Istri yang tak dihargai adalah sebuah kisah dari seorang wanita yang menikah dengan seorang duda beranak tiga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sulastri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas kesabaran
Kesabaran Hesty benar-benar di ujung tanduk. Setiap hari, dia merasakan bahwa dirinya semakin tak berarti di mata Dody. Sejak mereka kembali ke kota, Dody jarang berbicara dengan Hesty, bahkan hanya untuk menanyakan kabar atau membicarakan masalah rumah tangga.
Hesty sering duduk sendirian di sudut kamar, memandangi foto pernikahan mereka yang dulu begitu penuh harapan. Sekarang, semua terasa hampa. "Apakah aku hanya pelengkap dalam hidupnya?" pikir Hesty, matanya berkaca-kaca. Dia berjuang sendirian, merawat anak mereka, memastikan ada makanan di meja, meski dengan sangat terbatas. Sementara Dody seakan hidup dalam dunianya sendiri, seolah-olah Hesty dan anaknya tidak ada.
Malam itu, ketika Dody pulang larut malam lagi, Hesty memberanikan diri untuk berbicara.
"Apa kamu benar-benar butuh aku di sini, Dody?" tanya Hesty pelan, namun suaranya penuh dengan beban yang telah lama dia pendam.
Dody hanya menatap Hesty sebentar, lalu mengalihkan pandangannya, seolah pertanyaan itu tidak penting. Tanpa berkata apapun, Dody melepas jaketnya dan berjalan ke kamar tidur.
Hesty menghela napas panjang, hatinya semakin patah. "Aku nggak kuat lagi hidup seperti ini," gumamnya, air mata mulai mengalir di pipinya. Hesty tahu, jika terus seperti ini, bukan hanya hatinya yang hancur, tapi juga masa depan anak mereka.
Perasaan tidak dihargai sebagai istri, ditambah dengan beban ekonomi yang semakin berat, membuat Hesty berpikir ulang tentang hidupnya bersama Dody. "Haruskah aku pergi?" pertanyaan itu terus menghantuinya, tapi ia masih belum menemukan jawabannya.
Hesty duduk di meja dapur, menunggu Dody yang baru saja masuk ke kamar. Dia merasa semua ini tidak bisa dibiarkan lagi. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk masuk ke kamar dan menghadapi Dody sekali lagi.
"Dody, aku nggak bisa terus begini," kata Hesty dengan suara bergetar.
Dody yang sedang duduk di tepi tempat tidur, menatap Hesty dengan tatapan dingin. "Apa lagi sekarang?" jawabnya malas.
"Apa lagi? Kamu nanya apa lagi? Kita udah nggak pernah ngobrol, nggak pernah saling bantu. Kamu kayak hidup sendiri, dan aku harus ngurusin semuanya sendiri, termasuk anak kita. Kamu bahkan nggak peduli!" Hesty mencoba menahan tangisnya.
Dody menghela napas berat. "Aku capek, Hesty. Aku kerja, aku juga punya masalah sendiri. Ngapain sih selalu harus ribut kayak gini?"
"Capek? Kamu capek? Aku juga capek, Dody! Capek nunggu kamu berubah, capek nunggu kamu buat peduli sama keluarga kita. Kamu pikir aku nggak punya masalah? Aku jualan keliling, ngurus anak, dan aku bahkan nggak tahu gimana buat makan besok!" Hesty mulai meninggikan suaranya.
Dody hanya diam, menunduk, seakan tidak mau mendengar apa yang dikatakan Hesty.
"Kenapa, Dody? Kenapa kamu nggak pernah terbuka sama aku? Kenapa kamu nggak pernah cerita soal keuangan kita? Aku selalu merasa ada yang kamu sembunyikan." Hesty mencoba mencari jawaban, walaupun dalam hatinya ia sudah lelah.
Dody berdiri, mendekati jendela, tidak menatap Hesty. "Aku udah bilang, aku punya masalah sendiri. Udahlah, jangan nambah beban."
"Beban? Aku ini istri kamu, Dody! Kita seharusnya berbagi semua, baik itu kebahagiaan atau masalah. Tapi kamu selalu menutup diri. Sampai kapan aku harus begini?"
Dody tetap tidak menjawab. Keheningan itu semakin membuat hati Hesty hancur.
"Kamu nggak sayang sama aku, Dody? Nggak sayang sama anak kita?" tanya Hesty dengan nada yang lebih pelan, lebih lembut, tapi penuh kesedihan.
Dody akhirnya menatap Hesty, tapi tanpa emosi. "Aku cuma butuh waktu. Semua akan baik-baik aja," katanya singkat, lalu berbaring di tempat tidur, memunggungi Hesty.
Hesty terdiam, berdiri di sudut kamar. Dia tahu, jawaban Dody itu tidak pernah cukup. Itu hanyalah cara Dody untuk menghindari masalah yang sebenarnya. Hesty merasa semakin jauh dari Dody, semakin terasing di rumahnya sendiri.
Dengan hati yang berat, Hesty keluar dari kamar, meninggalkan Dody yang sudah tertidur.
Hesty duduk terdiam di sudut kamar, merasa tertekan oleh beban yang ia hadapi. Pikirannya berputar, memikirkan semua masalah yang terus menghimpitnya. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang tidak sesuai harapan, di mana Dody semakin lama semakin menjauh dan tidak peduli.
“Hidup ini tidak pernah mudah,” Hesty merenung. “Kenapa aku harus menghadapi semua ini sendiri?”
Namun, saat pikirannya semakin gelap, wajah anaknya yang masih kecil melintas dalam benaknya. Ia sadar bahwa ada satu hal yang selalu membuatnya bertahan, anaknya yang selalu membutuhkan kasih sayang dan perlindungannya.
“Tidak, aku harus kuat. Anak ini butuh aku,” pikir Hesty dalam hati, mencoba mencari kekuatan di tengah semua kesulitan yang ia hadapi.
Meskipun terasa berat, Hesty menyadari bahwa hidupnya masih berharga, terutama bagi anaknya. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri dan bangkit perlahan dari tempat duduknya. Ia tahu bahwa dia tidak bisa menyerah pada keadaan. Masih ada harapan, walaupun kecil, dan Hesty bertekad untuk terus melangkah, walaupun pelan.
Hesty tahu, meskipun perjalanan ini tidak mudah, ia akan berjuang. Untuk dirinya, dan lebih penting lagi, untuk anaknya.
Setelah berusaha menenangkan diri, Hesty memutuskan untuk berbicara dengan Dody. Meskipun sudah sering mencoba, kali ini ia merasa harus lebih tegas tentang perasaannya. Saat Dody pulang dan duduk di ruang tamu, Hesty mendekat dan mulai berbicara.
"Kenapa kamu begini, Dody? Apa aku dan anak ini nggak berarti buat kamu?" suara Hesty terdengar gemetar.
Dody hanya menatapnya sebentar lalu mengalihkan pandangannya tanpa menjawab.
"Aku sudah bertahan selama ini. Tapi aku nggak bisa terus begini. Kamu jarang ada di rumah, nggak pernah peduli sama aku, sama anakmu. Aku butuh kamu, kita butuh kamu," Hesty melanjutkan, air mata mulai mengalir di pipinya.
Dody menghela napas panjang, namun tetap tidak menjawab.
"Aku nggak tahu lagi harus gimana. Aku udah capek, Dod. Aku yang harus kerja, aku yang urus semuanya, sementara kamu malah nggak pernah mau terbuka soal keuangan, soal apa pun," Hesty mencoba menahan emosinya.
Dody akhirnya membuka mulut, "Aku nggak tahu harus jawab apa, Hesty. Kamu terlalu banyak nuntut."
Hesty terdiam, merasakan sakit di hatinya. “Ini bukan soal nuntut, Dody. Ini soal kita, soal keluarga ini. Kamu nggak pernah mikirin kita.”
Dody berdiri dan berjalan ke kamar, seolah menghindari percakapan yang lebih dalam. Hesty merasa hancur, tapi dalam hatinya ia tahu, ia harus kuat. Ia harus tetap tegar, terutama demi anaknya. Meskipun ia tidak mendapatkan dukungan dari suaminya, Hesty tahu ia harus mengambil keputusan yang terbaik untuk masa depan mereka.
Dengan suara yang lebih tegas, Hesty berkata kepada dirinya sendiri, "Aku harus lanjut. Entah bagaimana caranya, aku akan menemukan jalan keluar."