atas punggung kuda tersebut.