Aditiya Iskandar, seorang Menteri Pertahanan berusia 60 tahun, memiliki satu obsesi rahasia—game MMORPG di HP berjudul CLO. Selama enam bulan terakhir, ia mencuri waktu di sela-sela tugas kenegaraannya untuk bermain, bahkan sampai begadang demi event-item langka.
Namun, saat ia terbangun setelah membeli item di game, ia mendapati dirinya bukan lagi seorang pejabat tinggi, melainkan Nijar Nielson, seorang Bocil 13 tahun yang merupakan NPC pedagang toko kelontong di dunia game yang ia mainkan!
dalam tubuh boci
Bisakah Aditiya menemukan cara untuk kembali ke dunia nyata, atau harus menerima nasibnya sebagai penjual potion selamanya?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiat_Df, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Boxing
Dojo Keluarga Viscount Andrew – Pertarungan yang Tak Terduga
Suasana dojo yang awalnya hanya dipenuhi suara pukulan kayu dan obrolan santai mendadak hening ketika instruktur berdiri di tengah arena. Ia mengangkat tangannya, memberi tanda bahwa pertarungan akan segera dimulai.
Di satu sisi, seorang pemuda berusia 18 tahun berdiri dengan penuh percaya diri. Tubuhnya tinggi, ototnya kencang, dan sorot matanya menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa bertarung. Ia mengenakan pelindung kepala dan sarung tangan latihan, senyumnya melebar saat melihat lawannya—seorang bocah berusia 13 tahun yang jauh lebih kecil darinya.
Pemuda itu tertawa kecil, menatap Nijar dengan penuh ejekan.
Pemuda: "Seriusan? Aku harus melawan bocah ini?"
Para murid lain yang menyaksikan ikut terkekeh, sementara Jay menyilangkan tangannya dan tersenyum penuh arti.
Jay (berbisik): "Ayo, Nijar, tunjukkan sesuatu yang menarik."
Nijar hanya diam, wajahnya datar. Ia sudah terbiasa diremehkan dalam situasi seperti ini. Yang tidak mereka tahu, ia bukanlah bocah biasa.
---
Awal Pertarungan – Kesenjangan Kekuasaan
Instruktur mengangkat tangannya ke udara.
"Mulai!"
Begitu aba-aba diberikan, pemuda itu langsung melancarkan serangan pertama. Ia maju dengan cepat dan mengayunkan tendangan tinggi ke arah kepala Nijar.
Nijar dengan sigap menghindar dengan melangkah ke belakang, tapi pemuda itu tidak berhenti. Ia terus menyerang dengan tendangan-tendangan panjang yang membuat Nijar kesulitan mendekat.
Dari luar, pertarungan ini tampak sepihak. Pemuda itu dengan mudah mendominasi arena, memanfaatkan keunggulan tinggi badannya untuk menekan Nijar ke sudut.
Para penonton mulai berbisik.
"Bocah itu tak punya peluang."
"Tentu saja, lawannya jauh lebih besar."
"Kenapa Jay menyuruhnya bertarung?"
Jay hanya terkekeh pelan, sementara Darius, yang diam di sudut dojo, menyipitkan matanya, memperhatikan setiap gerakan Nijar.
---
Nijar Berubah – Teknik yang Tidak Diketahui Dunia Ini
Nijar mulai memahami pola serangan lawannya. Ia tidak boleh bertarung menggunakan gaya karate, karena itu adalah keahlian lawannya.
Ia mengambil napas dalam-dalam.
"Baiklah… aku akan gunakan gaya favoritku."
Ia mulai merubah posisi tubuhnya. Kedua tangannya naik ke depan, kepalan tangannya berada di dekat dagunya. Tubuhnya sedikit menyamping, dan yang paling mencolok—gerakan kakinya mulai berubah.
Ia tidak lagi diam di tempat atau bergerak kaku seperti karateka lainnya. Sebaliknya, ia mulai melakukan footwork cepat, kakinya menari di lantai, bergerak dengan ringan namun penuh ritme.
Para penonton terdiam, lalu…
Mereka tertawa.
"Apa-apaan itu?"
"Dia menari?!"
"Gerakan apa itu?"
Bahkan lawannya menyeringai, merasa diremehkan.
Pemuda: "Hei, kau ingin bertarung atau ikut festival tari?"
Tapi tawa itu hanya bertahan sebentar.
---
Serangan Balik Nijar – Kecepatan yang Mengejutkan
Tiba-tiba—Nijar meluncur ke depan dengan kecepatan yang tidak terduga.
Dua pukulan cepat mendarat di tubuh lawannya!
Bugh! Bugh!
Serangan itu terlalu cepat untuk dihindari, pemuda itu terhuyung ke belakang. Ia terkejut—bukan hanya karena kecepatan Nijar, tapi juga karena pukulan itu terasa lebih kuat daripada yang ia duga.
Jay, yang tadi santai, langsung berseru kaget.
"WOAH! APA ITU?! Nijar! Apa yang baru saja kau lakukan?!"
Para penonton yang awalnya meremehkan mulai terdiam, kini mata mereka terbelalak.
Nijar tetap diam, tubuhnya terus bergerak dalam ritme footwork yang konstan. Gerakan itu begitu halus, begitu ringan, namun memiliki ketepatan yang mengerikan.
Darius yang mengamati dari jauh menyipitkan matanya.
"Gerakan ini… bukan karate. Ini sesuatu yang lain. Apa sebenarnya bocah ini?"
---
Pertarungan Berlanjut – Kecepatan vs Kekuasaan
Lawan Nijar tidak terima begitu saja. Ia kembali fokus, kini dengan ekspresi serius. Ia menyerang lagi—lebih cepat dan lebih kuat.
Tapi sekarang, Nijar sudah menguasai ritme pertarungan.
Ia menghindar dengan mudah, bergerak ke kanan dan ke kiri sebelum lawannya sempat menyadari. Dan ketika ada celah—BUGH! Satu pukulan lain mendarat di perut lawannya.
Lalu BUGH! pukulan kedua di rahang.
Lalu pukulan ketiga.
Lalu keempat.
Kini, lawannya mulai panik. Ia tidak bisa membaca gerakan Nijar! Setiap serangannya meleset, sementara Nijar selalu berhasil menyelinap masuk dan mendaratkan pukulan di tubuhnya.
---
Akhir Pertarungan – Kemenangan Nijar
Setelah terus menerima pukulan demi pukulan, akhirnya tubuh lawan Nijar mulai melemah. Nafasnya terengah-engah, matanya linglung.
Nijar, yang masih bergerak ringan dengan footwork-nya, melihat kesempatan.
Ia melancarkan serangan terakhir.
BUGH! Sebuah uppercut ke dagu lawannya.
DOOM! Lawannya jatuh terkapar ke lantai dojo.
Instruktur segera melangkah ke tengah arena dan mengangkat tangannya.
"Pertarungan selesai! Pemenangnya—Nijar!"
---
Euforia dan Kebingungan di Dojo
Sejenak, dojo itu sunyi.
Lalu…
"WOOOOAAAAH!!"
Sorakan membahana di seluruh dojo. Para murid yang tadi menertawakan Nijar kini berteriak kegirangan, bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
Jay, yang sejak tadi menyaksikan dengan mata membelalak, langsung melompat-lompat kegirangan.
Jay: "Nijar! Itu luar biasa! Gerakan kaki itu… pukulan itu… APA ITU?!"
Darius yang mengamati dari jauh tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Bocah ini… dia menggunakan teknik bertarung yang tidak ada di dunia ini. Apa sebenarnya asal-usulnya?"
Nijar hanya tersenyum kecil, mengusap hidungnya sambil berkata santai.
Nijar: "Aku hanya sedikit latihan di masa lalu."
Para murid dojo langsung berkerumun di sekeliling Nijar, bertanya-tanya tentang teknik misteriusnya.
Dan di sudut ruangan, Darius hanya berdiri dengan tangan terlipat, tersenyum kecil sambil bergumam pelan.
"Menarik… sangat menarik."
Nijar bukanlah anak biasa.
Sejak kecil, ia telah ditempa dengan keras oleh ayahnya dalam dunia bela diri. Pada usia 8 tahun, ia mulai belajar boxing, olahraga yang ayahnya cintai dan wariskan kepadanya. Awalnya, latihan itu hanyalah rutinitas, tetapi semakin lama, Nijar mulai memahami esensi dari setiap pukulan, setiap gerakan kaki, dan setiap strategi yang ada di dalam ring.
Saat ia memasuki SMA, bakatnya mulai bersinar. Ia mengikuti berbagai kejuaraan dan sering kali membawa pulang medali emas. Tekniknya yang disiplin dan insting bertarungnya yang tajam membuatnya menjadi petinju muda yang diperhitungkan. Banyak orang percaya bahwa masa depannya sebagai petinju profesional sudah terbuka lebar.
Namun, ketika usianya menginjak 20 tahun, semuanya berubah. Negara tempatnya tinggal mengalami krisis militer yang mengharuskannya membuat pilihan sulit. Impiannya sebagai petinju profesional harus ia tinggalkan. Ia mendaftarkan diri ke militer, bukan karena ambisi, tetapi karena panggilan hati untuk melindungi tanah airnya.
Awalnya, dunia militer terasa berbeda dari ring tinju. Tidak ada sorotan kamera, tidak ada sorakan penonton, hanya disiplin ketat dan pelatihan tanpa henti. Tapi di sanalah ia menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar kemenangan di ring—ia menemukan tujuan baru.
Kemampuannya dalam bela diri membuatnya cepat naik pangkat. Pada usia 25 tahun, ia sudah menjadi pelatih bela diri bagi pasukan militer. Selama lima tahun, ia melatih banyak prajurit, mengajarkan teknik bertarung yang efektif, dan membentuk mereka menjadi prajurit yang lebih kuat.
Namun, bukan hanya militer yang membuatnya jatuh cinta pada dunia ini. Di sanalah ia bertemu dengan seseorang yang mengubah hidupnya—jodohnya. Cintanya pada dunia tinju mulai memudar, tergantikan oleh kebahagiaan yang baru ia temukan.
Mimpi menjadi petinju profesional yang dulu ia kejar dengan penuh semangat kini hanya menjadi kenangan. Bukan karena ia menyerah, tetapi karena ia telah menemukan kebahagiaan di tempat yang tidak pernah ia duga sebelumnya.