Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Everything must be reason
Andai takdir bisa berbicara, mungkin dia juga akan mengeluh karena terus di salahkan atas apa yang terjadi kepada Dikta dan Delvia. Meski demikian, tampaknya takdir tidak lelah mempermainkan kedua manusia itu. Petemuan demi pertemuan tak terelakan, bak membubuhkan garam di luka yang mengangga.
Tiba pada saat peresmian klinik Family Health Care, kedua pendiri mengundang keluarga serta kenalan untuk menjadi saksi berdirinya klinik pertama mereka. Wajah lelah Dikta dan Bagas tertutup senyuman bahagia, keduanya terlihat begitu bersemangat saat prosesi pemotongan pita. Semua ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan mereka yang sesungguhnya.
"Selamat ya anak-anak, mommy sangat bangga pada kalian," ucap Nila seraya memeluk Dikta dan Bagas secara bergantian.
"Terima kasih mom."
"Terima kasih tante!"
Di acara tersebut, Maya dan Erika turut datang. Keduanya juga mengucapkan selamat kepada Dikta dan Bagas. Hingga akhir, hanya Delvia yang masih membungkam mulutnya, dia masih ragu untuk bertatap muka dengan adik iparnya. Andai bukan Wira yang memohon padanya untuk datang, Delvia lebih memilih untuk tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Via, kenapa kamu belum menyapa adik iparmu?" tanya Maya dengan tatapan sinis, seolah sedang memaksa Delvia untuk segera menemui Dikta dan mengucapkan selamat kepada adik iparnya. "Ayo cepat temui dia!" Maya menarik tangan Delvia dengan kasar.
Dikta mengetatkan rahang, bukan karena gugup karena Delvia akan menghampirinya, melainkan dia marah dan tidak terima melihat Delvia di tarik secara paksa, kemarahan Dikta semakin memuncak saat melihat Delvia menahan sakit. Warna kemerahan bekas cengkeraman Maya membekas di pergelangan tangan Delvia, membuat Dikta hampir tak bisa menahan emosinya.
"Pelan-pelan nyonya, putri anda bisa terluka," cibir Dikta dengan sorot yang begitu menakutkan.
Maya tersenyum seolah tak terjadi apapun. "Maaf ya nak Dikta, kakak iparmu baru bisa menyapa," ucapnya sok ramah. "Ayo Via, ucapkan selamat kepada nak Dikta!"
"Selamat atas peresmian klinik pertamamu mas. Maaf karena mas Wira tidak bisa datang, dia sedang melakukan perjalanan bisnis," ucap Delvia dengan tulus. Jauh di dalam lubuk hatinya, Delvia sangat mendukung Dikta dan merasa bangga pada pria itu
"Terima kasih," Dikta menjawab seraya memperhatikan pergelangan Delvia yang masih memerah. "Oh ya mbak, boleh aku titip sesuatu untuk mas Wira?" tiba-tiba sekali Dikta memanggil Delvia dengan sebutan 'Mbak'. Entah apa yang sedang dia rencanakan.
"Tentu saja boleh," bukannya Delvia, justru Maya yang memberi jawaban.
"Ikutlah denganku sebentar mbak!"
Delvia tidak bisa menolak dan mengekori Dikta. Di tengah keramaian itu keduanya menghilang, Dikta membawa Delvia ke sebuah ruangan yang sepi dan tak terjangkau oleh siapapun. "Tunggu sebentar!"
Selagi Dikta pergi dan menyuruhnya menunggu, Delvia mengamati ruangan yang sepertinya akan menjadi ruang kerja Dikta, bisa di lihat sebuah meja dan kursi juga sebuah tempat tidur untuk memeriksa pasien. Tak lama setelah itu Dikta kembali, Delvia menoleh, menatap Dikta yang tengah mengunci pintu.
"Kenapa di kunci?" tanya Delvia panik, dia benar-benar takut Dikta akan berbuat yang aneh-aneh.
"Jangan takut, aku tidak akan memakanmu," Dikta menjawab dengan wajah serius, membuat Delvia semakin takut. "Tanganmu!"
"Tanganku? Ada apa dengan tanganku?" Delvia menyembunyikan kedua tangannya di punggung. "Dia tidak akan memotong tanganku kan?" batin Delvia.
Dikta menghela nafas berat, lalu secara paksa dia menarik lengan Delvia sehingga dia berhasil mendapatkan tangan yang dia inginkan. Delvia mencoba berontak, namun gadis itu menciut saat Dikta menatapnya dengan tajam seolah-olah akan menelannya hidup-hidup. Kini Delvia hanya bisa pasrah, menunggu apa yang akan Dikta lakukan pada tangannya.
Sungguh di luar dugaan, alih-alih memotong tangan seperti yang Delvia takutkan, Dikta justru sedang mengompres pergelangan Delvia yang sedikit memar karena ulah Maya. Delvia tercekat, kali ini netranya yang bekerja keras, mengamati wajah Dikta secara terang-terangan. "Kenapa kamu masih begitu peduli padaku?" tanya Delvia setelah cukup lama diam.
Dikta masih belum memberi jawaban, dia masih sibuk mengompres pergelangan tangan Delvia. Setelah selesai dan memastikan tangan Delvia baik-baik saja, Dikta meletakkan kompres di atas meja, pria itu melangkahkan kakinya lebih dekat, mengikis jarak di antara mereka. "Tuhan tidak akan mempertemukan dua orang tanpa sebab. Everything must be reason!"
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan