Wanita tegar dan nampak kuat itu ternyata memiliki luka dan beban yang luar biasa, kehidupan nya yang indah dan bahagia tak lagi ada setelah ia kehilangan Ayah nya akibat kecelakaan 10 tahun lalu dan Ibunya yang mengidap Demensia sekitar 7 tahun lalu. Luci dipaksa harus bertahan hidup seorang diri dari kejinya kehidupan hingga pada suatu hari ia bertemu seorang pria yang usianya hampir seusia Ayahnya. maka kehidupan Luci yang baru segera dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahayu Dewi Astuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasanya Sakit (18+)
"Hentikan Daddy, kau tak bisa melakukannya dengan kasar, karena ini kali pertama untukku!" Luci meneteskan air matanya.
William belum terlalu sadar dari pengaruh alkoholnya, namun kini ia mulai paham apa yang harus dilakukan olehnya kepada Luci.
Bahkan saat William mencoba memasukan dengan jarinya itu terasa sangat sempit hingga Luci mengaduh kesakitan. Saat area milik Luci sudah jauh lebih basah maka saat itu juga William mengambil momen untuk menjamahnya.
"Aaa.... Sakit..." Luci membulatkan matanya sembari menjerit, bahkan saking sakitnya hingga Luci tak sadar jika ia telah melukai punggung William dengan kuku panjangnya.
air mata Luci mengalir deras, rasa nikmat yang sering orang lain katakan ternyata tidak berlaku bagi Luci ia benar-benar merintih kesakitan. Luci juga merasa jika seluruh tubuh nya remuk saking sakitnya.
"Aku tak percaya jika ini pertama untukmu." Bisik William.
Luci tak mau menjawabnya, ia hanya memalingkan wajahnya sembari menangis. Malam ini Luci sangat membenci William. Namun entah dari mana anugrah itu datang, tiba-tiba William tidak melanjutkan aktivitasnya. Pria itu memilih untuk melepaskan miliknya.
William melihat terdapat bercak darah yang mengotori seprai milik Luci, sehingga denga cepat William mengambil tisu untuk membersihkan noda itu.
"Luci, maafkan aku." William tiba-tiba saja merasa menyesal telah hilang kendali seperti ini.
"Aku membencimu." Tangis Luci semakin pecah. Luci kini meringkukkan tubuhnya sembari menahan rasa sakit.
William mendekat, ia memeluk Luci dari belakang dengan begitu erat sambil terus menerus mengucapkan maaf untungnya Luci tidak membuat perlawanan apapun karena tubuhnya sudah tak bertenaga.
Entah bagaimana hingga tiba-tiba saja William dan Luci telah tertidur pulas dengan tubuh polos tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh mereka.
Sedangkan Sabrina dan Simon sedang bergumul penuh nafsu. Pakaian yang baru saja dibeli oleh Sabrina tadi siang kini sudah koyak karena keganasan Simon.
"Ah... aku rasa kita harus beristirahat dulu, aku lelah." Sabrina nampak kehabisan nafas.
"Beristirahat? Jangan harap, kau melakukannya!." Ujar Simon sembari meningkatkan kecepatan permainan mereka.
****
Keesokan paginya Luci bangun cukup siang. Ia melihat tubuhnya sudah ditutupi oleh selimut, ia tak melihat ada William namun yang ia rasakan kini adalah sakit diseluruh tubuh. Bahkan untuk mengambil ponsel saja tangan Luci sulit menggapainya.
Saat ia memencet layar ponsel miliknya ternyata sudah lowbat, padahal ia baru saja akan menghubungi Sabrina jika dirinya tidak bisa hadir kursus karena tak enak badan.
"Aku sudah menghubungi Sabrina jika kau tidak akan pergi hari ini." William datang membawa nampan berisi makan, minuman serta buah untuk mereka sarapan.
Mendengar hal itu Luci segera menyimpan kembali ponselnya, dan ia duduk lebih tegak namun masih enggan menjawab ucapan William.
William menyimpan terlebih dahulu nampan yang ia bawa, kemudian ia mengambil sebuah meja lipat kecil, ia memasang meja itu tepat didepan Luci. William kemudian membawa nampan itu dan duduk bersila didepan Luci.
"Makanlah, supaya tubuhmu bertenaga."
"Maksudmu?" Luci nampak salah paham atas ucapan yang baru saja William layangkan.
"Ah... Tidak, maksudku kau perlu sarapan agar merasa lebih baik." William mengasongkan air putih terlebih dahulu pada Luci.
Meskipun ia masih kesal kepada William, namun Luci tak bisa menolak sikap manis yang diberikan pria 45 tahun itu padanya.
Luci meneguk air putih sampai setengah gelas, sudah kering rasanya kerongkongan Luci sejak semalam namun karena merasa kesakitan ia menahannya.
Luci mulai memakan buah potong yang William sajikan, pria itu tersenyum melihat wanitanya makan dengan lahap, jika begini pasti marahnya akan cepat mereda.
"Mau mencicipi roti lapis ini?" Tanya William.
Luci mengangguk, "Aku hanya ingin makan setengah." Katanya dengan nada yang malas.
"Baiklah, aku akan memotongnya." William segera membagi dua roti lapis itu dan memberikannya kepada Luci.
Luci memakan roti itu dengan begitu lahap, "Mengapa kau tak makan? makanlah." Ujar Luci.
"Baiklah, sebenarnya sejak tadi aku menunggu kau mempersilahkanku makan." Ujar William yang kini mulai memakan setengah dari roti lapis yang tersisa.
Wajah Luci sedikit memerah karena ucapan manis William. Padahal jika ia lapar kenapa tidak makan saja, batin Luci.
Selesai makan, Luci sangat ingin buang air kecil, namun baru saja menurunkan satu kakinya ia sudah merasa sangat kesakitan, untung saja disana masih ada William.
"Kau mau kemana? Jika masih sakit jangan terlalu banyak bergerak."
"Aku ingin buang air kecil, sekalian aku juga ingin mandi." Ujar Luci.
Mendengar hal itu, William kini menggendong tubuh Luci ala bridal.
"Ya... jangan menggendongku, aku masih tak berpakaian. Argh ini sangat memalukan." Luci sempat meronta-ronta saat William menggendongnya.
"Tak usah malu, karena aku sudah melihat seluruh tubuh indahmu."
William mendudukan Luci diatas toilet dan ia menyiapkan air hangat didalam bathtub. Luci melihat William begitu serius, tubuh kekarnya sangat menggoda hingga Luci menyadari jika terdapat luka di punggung William.
"Air nya sudah siap, apa kau akan mandi sekarang?" Tanya William pada Luci yang dijawab dengan anggukan.
William kembali menggendongnya, dan membiarkan Luci berendam didalam air yang hangat yang penuh dengan busa.
"Nikmati waktumu, jika sudah selesai maka panggil aku. Aku akan menunggu diluar." Ujar William.
Tangan Luci segera menahan William untuk pergi, ia dengan lembut menarik William untuk bergabung bersamanya.
William melepaskan seluruh pakaiannya dan duduk dibelakang tubuh Luci. Kini mereka berdua sama-sama menikmati berendan didalam air hangat yang penuh busa itu.
Tubuh Luci bersandar pada dada bidang William, dan William kini melingkarkan tangannya diperut rata milik Luci.
"Apa luka dipunggungmu terasa sakit?" Tanya Luci yang khawatir.
"Tidak, tidak sebanding dengan rasa sakit yang kau rasakan." Ujar William merasa bersalah.
"Apa ini terasa sakit karena pertama kali aku melakukannya?" Luci mendongakkan kepalanya untuk melihat William.
William mengangguk, "Aku rasa begitu, karena kau wanita pertama yang aku tiduri dalam keadaan virgin. Aku sangat menyesal."
Luci membalikan tubuhnya sehingga kini mereka berhadap-hadapan, ia menatap wajah William yang terlihat sangat lesu.
satu kecupan lembut mendarat dibibir William, Luci sangat menikmati itu begitupun dengan William.
"Jangan merasa bersalah atau menyesal, karena akupun ingin melakukannya hanya denganmu, William." Untuk pertama kalinya Luci memanggil nama William, ia memeluk pria itu sembari mengelus punggungnya lembut.
Sedangkan Sabrina tak bisa menahan senyumnya seharian ini, ia merasa bangga karena kerja kerasnya mungkin menghasilkan pengalaman indah bagi Luci dan William.
Sejak saat itu hubungan William dan Luci semakin intens, mereka sudah tak malu menunjukan kemesraannya didepan umum, Luci sudah tumbuh menjadi wanita yang sangat percaya diri dan tentu saja berani.
Hingga tak terasa jika enam bulan sudah Sabrina dan Luci mempersiapkan bisnis mereka secara matang hingga besok adalah waktu pembukaan yang paling mereka tunggu-tunggu.
"Luci.. Bagaimana jika malam ini kita berpesta?" Sabrina mengusulkan ide bagus, anggap saja ini sebagai double date pertama mereka.
"Ide bagus, kau siapkan semua yang dibutuhkan karena aku harus membujuk ekstra William hari ini."