"Hidup aja, ikutin kemana arus bawa lo. Teruskan aja, sampe capek sama semua dan tiba-tiba lo bangun dirumah mewah. Ucap gue yang waktu itu ga tau kalo gue bakalan bener-bener bangun dirumah mewah yang ngerubah semua alur hidup gue "- Lilac
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Home
Rumah itu, tempat ternyaman. Rumah itu bisa jadi taman, sekolah, gereja, masjid bahkan tempat-tempat yang bisa membuat kita merasa tenang. Itu untuk orang yang berpikir bahwa ketenangan bahkan tak bisa ia dapat dirumah. Tapi bagi sebagian orang, rumah tetaplah rumah. Rumah tempat tinggal, dimana semua orang yang kalian sayang ada didalamnya. Saling menceritakan keseharian dan berbagi kisah setelah melewati hari yang panjang.
Namun, ada orang yang bahkan untuk mendapat ketenangan dalam rumah, ia harus menangis sendiri. Menguatkan dirinya sendiri dalama diam dan hanya bisa menganggukkan kepala saat semua nya meminta hal yang tak masuk akal. Semua orang bisa kuat, semua orang bisa bahagia, semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka mau tanpa harus berusaha sekeras dirinya.
Joseph memandang halaman luas rumah mendiang sang kakek dari lantai dua. Dulu, disana, Joseph akan bermain dengan mainan robot yang selalu Jeolion belikan setiap kali ia pulang bekerja. Katanya sebagai hadiah karna sudah menjadi anak baik. Dipinggir halaman, dibawah pohon dekat ayunan sang bunda akan duduk sambil mengupas buah untuknya. Rasanya sebahagia itu dulu. Rasanya ia merasa menjadi anak paling bahagia saat itu. Ayah dan ibu yang selalu ada untuknya, mendukungnya, memastikan ia belajar dan hidup dengan baik.
Saat itu bahkan tak ada dalam bayangan-nya jika sang bunda akan pergi setelah melahirkan Johan. Saat semua orang terlihat begitu senang dan sedih diwaktu yang bersamaan, Joseph, yang duduk dipinggir halaman tempat sang bunda dulu duduk malah berpikir bagaimana hidupnya setelah ini. Apakah ia bisa mendapatkan dukungan yang sama saat sang bunda masih ada. Dan jawabannya adalah tidak. Perlahan, semua tekanan itu datang dari segala arah. Ayahnya, kakek dari ayah, bahkan juga sanak saudara. Mereka ingin Joseph menjadi kebanggan untuk semua orang.
Rasa sendiri itu datang. Mengurungnya untuk terus menuruti semua apa yang orang lain katakan. Dan itulah kenyataannya. Itu lah yang pernah ia alami sebelum. Anak pertama, laki-laki, itukah yang membuat dia harus menahan semuanya sendiri? Padahal saat itupun Joseph masih bingung dengan dirinya sendiri. Namun dengan tekanan dari semua orang, ia bahkan selalu dituntut sempurna.
"Nanti kamu harus bisa lebih dari paman-paman mu yang lain. Liat kakak sepupu kamu yang udah kaya sekarang. Bisa beli apa aja pake uang dia sendiri."
"Belajar yang bener. Biar dapet pangkat yang tinggi."
Kalimat-kalimat itu berputar bagai kaset rusak dikepala Joseph. Semuanya seakan tak akan membiarkannya hidup sebagaimana manusia lain menikmatinya. Bahkan setelah beranjak dewasa sekalipun.
Cklek...
Pintu kamar terbuka dan menampilkan Johan yang datang dengan seplastik makanan ringan ditangannya. Joseph menatap sang adik yang kini tertunduk. Namun bukannya masuk, Johan malah tetap berdiri didepan sana dengan pintu yang masih terbuka.
"Duduk."
Joseph duduk dipinggir kasur dan menepuk ruang kosong dipinggirnya agar diisi sang adik. Dan dengan begitu, Johan berjalan mendekat kearah Joseph dan duduk disampingnya. Kini kedua kakak beradik itu duduk berhadapan dengan sekantong jajanan yang Johan bawa dari luar tadi. Terima kadi pada saran dari Raja dan Rama yang menyuruhnya membawa makanan agar mereka bisa makan bersama.
Suasana kamar yang hanya diisi deru mesin AC membuat keadaan semakin canggung. Johan dengan diam-diam melirik kearah sang kakak yang kini menatapnya.
"Kamu bisa abis sebanyak ini? Sendirian?"
Joseph membuka sebungkus kripik kentang yang dibeli sang adik, lalu menaruhnya diantara mereka.
"Nggak sih. Tapi kan sekarang ada lo. Bantu gue abisin lah." Joseph tertawa pelan mendengar jawaban ketus sang adik. Adiknya yang memang sudah sembrono itu semakin julid setelah bergaul dengan Raja.
"Kenapa ngga dimakan bareng Raja sama Rama aja? Kan kamu barusan keluar sama mereka? Kamu udah makan kan?"
"Lo masih cerewet aja buset. Udah tadi udah makan. Bareng mereka berdua juga kok."
Joseph kembali membuka eskrim yang dibeli Johan. Dalam hati berpikir kenapa anak itu membeli banyak sekali makanan padahal hanya untuk mereka berdua. Namun tiba-tiba, Johan menatapa jendela yang belum tertutup dan masih menampilkan keadaan diluar rumah.
"Abang...selama ini kalo sedih cerita kesiapa?" Cicit Johan dengan suara kecil.
"Kenapa tanya gitu? Kamu mau cerita sesuatu?"
Johan alihkan pandangannya pada yang lebih tua. Bisa ia lihat jika sang kakak masih begitu menyukai makan manis dingin bernama eskrim itu. Padahal sebentar lagi ia akan resmi menjadi letnan. Jangan tanya betapa bangga nya Johan dengan hal itu.
"Lo ngga mau cerita ke gue? Lo, lo ngerasa kalo gue ngga bisa jaga rahasia lo?"
"Kenapa mikir gitu?"
"Lo tau ngga sih? Kita makin jauh dan cuma disini gue ngerasa kalo lo bisa digapai. Lo marah ya sama gue?"
"Mau denger abang cerita ngga?"
Begitu menghabiskan eskrimnya, Johan mengajak Josep untuk berabring diatas kasur. Kini, kedua kakak beradik itu malah tidur terlentang dengan pandangan mengarah ka langit-langit kamar. Joseph menjadikan lengannya sebagai bantal, sedangkan Johan memeluk bantal dengan erat didepan dada.
"Tau ngga, kalo dulu tuh abang seneng banget kamu lahir. Abang seneng banget liat kamu tidur disamping abang pas ayah pindahin kamu ke kamar abang. Ayah ngga bilang apa-apa, cuma beliau biarin kamu tidur sama abang tiap malem. Waktu itu, abang ngga tau dan ngga ngerti kalo ternyata ayah ngelakuin itu biar kita berdua sama-sama ngga ngerasa kesepian. Ayah sering masih sering kerja dirumah walau udah seharian dikantor.
Johan. Semua yang abang alami selama ini ngga bisa abang ceritain ke kamu. Bukan karna ngga mau, tapi karna abang ngerasa udah cape. Abang udah cape buat ngejelasin ke paman, ayah dan kakek kalo abang juga takut. Abang takut ngga bisa jadi kayak yang mereka ingin walau abang udah berusaha. Abang juga ngga mau kamu kepikiran sama abang. Jadi..."
Joseph tolehkan kepalanya kearah Johan yang ternyata sudah meneteskan air matanya. Jiwa anak bungsu dalam dirinya membuat Joseph tertawa.
"Jangan berpikir abang ngga sayang sama Johan ya? Abang selalu disini kok. Maaf ya kalo abang jarang cerita dan bikin kamu kepikiran. Mulai sekarang, abang bakal ceritain semua yang abang rasain dan kamu juga harus begitu.'' Johan balik menatap Joseph yang senyumnya masih sama. Sama lembutnya seperti saat mereka kecil dulu.
"Abang sama gue sayang ya? Hiks..."
Joseph tertawa mendengar ucapan sang adik yang terdengar aneh. Namun karna malu, Johan malah memeluk Joseph dengan erat. Membenamkan wajanya dan lanjut menangis. Jujur saja, wangi tubuh Joseph membuatnya nyaman.
"Abang janji mulai sekarang kalo ada apa-apa cerita ke Johan kok. Johan juga gitu ya?"
"Ih abang jangan soft spoken gitu dong! Adek nanti ngga rela kalo abang nikah ama kak Lilac kalo gini."
Joseph tertawa keras. Lupakan tentang makanan mereka yang masih tersisa banyak. Kini biarkan keduanya menikmati waktu sebagai adik kakak pada umumnya setelah bertahun-tahun social distancing.