"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
"Saya hamil, Pak!" seru seorang wanita cantik dengan mata berkaca-kaca.
"Saya hanya melakukannya sekali, bagaimana mungkin kamu bisa hamil?" tanya Arka tak percaya.
Wanita yang mengaku hamil tersebut bernama Mira. Ia menunduk menahan tangis, ia sudah menduga hal ini, pria bejat yang berstatus sebagai majikannya tidak mungkin mau mengakui anak yang dikandungnya apalagi bertanggung jawab.
"Tapi saya benar-benar hamil, Pak. Saya bersumpah tidak melakukannya dengan siapa-siapa dan hanya dengan bapak, itu pun karena bapak memperkosa saya!" tutur Mira tegas, air matanya pun mengalir deras di pipinya yang tirus.
Arka memijit pelipisnya pusing, ia dalam kondisi sangat sadar saat memaksa Mira untuk melayani nafsu bejatnya dan ia juga tahu itu yang pertama bagi wanita cantik itu. Melihat wajah teduh dan cantik milik Mira, membuatnya hilang akal hingga memperkosa gadis cantik yang berstatus sebagai pembantu baru di rumahnya.
"Tapi saya tidak mungkin bertanggung jawab. Kamu tahu saya sudah memiliki istri dan ia sedang hamil," ujar Arka dengan wajah frustasi.
"Lalu saya harus apa, Pak dan bagaimana dengan anak ini?" tanya Mira sembari mengelus perutnya yang masih rata.
Arka menghela nafas panjang. "Kita pikirkan jalan keluarnya nanti, sekarang saya harus kembali sebelum mereka memergoki kita!" ujar Arka lalu meninggalkan Mira begitu saja.
Mira terduduk lemas sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar, tangisnya pecah meratapi nasib sial yang sedang ia alami. Tangannya membekap mulutnya agar tangisnya tak terdengar keluar, ia menangis tergugu seorang diri hingga lelah dan akhirnya tertidur di lantai.
"Mira! ... Mira!"
Mira terperanjat, mengusap sisa-sisa air mata di pipinya yang belum sepenuhnya kering, lalu melangkah keluar kamar menuju ke arah sumber suara yang memanggil namanya.
"Iya, Nona Raya. Ada yang bisa saya bantu?"
Raya diam, ia menelisik penampilan Mira dan perhatiannya tertuju pada wajah Mira yang sembab.
"Kamu habis nangis?... Kenapa?" tanyanya ketus.
"O-oh nggak, Nona. Saya hanya kelilipan," terangnya gelagapan dan berbohong.
Raya mengangkat bahunya tak peduli dengan bibir mencebik, toh ia sudah bertanya.
"Buatkan saya salad buah!" titahnya dengan gaya khasnya yang angkuh.
"Baik, Nona." Mira mulai mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas sedangkan Raya duduk nyaman di meja makan sembari memainkan ponsel.
Huek! Huek!
Mira membekap mulutnya dan berjalan cepat menuju wastafel, ia memuntahkan sebagian isi dalam perutnya.
"Kamu kenapa, Mira?" tanya Raya.
"Mungkin masuk angin, Nona," jawab Mira yang lagi-lagi berbohong.
Raya hanya mencebik lalu mengangguk dan kembali memainkan ponselnya.
Bau mayonnaise sangat menyengat bagi Mira, ia tidak tahan untuk tidak mengeluarkan isi perutnya meski sudah berusaha ia tahan. Menghembuskan napas panjang ia mulai meracik kembali, namun sama seperti tadi ia kembali muntah ketika mencium bau mayonnaise.
"Kamu hamil, Mira?" tanya Raya tegas.
Deg!
Mira tidak menjawab, jantungnya berdegup kencang mulai berpikir jawaban apa yang hendak Ia keluarkan.
"Kamu benar-benar hamil,Mira?" tanya Raya sekali lagi. "Keterdiamanmu, aku anggap iya!"
Mira menunduk lalu mendongak ke atas untuk sesaat, menghembuskan napas kasar ia lalu berbalik menghadap Raya yang sudah berdiri di belakangnya. Tekadnya sudah bulat, ia akan mengakui segalanya.
"Iya, Nona. Saya hamil!" jawab Mira tenang.
Raya terbahak dengan ekspresi wajah mencemooh. "Ku pikir kamu seorang wanita yang pendiam dan tidak neko-neko, ternyata kamu jalang juga, ya!"
Mira mengepalkan tangannya erat.
"Ada apa ini?" seru Arka membuat keduanya menoleh.
"Mas!" sapa Raya lalu berjalan mendekat ke arah sang suami dan bergelayut manja di lengannya.
"Mira hamil, Mas. Aku kira dia wanita baik-baik, ternyata dia liar juga. Hamil tanpa suami!" ujar Raya dengan ekspresi wajah mengejek.
Tubuh Arka menegang. Ia terkejut juga sekaligus tak terima atas penghinaan istrinya terhadap Mira.
Tiba-tiba saja Mira tertawa sumbang, wajahnya mendongak ke atas menghalau air yang sudah menggenang di pelupuk matanya agar tidak tumpah. Ia tidak ingin terlihat sangat lemah dan rapuh.
Sontak reaksi Mira membuat Arka dan Raya terkejut.
"Saya memang bukan wanita baik-baik, Nona. Tapi, saya juga tidak seburuk yang anda katakan!"
Raya terdiam dengan dahi mengernyit, entah mengapa perasaannya mulai tak nyaman dengan reaksi yang Mira tunjukkan.
"Apa anda tidak ingin tahu siapa ayah dari anak ini?"
Raya tertegun. Sorot mata penuh keyakinan milik Mira sungguh membuatnya tak nyaman.
"Suami anda adalah ayah biologis dari anak ini!" tutur Mira tegas.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Raya terkejut bukan main. Tubuhnya mematung, langkah kakinya mundur perlahan.
"Benar itu, Mas?" tanya Raya dengan wajah muram.
Arka gelagapan, ia bingung hendak menjawab apa. Menatap Mira dan Raya yang sama-sama menatapnya tajam membuat Arka semakin serba salah.
"Katakan, Mas. Apa benar yang wanita jalang itu katakan bahwa kamu adalah ayah dari bayinya?" tanya Raya dengan intonasi suara yang mulai meninggi.
Arka masih tetap diam, lidahnya kelu untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Katakan, Mas!" bentak Raya dengan suara memekik.
"Maafkan mas, Raya," ucap Arka pelan dengan ekspresi wajah merasa bersalah.
"Brengsek kamu, Mas. Tega kamu!" pekik Raya histeris. Ia mengamuk memukuli dada Arka menggunakan kepalan tangannya.
"Aakkhh! ... Aakkhh!" Raya berteriak sembari menjambak rambutnya sendiri, ia seperti orang kesetanan.
Mira menatap iba pada Raya, ia tahu kejujurannya telah menyakiti hati wanita lain. Tapi, ia juga korban disini dan akibat yang akan ia tanggung sama beratnya dengan Raya.
"Raya hentikan! Jangan menyakiti dirimu sendiri!" ujar Arka panik. Ia berusaha menghentikan kegilaan Raya.
Raya berhenti mengamuk, ia lalu menatap Arka nyalang. "Katakan padaku, siapa yang memulainya lebih dulu, Mas. Kamu atau dia?" tanyanya dengan jari telunjuk mengacung ke arah Mira.
Arka terdiam, ia lagi-lagi bingung hendak menjawab apa.
Mira juga diam, ia menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulut Arka.
Mengakui perbuatan bejatnya atau malah menyalahkan dirinya untuk mencari aman.
Raya terkekeh sinis. "Pasti dia 'kan, Mas. Pasti dia yang menggodamu," ujar Raya dengan asumsinya sendiri.
"Dasar wanita murahan!" makinya dengan sorot mata tajam menatap Mira penuh permusuhan. "Pergi kamu dari sini, PERGI!!"
"Tanpa anda minta pun saya akan pergi dari sini. Tapi satu hal yang harus anda tahu, saya tidak pernah sekalipun menggoda suami anda. Dia yang datang pada saya dan melampiaskan nafsu bejatnya. Saya sudah berontak dan melawan sekuat tenaga, tapi anda sendiri tahu seberapa batas kemampuan wanita melawan tenaga pria!" tutur Mira berapi-api. Biarlah, ia berniat membesarkan anaknya sendiri, anaknya tidak membutuhkan seorang ayah yang pengecut.
"Kamu ... Kamu," tuding Raya tak habis pikir. "Aakkh!!" Belum sempat ia melontarkan caci maki pada Mira, ia memekik sembari memegangi perutnya yang terasa nyeri.
"Raya! Raya! Kamu kenapa?" seru Arka panik.
Ia lalu menggendong Raya ala bridal style lalu membawanya ke rumah sakit meninggalkan Mira begitu saja.
Mira menatap nanar kepergian suami istri tersebut, menghembuskan nafasnya kasar lalu berjalan dengan langkah gontai menuju kamarnya. Ia mulai mengemasi pakaiannya dan menyimpannya ke dalam tas.
"Neng Mira!" Mira menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya.
"Mbok!" sapa Mira dengan senyuman pada Mbok Yanti yang berdiri ditengah pintu kamarnya yang tak tertutup.
Mbok Yanti mendekat lalu memeluk Mira dengan sayang, Mira pun membalas pelukan Mbok Yanti tak kalah erat.
"Hidup Mira hancur, Mbok!" adunya dengan tangis sesenggukan.
Mbok Yanti mengangguk sembari mengelus punggung Mira yang bergetar. Ia membiarkan gadis muda yang malang itu meluapkan kesedihannya.
"Mbok dengar semuanya, Neng. Mbok percaya sama Neng Mira," tutur Mbok Yanti sembari mengusap air mata di pipi Mira.
Mira tersenyum haru karena masih ada orang yang percaya padanya dan tidak menghakiminya.
"Neng benar-benar ingin pergi?" tanya Mbok Yanti dan Mira mengangguk mantap.
"Neng bisa tinggal di rumah Mbok yang di kampung. Tidak jauh, hanya empat jam perjalanan dari sini."
Mira mengangguk. "Mira mau, Mbok!"
Mbok Yanti lalu menuliskan sebuah alamat di secarik kertas dan menyerahkannya pada Rania.
Tidak perlu menunggu esok atau nanti, Mira pergi hari itu juga meninggalkan rumah Arka dan Raya. Ia menaiki kereta menuju sebuah perkampungan yang cukup ramai dan padat penduduk meski letaknya sedikit jauh dari kota.
Pada malam hari Arka kembali ke rumah untuk membersihkan diri karena harus kembali ke rumah sakit menemani Raya. Ia celingak-celinguk mengelilingi ruangan demi ruangan mencari keberadaan Mira, namun Mira tak kunjung menampakkan wujudnya.
"Cari siapa, Den?" tanya Mbok Yanti.
Arka berjengit kaget karena terkejut.
Mbok ngagetin aja!" seru Arka sembari mengelus dadanya. "Mira mana, Mbok?"
"Neng Mira sudah pergi, Den."
"Pergi?" Dahinya mengernyit. "Kemana?"
"Mbok nggak tahu, Den. Neng Mira tidak mengatakan apa-apa."
Arka menghela napas panjang, ia merasa bersalah ada gadis cantik yang sudah ia rusak hidupnya. Tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, ia terlalu malu mengakui tindakan bejatnya. Merasa tak ada yang perlu ia tanyakan lagi, Arka memilih berlalu dari sana.
"Den!" panggil Mbok Yanti.
Langkah Arka terhenti, ia berbalik menatap Mbok Yanti.
"Saya ingin berhenti bekerja, Den. Saya ini sudah tua dan sering sakit-sakitan, ingin istirahat saja dan menikmati hari tua di kampung," terang Mbok Yanti.
Arka terdiam berpikir. "Baiklah, Mbok. Tapi, tunggu sampai Raya sehat bisa, Mbok?"
Mbok Yanti mengangguk. "Iya, Den."
Setahun kemudian.
Seorang pria yang mengenakan pakaian satpam, terlihat berlari masuk ke dalam sebuah rumah mewah berwarna keemasan yang memiliki dua lantai, serta pilar-pilar menjulang tinggi di berbagai sisi.
"Ada apa, Mil?" tanya wanita paruh baya bersanggul rapi.
"Anu, Nyonya Camelia. Di depan ada wanita tua yang membawa bayi dan mengatakan bahwa itu adalah anak Den Arka," terangnya takut-takut.
"Usir dia!" titah Nyonya Camelia dengan wajah geram.
"Baik, Nyonya," jawabnya patuh.
"Suruh dia masuk!"
Samil dan Nyonya Camelia menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakang. Terlihat seorang pria tua yang berjalan menggunakan tongkat mendekat ke arah mereka.
"Suruh dia masuk!" titahnya sekali lagi.
"Untuk apa kamu menyuruhnya masuk, Pa? ... Kedatangan mereka bisa membuat keluarga kecil Arka berantakan," sentak Nyonya Camelia tak terima.
Kedua paruh baya itu adalah orang tua Arka, sejak kejadian Raya masuk rumah sakit, mereka pindah ke kediaman utama Wicaksana dengan alasan agar kejadian yang serupa tak terulang lagi.
"Bawa mereka masuk!" titah Tuan Fatan.
Nyonya Camelia melengos sebal lalu pergi.
Samil yang sejak tadi bingung ingin menuruti perintah yang mana, akhirnya menuruti Tuan Fatan
Tak lama kemudian, Mbok Yanti dengan tubuh kurus kering tengah menggendong bayi perempuan yang sangat cantik dan memiliki kulit putih bersih.
"Ningsihh!" panggil Tuan Fatan setengah berteriak.
Seorang wanita berusia pertengahan 30 an datang tergopoh-gopoh dari arah dapur.
"Iya, Tuan."
"Buatkan minum dan panggil semua orang untuk berkumpul di ruang tamu!" titahnya.
Mbok Yanti mendekap bayi mungil tersebut dengan hati-hati. Ia berulang kali memandang wajah bayi yang sedang terlelap tersebut dan semua tak luput dari perhatian Tuan Fatan.
"Ada apa, Pa?" tanya Arka yang datang bersama Raya.
Keduanya mematung terkejut akan kehadiran Mbok Yanti yang tak pernah mereka duga.
"Duduklah!" titah Tuan Fatan.
Arka dan Raya duduk di salah satu sofa meski dalam benak mereka timbul banyak pertanyaan, tapi mereka tak berani bersuara saat melihat keseriusan di wajah Tuan Fatan.
Menit berikutnya disusul Nyonya Camelia yang ikut bergabung dengan mereka.
"Semua sudah berkumpul. Sekarang katakan, Mbok. Apa tujuan mbok kesini?" tanya Tuan Fatan tenang.
"Ini anak Nona Mira dengan Den Arka, Tuan!" Terang Mbok Yanti seraya memperlihatkan bayi mungil dalam dekapannya.
"Tidak!" seru Raya nyaring.
Tuan Fatan mengangkat tangannya mengisyaratkan agar Raya diam.
Raya menatap Mbok Yanti geram. Dalam hati ia tak henti-hentinya mengutuk Mbok Yanti yang dengan lancangnya membawa bayi itu kesini.
"Lanjutkan!" titah Tuan Fatan.
"Saya sudah tua dan sakit-sakitan, Saya tidak bisa lagi menjaga atau merawatnya, Tuan. Untuk itu saya menyerahkannya kepada keluarga ini untuk dirawat karena Nona Mira, ... Sudah meninggal, Tuan!" ucap Mbok Yanti sedih.
Arka tertegun, lidahnya kelu hingga tak bisa berkata apa-apa.
"Keluarga Wicaksana akan merawatnya. Keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat," ucap Tuan Fatan tegas.
"Pa!" panggil Nyonya Camelia tak terima.
"Aku tidak menerima segala bentuk protes dan negosiasi!"
Pada akhirnya mereka hanya bisa menurut. Mbok Yanti akhirnya bisa bernapas lega dan pergi dengan damai.
***
21 Tahun berlalu.
"Dasar anak tidak tahu diri, kamu sama pelacurnya seperti ibumu!"
Plak!
Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat tepat di pipi kiri Alea, hingga membuat wajahnya terlempar ke samping. Tanda merah bergambar lima jari melekat di pipi mulusnya yang putih bersih.
"Aku sudah berbaik hati merawatmu dan membiarkanmu hidup, jadi jangan sekali-kali kamu berani melawanku ataupun mengusik milik putriku!" lanjutnya dengan sorot mata berapi-api juga jari telunjuknya mengacung tepat di depan wajah Alea yang tampak memar kemerahan.