Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 TERJADI LAGI
Vania yang mulai tumbuh besar langsung berlari pergi saat mendengar ucapan Temmy. Ia menangis tersedu-sedu di dalam kamar sendirian. Bahkan saat Sissy lahir, ia sama sekali tak dipedulikan. Perhatian tertuju pada Sissy semua.
"Vania, maafkan Ibu. Ibu belum sempat memasak hari ini. Kamu beli saja ya makanan di warung depan, ini uangnya." Hanya Amira yang sesekali memperhatikannya.
"Vania, ayo makan."
"Vania, sudah siang. Kamu nanti terlambat ke sekolah."
"Vania, ibu belikan baju untukmu. Motifnya sama dengan milik adikmu."
Perhatian yang Amira berikan padanya tak berubah. Ia masih merasa disayangi dan dicintai. Tapi ia tetap merasa cemburu saat Amira dan Temmy begitu gemas menciumi Sissy setiap hari.
FLASHBACK OFF
Suara angin malam berbisik rindu. Rindu kepada sang pemilik hati. Desus angin yang menerpa rambut indah milik seorang perempuan, membuat seorang pria yang berdiri dekat jendela seketika menajamkan penglihatannya. Kagum, mungkin itu kata yang pas menggambarkan suasana hatinya.
"Vania, kenapa di luar terus? Ayo bantu Ibu di dalam." Mira menepuk pundaknya pelan saat melihat putrinya sendirian di teras. Ia mengajaknya masuk sembari memeluk pinggangnya lembut.
Saat Vania sudah lenyap dari pandangannya, David lekas keluar kamar dan semua penghuni rumah sudah duduk di ruang makan.
"Duduk, David. Ibu masak beberapa makanan kesukaan kamu. Ibu tadi tanya-tanya sedikit pada Rissa," ujar Mira dengan lembut. Ia memandangi Amira cukup lama sembari menyibukkan diri mengambil lauk pauk. Dan ia menyadari ada beberapa keanehan.
"Kenapa jika dilihat-lihat ibu Amira dengan Vania tidak ada mirip-miripnya ya? Berbeda dengan Sissy. Dan ayah malah jauh berbeda dari keduanya." Ia bergantian memandangi ketiga anggota keluarga tersebut.
"Vania, kenapa makannya sedikit banget. Masakan Ibu gak enak? Apa lagi gak enak badan?" Mira sedikit menyentuh keningnya tapi malah Vania menghindar membuat raut wajah Mira berubah kecewa.
"Enak, Bu. Vania lagi gak nafsu makan aja, Bu," jawabnya dan merapikan sedikit rambutnya ke belakang telinga.
"Ambil lagi nasinya, Nak. Ibu sudah masak banyak, kasihan sampai kelelahan," ucap Temmy tanpa melihat sedikit pun ke arahnya. Karna tak ada pergerakan sedikitpun dari Vania, Temmy langsung memberhentikan suapannya. "Vania—"
"Gak, Yah. Vania sudah kenyang." Vania langsung berdiri dan berjalan menuju kamar.
Temmy marah dan ingin menyusulnya tapi Mira memegangi tangannya dan langsung memasang wajah memelas sembari menggelengkan kepalanya.
"Kamu terlalu memanjakan anak itu, Mira. Jadi—"
"Vania memang lagi gak nafsu makan, Yah. Tadi juga di kantor gak mau makan," bela David kemudian dan pamit untuk menyusul istrinya.
Saat masuk ke dalam kamar, ia melihat istrinya sedang duduk di tepi ranjang. Raut wajahnya terpancar kesedihan. Ia tidak tahu, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada hatinya.
David tiba-tiba berjongkok di hadapannya dan mengecek beberapa luka di tubuhnya yang baru saja lepas perban. "Sudah membaik lukanya. Sudah kering."
Keduanya saling menatap dan Vania merasa tak kuat dengan tatapan sang suami lalu memalingkan wajahnya ke sembarang arah.
"Kamu mau langsung tidur? Tapi sebelum tidur kamu minum obat dulu." Suaminya itu mengambilkan obat di dalam laci dan memberikannya. Memang sudah beberapa hari ini, David begitu baik terhadapnya. Entah karna memang dia sedang sakit atau memang itu perlakuan tulusnya.
"Kamu gak tanya soal tadi?" Ia pikir suaminya datang untuk menanyai hal itu. Tapi yang dibahas malah lukanya.
"Soal kamu gak mau makan banyak? Atau soal penolakan kamu atas permintaan ayah?" tanya David.
"Semuanya. Semuanya. Kenapa kamu gak tanya? Apa kamu gak penasaran?"
David tersenyum, pria itu tersenyum lebar. Pesona ketampanannya berkali-kali lipat lebih mempesona. Ini pertama kalinya David tersenyum sembari menatapnya.
"Ya sudah, kamu cerita lah." Pria itu duduk disebelahnya hingga paha mereka saling menempel satu sama lain. Benar-benar dekat tanpa ada jarak. Vania menatap suaminya dengan keanehan. Ini benar-benar aneh.
"Dia kenapa? Kenapa bisa bicara selembut dan semanis ini? Dan dia mau mendengarkan ceritaku?"
"Malah bengong. Ayo cerita. Kamu ada masalah dengan ibu?"
Hening. Beberapa saat hening dan Vania menghela napasnya sesaat.
"Apa aku ceritakan saja soal aku yang bukan anak kandung ayah dan ibu? Ah, tidak tidak. Tidak mau. Aku malu, aku takut kalau tiba-tiba Mas David berubah karna melihat aku seperti wanita yang tak punya keluarga. Asal-usulku gak jelas, gak punya keluarga. Tak tahu ada dimana keluarga kandungku. Aku malu, aku malu."
"Hey, kok bengong lagi." David menggoyangkan lengan istrinya hingga Vania menatapnya dengan dalam.
"Aku gak ada masalah apa pun dengan ibu. Aku lagi gak mood aja. Dan ayah sudah seperti itu dari dulu. Ayah sangat keras. Aku sudah terbiasa," jawabnya.
"Ya sudah, nanti kalau ada apa-apa ngomong ya sama aku." Tiba-tiba tangan kekarnya mengelus puncak kepala istrinya dengan lembut. Perlakuannya barusan bahkan seperti menyadarkan dirinya seketika.
"David. Hey, David. Apa yang kamu lakukan!" Serasa ingin menampar pipinya sendiri tapi ia malu. Ia langsung menurunkan tangannya dan mengalihkan pandangan ke lainnya.
"Hm, iya," jawabnya dengan suara lirih. Wanita itu pun cukup terkejut dengan perlakuan suaminya barusan tapi ia merasa bahagia. Setidaknya mereka bisa saling bicara layaknya orang normal di luar sana. David tak begitu dingin seperti saat dulu.
"Tidur lah. Sudah malam."
Vania mengangguk dan bergegas ganti baju tidur. Ia mencari baju tidur miliknya tapi entah ada dimana, di lemari hanya ada baju tidur miliknya yang lama.
"Dimana? Apa ibu menyimpannya di tempat lain?" Dia ingin keluar dan menanyakan pada ibunya tapi setelah melihat jam dinding sudah menunjukkan angka sembilan malam, akhirnya ia urungkan.
Dengan terpaksa ia mengambil baju tidur lamanya yang sudah kekecilan. Walaupun tubuhnya mungil, tapi baju lama itu sangat ketat.
"*Tidak apa lah, hanya dipakai tidur semalam*."
***
Suara hair dryer terdengar bising di telinga. Ia melihat wajahnya sendiri di cermin miliknya. Sesekali ia merasa malu untuk sekedar menatap kedua bola matanya sendiri.
"Ah, kenapa tadi malam seperti itu lagi," gerutunya. Entah apa yang mendorong hasrat mereka berdua untuk menghabiskan malam yang panas lagi.
"Ha-handukku basah. Jatuh. Jadi, aku pakai handuk mu," ujarnya terbata memberitahu istrinya karna tiba-tiba dirinya itu keluar dari kamar mandi menggunakan handuk warna merah muda milik istrinya.
"Hm, Vania," panggilnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kenapa, Mas?" Ia meletakkan hair dryer dan memandangi suaminya menunggu perkataan yang keluar dari mulutnya.
"Sepertinya pakaian dalam ku ketinggalan di mobil. Kamu bisa ambilkan?" Mukanya mendadak merah, ia sebenarnya malu harus meminta tolong untuk hal yang sangat memalukan.
"Oh, ya bisa. Ada dimana? Maksudnya ditaruh dimana tepatnya?"
David pun menjelaskan tempat tersimpannya pakaian dalam miliknya. Karna ia kelupaan untuk memasukkannya pada koper saat memilih untuk menginap beberapa hari di sini.
"Milik siapa ini?" Vania terkejut saat melihat ada beberapa pakaian dalam milik perempuan berada dalam satu tempat milik suaminya. "Keterlaluan!!!" Dadanya seketika bergemuruh.