Deskripsi Novel: "Bayang di Balik Jejak"
Di kota kecil Rivermoor yang diselimuti kabut, sebuah rumah tua bernama Rumah Holloway menyimpan rahasia kelam yang tidak pernah terungkap. Sejak pembunuhan brutal bertahun-tahun lalu, rumah itu menjadi simbol ketakutan dan misteri. Ketika Detektif Elena Marsh, yang penuh ambisi dan bayangan masa lalu, ditugaskan untuk menyelidiki kembali kasus tersebut, dia segera menyadari bahwa ini bukan sekadar pembunuhan biasa.
Jejak-jejak misterius membawanya ke dalam jaringan ritual gelap dan pembunuhan berantai yang melibatkan seluruh kota. Setiap langkah yang diambilnya memperdalam keterlibatannya dengan sesuatu yang lebih jahat daripada yang pernah ia bayangkan. Namun, ancaman terbesar justru datang dari bayang-bayang yang tak kasatmata—dan nama Elena ada di daftar korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANG BAYANG YANG MENGINTAI
Suara detak jantung Elena menggema di dalam ruangan kosong itu. Dia berdiri mematung, menatap pantulan dirinya yang aneh di cermin besar. Wajah bayangannya terlihat sama, tetapi senyuman licik di bibir pantulan itu membuatnya bergidik. Di sisi lain cermin, pantulan itu seolah memiliki kehidupan sendiri—bergerak lebih lambat dari gerakan aslinya, seolah mempermainkannya.
Elena mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi rasa penasaran dan ketakutan yang membuncah membuatnya sulit berpaling. Dia mendekati cermin, menatap lebih dalam, mencari tanda-tanda penjelasan.
"Kau tidak bisa lari dari takdirmu," suara pantulan itu berbicara, meski bibir Elena tidak bergerak.
“Apa maksudmu?” bisik Elena, suaranya hampir tak terdengar.
"Semua ini bukan kebetulan. Kau dipilih. Kau bagian dari lingkaran ini sejak lama."
Elena menggeleng keras. “Tidak! Aku bukan bagian dari ini. Aku hanya seorang detektif yang mencoba mencari jawaban.”
Pantulan itu tersenyum lebih lebar. "Jawaban itu sudah ada di depan matamu, Elena. Kau hanya perlu menerima kebenarannya."
Tiba-tiba, cermin itu retak dengan suara keras, membuat Elena tersentak mundur. Retakan menyebar cepat, membentuk pola seperti jaring laba-laba sebelum akhirnya pecah menjadi ribuan serpihan yang melayang di udara. Di balik cermin yang hancur, sebuah lorong gelap terbuka, mengundang Elena masuk.
Dia tahu dia tidak punya pilihan lain. Dengan napas tertahan, Elena melangkah masuk ke dalam lorong itu, menyadari bahwa setiap langkah membawanya semakin dalam ke jantung kegelapan.
---
Lorong Bayangan – 04:15 AM
Lorong itu panjang dan sempit, hanya diterangi oleh nyala api kecil dari obor yang tergantung di dinding. Udara di dalamnya semakin dingin, membuat setiap napas Elena terlihat seperti kabut tipis. Suara langkah kakinya menggema, menciptakan ilusi bahwa dia tidak sendirian.
Dia terus berjalan, meskipun instingnya menjeritkan peringatan untuk berhenti. Setiap beberapa meter, dia melihat ukiran simbol-simbol aneh di dinding. Simbol yang sama seperti yang ada di Rumah Holloway dan Gereja St. Mary. Simbol yang seolah mengejarnya sejak awal kasus ini.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, dia tiba di ujung lorong. Sebuah pintu kayu besar berdiri kokoh di depannya, dihiasi dengan ukiran kepala seekor serigala yang tampak hidup. Elena meraih gagang pintu, merasakan dinginnya logam di telapak tangannya. Dengan dorongan perlahan, pintu itu terbuka, memperlihatkan ruangan besar yang penuh dengan lilin-lilin menyala.
---
Ritual yang Terhenti
Di tengah ruangan, sebuah lingkaran besar terukir di lantai, dikelilingi oleh lilin-lilin merah yang menyala dengan nyala api biru. Di dalam lingkaran itu, ada sosok manusia yang terbaring kaku, wajahnya tertutup kain hitam. Elena melangkah lebih dekat, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Namun sebelum dia bisa mendekati sosok itu, suara langkah kaki terdengar dari balik bayangan. Elena memutar tubuhnya, mengangkat pistol, siap menghadapi siapa pun yang mendekat. Dari balik bayangan, muncul seorang pria tua dengan jubah hitam panjang, matanya tertutup oleh kain merah.
“Selamat datang, Elena,” suara pria itu terdengar serak, namun penuh wibawa. “Kami sudah menunggumu.”
“Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Elena tajam, meskipun ketakutan mulai mencengkeram hatinya.
Pria itu tersenyum tipis. “Namaku bukan hal yang penting. Yang penting adalah peranmu dalam semua ini. Kau adalah kunci untuk mengakhiri siklus ini.”
“Siklus apa? Aku tidak mengerti!” Elena mulai kehilangan kesabarannya.
“Siklus korban dan pelaku. Kau harus memilih, Elena. Menjadi pemburu… atau menjadi yang diburu.” Pria itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah lingkaran di tengah ruangan. “Pengorbanan harus dilakukan agar keseimbangan tetap terjaga.”
Elena melangkah mundur, mencoba mencari jalan keluar. Tapi pintu di belakangnya sudah menghilang, digantikan oleh dinding batu yang kokoh. Dia terjebak.
---
Pertarungan dengan Bayangan
Tiba-tiba, bayangan di sekitar ruangan mulai bergerak, membentuk sosok-sosok hitam tanpa wajah. Mereka mendekat dengan langkah lambat namun pasti, mengelilingi Elena dari semua sisi. Dia mengangkat pistol dan menembak ke arah salah satu bayangan, tetapi pelurunya hanya menembus udara kosong.
“Tidak ada pelarian, Elena,” suara pria itu menggema. “Hanya ada satu jalan keluar: menerima takdirmu.”
Elena menggertakkan gigi, mencoba menenangkan pikirannya. Dia ingat sesuatu dari buku yang dia baca di Gereja St. Mary—sebuah ritual untuk mengusir bayangan. Dia harus mengucapkan kata-kata tertentu.
Dengan suara gemetar, Elena mulai melafalkan mantra dari ingatannya. Kata-kata itu terasa asing di lidahnya, tetapi dia terus melanjutkan, berharap itu bisa menghentikan bayangan-bayangan itu.
Bayangan-bayangan itu berhenti bergerak, kemudian perlahan menghilang satu per satu. Namun, pria berjubah hitam itu tetap berdiri di tempatnya, tersenyum puas.
“Kau telah memilih, Elena,” katanya. “Kau adalah pemburu sekarang. Tapi ingat, setiap pemburu pada akhirnya akan diburu.”
Dengan kata-kata itu, pria itu menghilang dalam kepulan asap hitam, meninggalkan Elena sendirian di ruangan kosong. Lingkaran ritual di lantai juga menghilang, bersama dengan semua lilin.
---
Kembali ke Dunia Nyata
Elena membuka matanya dan mendapati dirinya kembali di mobilnya, terparkir di depan Gereja St. Mary. Hujan telah berhenti, dan fajar mulai menyingsing di cakrawala. Dia memeriksa ponselnya—waktu menunjukkan pukul 06:00 pagi. Seolah-olah semua yang terjadi di bawah gereja hanyalah mimpi buruk.
Tapi Elena tahu lebih baik. Bekas luka di tangannya dan simbol kecil yang terukir di pergelangan tangannya adalah bukti bahwa semua itu nyata. Dan kini, dia terjebak dalam permainan yang jauh lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan.
Dia menghidupkan mesin mobil dan melaju pulang, menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.