Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Suasana ruang tamu itu semakin mencekam. Tidak ada suara selain detak jam dinding dan napas terengah Alya yang berusaha keras menahan tangis.
Vandra menunduk, tangannya saling menggenggam erat, keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Erika duduk kaku di sebelahnya, wajah pucatnya semakin menegang karena tatapan tajam dari semua orang.
Papa Indera mencondongkan tubuhnya, suara beratnya keluar pelan tapi mengandung amarah yang menekan.
“Vandra ....” Papa Indera menatap tajam putra sulungnya itu. “Sejak kapan kau mengkhianati rumah tanggamu? Sejak kapan kau berani menjilat ludah sendiri setelah berjanji di hadapan Tuhan akan menjaga Alya?”
Vandra tercekat. Bibirnya bergetar, tapi suara seolah tertelan.
Pak Lukman, mertua sekaligus sosok yang dulu sangat dihormatinya, menghentak meja dengan telapak tangan. “Jawab, Vandra! Jangan diam seperti pengecut! Kau tega mempermainkan anakku, hah? Enam bulan lalu dia baru melahirkan, tubuhnya masih lemah, tapi kau sibuk bercinta dengan perempuan ini!” Jari telunjuknya menuding Erika dengan penuh kebencian.
Vandra mana berani bilang kalau dirinya dan Erika sudah selingkuh sekitar sembilan bulan yang lalu. Lebih tepatnya setelah bertemu di acara malam tahun baru. Saat itu Alya sedang hamil besar.
Erika sontak terisak. “Pak, aku … aku—”
“Diam!” bentak Bu Laila, mata berkaca-kaca, wajahnya penuh luka. “Jangan sekali pun kau panggil aku dengan nada memelas itu. Gara-gara kau, rumah tangga anakku hancur!”
Mama Vany ikut bersuara, tangisnya pecah. “Vandra, apa salah Mama membesarkanmu? Apa kurang doa kami? Apa kurang kasih sayang kami, sampai kau tega mempermalukan keluarga besar di depan orang banyak?”
Kata-kata itu seperti belati yang menusuk dada Vandra. Ia menunduk lebih dalam, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Namun, keheningan yang menekan memaksanya untuk berbicara.
“A-ku … aku khilaf, Pa … Ma … aku tidak bermaksud menghancurkan rumah tangga ini.”
Alya menoleh cepat, matanya basah tapi berkilat dengan luka mendalam. “Tidak bermaksud? Mas, hubungan enam bulan penuh perselingkuhan bukan lagi khilaf. Itu pilihan!”
Pak Lukman berdiri, tubuhnya bergetar menahan emosi. “Aku malu, Vandra! Aku malu punya menantu laki-laki seperti kau! Dulu aku serahkan Alya padamu karena kupercaya kau bisa jadi imam yang baik. "Tapi, ternyata kau hanya pria rendah yang lebih memilih nafsu daripada tanggung jawab!”
Erika mencoba membela, suaranya parau. “Jangan salahkan Mas Vandra sepenuhnya. Aku hanya ingin menemaninya. Dia sering merasa tertekan.”
“Ter-te-kan?!” Papa Indera membentak keras hingga Erika tersentak. “Kalau kau lelaki sejati, Vandra, kau akan cari solusi, bukan pelarian! Dan kau, Erika ....” Mata Papa Indera menyipit penuh jijik. “Apa kau bangga merusak rumah tangga orang lain? Kau tidak tahu malu duduk di sini setelah semua bukti terungkap?”
Zara, yang sejak tadi menahan diri, menyambar dengan tawa getir. “Tentu saja bangga, Pa! Lihat saja, masih berani nempel di samping Kak Vandra, seakan dia yang lebih pantas dibandingkan dengan Mbak Alya. Dasar pelakor murahan!”
Disindir seperti itu, Erika langsung menggeser sedikit menjauh dari Vandra. Dia merasa tertekan berada di sana.
“Zara, cukup!” Mama Vany menahan, tetapi suaranya goyah. “Kemarahanmu benar, tapi biarkan ayahnya yang bicara.”
Bu Laila kembali menatap Vandra, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku tahu Alya bukan istri sempurna. Tapi dia berusaha, Nak. Dia rela berhenti dari pekerjaannya yang mapan demi posisi kamu biar bisa bekerja di perusahaan, demi menjaga rumah tangga kalian. Dia bahkan rela tubuhnya remuk melahirkan cucuku demi keluarga ini. Dan kau balas dengan apa? Dengan tidur bersama perempuan lain?”
Alya terisak, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah tanpa bisa lagi ditahan. Mereka yang mendengar ikut merasa tersayat hatinya.
Vandra yang melihat itu ingin menyentuh bahu Alya. Dia juga ingin berkata maaf, tetapi tatapan Pak Lukman yang seperti api menahannya.
“Jangan berani kau sentuh Alya!” bentak mertuanya dengan suara bergetar. “Mulai detik ini, aku tidak akan membiarkanmu menyakiti anakku lagi!”
Keheningan jatuh kembali. Suara tangisan Alya memenuhi ruangan, bercampur dengan isak Bu Laila dan napas berat Papa Indera. Vandra duduk mematung, hatinya dirobek-robek rasa bersalah, tetapi bibirnya tetap kelu.
Erika hanya bisa tertunduk malu, kedua tangannya meremas rok panjangnya. Ia sadar, kehadirannya hanya memperkeruh luka. Akan tetapi, ia tak bisa pergi, karena tatapan Vandra seolah memohon dirinya untuk tetap di sana.
Pak Lukman menatap keduanya dengan pandangan terakhir, tegas, dan penuh kebencian. “Kau pikir kami akan diam saja? Tidak, Vandra. Mulai malam ini, kau akan menghadapi konsekuensi dari semua perbuatanmu. Dan kau, Erika, jangan harap hidupmu tenang setelah menghancurkan keluarga kami.”
Suasana semakin menegang. Ruang tamu itu terasa sesak, udara seperti berhenti berputar. Tangisan Alya semakin keras, mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya. Bu Laila tak henti memeluk putrinya, sementara Pak Lukman berdiri kaku, wajahnya penuh bara amarah.
"Semua ini sudah jadi takdir kita," kata Vandra, seakan semua ini memang sudah rencana dari Tuhan.
"Benar. Kita bisa apa," lanjut Erika lirih.
Vandra menunduk, tubuhnya bergetar hebat. Erika meremas tangannya sendiri, ketakutan. Namun, masih duduk di sisi Vandra seakan mencoba bertahan di tengah amukkan badai.
Alya tiba-tiba bangkit dari kursi. Matanya merah, wajah penuh air mata, tetapi sorotnya menyala dengan luka dan dendam yang tak terbendung. Suaranya bergetar, namun penuh tenaga.
“Cukup! Aku sudah dengar semua alasan, semua pembelaan, semua kebohongan kalian!” Alya menatap Vandra dan Erika bergantian. “Hari ini, aku tidak akan minta lagi alasan atau maaf. Karena maaf darimu, Vandra, sudah tak berarti apa-apa.”
Vandra mencoba berdiri, tetapi Pak Lukman menahan dengan sorot mata yang membuatnya kembali terduduk.
Alya menatap suaminya lekat-lekat, setiap kata keluar seperti petir yang membelah dada.
“Mas Vandra, demi air mata yang sudah aku habiskan, demi sakit yang aku tanggung, demi luka batin yang tidak akan pernah sembuh. Aku berdoa semoga hidupmu bersama wanita ini tidak akan pernah tenang sampai kalian mati!”
Suara isak tertahan terdengar dari Mama Vany, sementara Papa Indera menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Alya melanjutkan, suaranya meninggi, tubuhnya gemetar.
“Burungmu itu—yang kau gunakan untuk berkhianat—aku doakan lumpuh! Tidak akan pernah lagi bisa kau gunakan untuk memuaskan siapa pun. Kau tidak akan pernah bisa menurunkan keturunan lain selain dari aku! Cuma anak-anakku yang menjadi darah dagingmu di dunia ini!”
“ALYA!” seru Mama Vany, terkejut oleh doa kutukan sang menantu untuk putranya.
Namun, Alya tak berhenti. Ia menoleh pada Erika, tatapannya begitu menusuk, seperti belati menancap di dada.
“Dan kau, Erika! Semoga seluruh kebahagiaanmu lenyap. Semoga kau merasakan bagaimana rasanya dihina, dikhianati, ditinggalkan, dan disia-siakan oleh lelaki yang kau perjuangkan dengan cara kotor. Aku doakan seluruh hidupmu penuh air mata, penuh kehinaan, penuh kesakitan, dan penuh penyesalan!”
Erika langsung menangis tersedu, tubuhnya gemetar hebat. “Mbak Alya, jangan begitu. Aku ... aku—”
“Diam!” Alya menjerit, suaranya pecah tapi kuat. “Kau sudah hancurkan rumahku! Kau sudah rampas kebahagiaanku! Kau sudah buatku jadi wanita yang bahkan tak bisa menatap wajah anak-anak dengan utuh karena dikhianati ayahnya! Semoga kau tidak pernah merasakan cinta sejati, semoga hidupmu penuh neraka sebelum kau masuk ke dalam tanah!”
Suara doa kutukan itu menggema di seluruh ruangan, membuat bulu kuduk semua orang berdiri. Bu Laila menangis keras, sementara Pak Lukman mengepalkan tinju, menahan diri untuk tidak menghantam menantunya.
Vandra akhirnya menunduk lebih dalam, tangisnya pecah. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya berguncang. Erika pun terisak, wajahnya pucat pasi, napas terengah-engah seperti orang kehabisan oksigen.
Alya mengusap air matanya kasar, lalu berkata dengan nada penuh kepastian.
“Ingat baik-baik, Vandra. Doa istri yang tersakiti tidak pernah tertolak oleh langit. Dan kau, Erika! Ingat wajahku ini baik-baik, karena setiap kali kau mencoba tersenyum, wajahku akan menghantui mu. Semoga kalian berdua menyesali perbuatan ini sampai mati!”
Setelah itu, Alya roboh ke pelukan Bu Laila. Tangisnya pecah, sementara seisi ruangan membisu. Hanya ada suara isakan dan desahan berat dari setiap dada yang tercekat.
Papa Indera akhirnya bangkit, wajahnya dingin tapi suaranya penuh keputusan.
“Mulai malam ini, rumah ini bukan lagi rumahmu, Vandra. Pergi. Bawa perempuan itu dan jangan pernah kembali sebelum Tuhan sendiri menunjukkan keajaiban bahwa kau layak dimaafkan.”
Vandra gemetar, terhuyung, tak sanggup menatap siapa pun. Erika memegangi lengannya, tapi tatapan kebencian dari semua orang membuat langkah mereka seperti berjalan ke neraka.
Di balik punggung mereka, doa Alya masih menggema, menjadi kutukan yang seakan menempel ke jiwa.
“Tidak ada bahagia, tidak ada keturunan, dan tidak ada cinta sejati. Hanya ada penderitaan dan penyesalan sampai ajal menjemput.”
pasti tau kalo Erika mantan simpanan...
😀😀😀❤❤❤
seiman..
baik..
sabar..
setia.
❤❤❤😍😙
seperti nya itu tak mungkin 😏 apa lagi melihat sikap Erika yg masih sook jadi korban padahal tersangka bikin gedek ni orang satu 😠👊
Dan kamu Vendra pakai otakmu sudah di wanti" sama keluarga mu jgn berhubungan lagi dgn Erika maseh juga kamu langgar lihat aja akan jadi apa rumah tangga mu nanti...