Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersama Cewek Tobrut Malah Jadi Overpower.
Udara sore itu begitu panas, matahari tampak enggan tenggelam. Di sebuah kafe kecil di pinggir kota, Arga duduk sambil menatap layar ponselnya. Jarang sekali ia mendapat undangan dari teman-teman lamanya untuk sekadar ngopi. Tapi kali ini, bukan undangan biasa yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
"Ayo kumpul di kafe 'Nyaman Sore'. Ada yang penting," pesan singkat dari Sheila, teman SMA-nya yang kini sudah jarang berinteraksi. Ia tahu bahwa Sheila adalah cewek yang tobrut alias tomboy brutal, terkenal dengan gaya nyentrik dan tak pernah takut menghadapi apa pun. Sheila adalah magnet masalah, namun kali ini entah kenapa Arga merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar ajakan ngopi santai.
Author: Hahaha pasti pada ngiranya tobrut dua gunung. ayolah kawan stay halal brother😆
Sambil menyesap kopi dingin, Arga mengangkat wajahnya ketika pintu kafe berderit. Sheila muncul, mengenakan jaket kulit hitam yang lusuh dan celana jeans robek di beberapa bagian, khas dirinya. Di belakangnya, mengikuti seorang pria yang tak dikenal Arga—tinggi, kurus, dan ekspresinya seperti orang yang selalu gelisah.
“Hei, lama gak ketemu, Ga,” Sheila menyapa sambil melempar senyum tipis. “Kenalin, ini Gilang. Dia punya masalah besar yang... hmm, nggak biasa.”
Arga mengernyitkan dahi. “Masalah apa?”
Sheila tidak langsung menjawab, melainkan duduk dan memesan es teh. Setelah teh datang, dia menarik napas panjang, lalu mulai bercerita.
“Gilang ini baru saja kembali dari sebuah tempat yang aneh... tempat yang nggak seharusnya ada.”
Arga merasa matanya melebar seketika. "Tempat yang nggak seharusnya ada?"
Gilang, yang sedari tadi hanya duduk diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya rendah dan penuh kecemasan. “Aku... masuk ke dunia lain. Dunia cermin.”
“Dunia cermin?” Arga menahan tawa. “Kamu bercanda, kan?”
“Dengerin dulu,” Sheila memotong. “Ini serius. Kamu ingat masa SMA dulu, kan? Aku memang suka bikin masalah, tapi yang satu ini... lain dari yang lain. Setelah denger cerita Gilang, aku nggak bisa tidur semalaman. Ini... serem, Ga.”
Sheila mencondongkan tubuhnya ke arah Arga dan melanjutkan, “Gilang nemuin pintu menuju dunia cermin di rumah kosong dekat hutan. Sebuah rumah tua yang ditinggalin pemiliknya bertahun-tahun. Masuk ke rumah itu, kamu bisa ketemu versi cermin dari diri sendiri—kembaran, tapi dengan niat jahat yang enggak kebayang.”
Mendengar cerita ini, Arga mendadak serius. Rumah tua di pinggir hutan memang terkenal angker sejak dulu. Tapi, sebuah dunia cermin? Itu terdengar seperti cerita film horor murahan.
“Dan... kenapa kamu ceritain ini ke aku?” tanya Arga, merasa dirinya ditarik ke situasi yang tidak ia inginkan.
Sheila tersenyum lebar, menyeringai penuh tantangan. “Karena aku butuh bantuanmu. Aku akan pergi ke sana malam ini.”
---
Malam pun tiba, langit gelap tanpa bintang. Arga, Sheila, dan Gilang berjalan menembus hutan, menuju rumah tua yang dimaksud. Suara daun kering yang mereka injak terdengar jelas di antara keheningan malam.
“Apa kamu yakin tentang ini?” tanya Arga dengan ragu.
Sheila mengangguk. “Sangat yakin. Aku nggak tahu apa yang akan kita hadapi, tapi aku punya firasat kalau kita bisa keluar dari sana dengan jawaban dari semua pertanyaan.”
Ketika mereka sampai di depan rumah tua itu, kesan seram langsung menyeruak. Jendela-jendela berdebu dan pintu yang sudah rapuh terlihat seperti telah ditinggalkan selama puluhan tahun. Namun, suasana mistis itu tidak menghalangi Sheila untuk terus melangkah masuk.
Di dalam rumah itu, dinginnya udara terasa menusuk tulang. Gilang menunjuk sebuah cermin besar di ruang tengah. Cermin itu tampak sangat tua, bingkainya berukir pola-pola rumit yang aneh.
“Ini dia,” ucap Gilang lirih. “Di sinilah semuanya dimulai.”
Sheila mendekati cermin itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Arga berdiri sedikit mundur, tak nyaman dengan apa yang mereka hadapi.
“Kamu serius mau masuk ke sana?” tanya Arga dengan suara bergetar.
Sheila hanya tersenyum. “Aku lebih penasaran daripada takut, Ga. Ayo ikut, atau diam di sini saja.”
Tanpa aba-aba lebih lanjut, Sheila mengulurkan tangannya ke cermin, dan yang terjadi kemudian membuat Arga ternganga. Tangan Sheila menembus permukaan cermin seperti menyentuh air, dan dalam sekejap, seluruh tubuhnya tersedot ke dalam. Gilang mengekor dengan cepat, meninggalkan Arga yang masih tertegun.
Arga tak punya pilihan lain. Dengan hati penuh keraguan, ia mengikuti mereka masuk ke dalam cermin.
---
Di balik cermin, dunia tampak sama seperti dunia nyata, tetapi terasa lebih dingin dan aneh. Langit berwarna kelabu, pohon-pohon seperti bergerak dengan sendirinya, dan bayangan mereka di tanah seakan-akan hidup, bergerak tidak sesuai dengan langkah mereka.
“Kita harus hati-hati,” bisik Gilang, matanya waspada. “Di sini, kembaran kita mungkin sudah menunggu.”
“Benar,” Sheila menambahkan dengan nada yang tenang. “Kembaran kita di sini adalah versi jahat dari diri kita. Mereka tahu segalanya tentang kita—cara berpikir, kekuatan, kelemahan.”
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Arga menoleh ke arah asal suara itu, dan pemandangan yang ia lihat membuat bulu kuduknya berdiri. Dari kegelapan, muncul sosok yang sangat mirip dengannya, tetapi dengan senyuman licik dan mata yang memancarkan kebencian.
“Kau…” bisik Arga pelan, merasa tercekik oleh ketakutan yang tiba-tiba. “Itu… aku?”
Kembaran Arga mendekat sambil tertawa pelan, lalu tiba-tiba menghilang, muncul di belakangnya, memegang pisau tajam yang berkilau di bawah cahaya kelabu. Sebelum kembaran itu bisa menusukkan pisau, Sheila bergerak dengan cepat, menendang sosok itu hingga terpental jauh.
“Jangan lengah, Ga!” teriak Sheila. “Kita di sini bukan buat main-main.”
Sheila menatap kembarannya yang muncul dari bayangan. Wajah kembaran itu penuh kebencian, tetapi Sheila tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Dengan gerakan yang sangat cepat, Sheila maju dan memulai serangan balik. Ia tampak seperti mesin tempur, memukul dan menendang dengan presisi yang luar biasa. Dalam hitungan detik, kembarannya ambruk tak berdaya.
Sementara itu, Gilang berjuang melawan kembarannya sendiri, yang terlihat jauh lebih kuat. Namun, di saat-saat kritis, Sheila datang membantu, membuat Gilang mampu menjatuhkan musuhnya.
“Aku nggak tahu kamu sekuat ini, Sheila,” kata Arga, terengah-engah.
Sheila menyeka keringat di dahinya dan tersenyum. “Aku emang kuat, tapi di sini... aku merasa lebih dari itu. Di dunia ini, kita bisa jadi jauh lebih kuat daripada versi diri kita yang biasa. Ini adalah dunia di mana ketakutan dan keraguan kita diuji. Kalo kita berhasil menaklukkan kembaran kita, kita jadi lebih kuat dari yang pernah kita bayangkan.”
Arga tercenung. "Jadi ini semacam... latihan kekuatan batin?"
"Bisa dibilang begitu," jawab Sheila. "Tapi ini bukan sekadar latihan. Kalau kita kalah di sini, kita mungkin nggak akan pernah kembali ke dunia nyata."
Dengan tekad yang baru, Arga mempersiapkan diri. Kali ini, ia tak akan membiarkan rasa takut menguasainya. Bersama Sheila, yang tampak lebih seperti seorang pahlawan daripada seorang cewek brutal, ia kini merasa mampu menaklukkan apa pun yang ada di dunia cermin ini. Bersama, mereka tak lagi takut. Mereka overpower.
Setelah melalui pertempuran yang mendebarkan, mereka akhirnya keluar dari dunia cermin. Namun, mereka tak lagi sama. Arga kini mengerti bahwa bersama Sheila, mereka bisa melampaui batas diri. Dan Sheila? Dia sudah lama tahu bahwa tak ada yang bisa mengalahkannya—bahkan dirinya sendiri.