Jeri & Ryuna

Sore ini, Ryuna memikirkan apa yang Jeri katakan mengenai ia yang mungkin harus bicara pada kedua orangtuanya. Gadis itu memikirkannya berkali-kali sampai kepalanya mungkin bisa saja meledak.

Ryuna tak tahu bagaimana mulai berbicara dengan mereka, atau mungkin ia hanya perlu bicara dengan ibunya saja. Tapi Ibunya saat ini sedang tidak ada di rumah. Ryuna sadar bahwa sang ibu sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di luar dan bekerja.

Hal ini membuat gadis itu merasa frustasi. Kalau begini hubungan keluarganya tidak akan pernah baik. Ryuna akui ia cukup senang karena tidak ada pertengkaran malam ini, namun dengan saling berjauhan sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Ia memutuskan menonton lebih dulu lanjutan drakor yang akhir-akhir ini ditontonnya. Waktu rilisnya sudah cukup lama, tapi Ryuna baru tergugah menonton beberapa waktu yang lalu.

Ryuna sedikit berandai jika saja ia seberani tokoh utama perempuan dalam drakor itu. Tapi meski begitu, seberani dan sebar-bar apa pun si tokoh wanita, ia juga punya masalah yang begitu pelik.

Orang-orang kadang hanya tahu dan bisa menilai sisi baik kehidupan seseorang, melihat apa yang ingin mereka lihat, tanpa tahu serumit apa perjuangan dibaliknya dan sekelam apa itu.

Ryuna menyelesaikan satu episode, tersisa dua episode lagi. Gadis itu menatap ponselnya, mungkin ia akan berbicara dengan sang kakak dulu sebelum pada kedua orang tuanya.

***

Malam ini Ryuna melihat ayahnya ada di ruang tengah. Ini mungkin kesempatan yang bisa ia gunakan untuk berbicara padanya. Gadis itu melangkah perlahan.

"Pa?" panggil Ryuna.

Pria yang sedang memainkan smartphone itu menoleh sesaat. "Apa?"

Ryuna duduk di salah satu kursi lain. Ia berdehem kecil, mulai merasa tak nyaman karena sudah lama tak bicara berdua secara serius dengan sang ayah. Ditatapnya pria yang tampak sedang sibuk dengan smartphone itu. Lalu ia berganti menunduk, mulai ragu melanjutkan niatnya.

Bagaimanapun, harus Ryuna akui bahwa ia masih menjadi tanggungan orang tuanya. Karena itu, ia juga ingin mendengar pendapat mereka tentang apa yang sebaiknya ia ambil. Meskipun nanti tetap, Ryuna yang memutuskan.

Gadis itu baru akan membuka mulut, namun papanya lebih dulu membuka suara.

"Papa di sini cuma tinggal beberapa minggu lagi. Setelah itu mungkin akan sulit dapat kesempatan kerja dari rumah atau cuti."

Ryuna menelan kembali kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. Bahkan ketika berbicara, sang ayah tak menatapnya. Ryuna tetap berusaha menenangkan diri. Lalu, teringat akan ucapan sang mama yang menuduh pria itu. Ia tercekat, takut jika nantinya harus menghadapi realita yang lebih menyakitkan.

"Apa ..., apa Papa beneran selingkuh?" pertanyaan itu terucap begitu saja dari bibir Ryuna.

Papanya langsung mengangkat kepala dan menatap gadis itu yang juga menatapnya tepat.

"Kalau Papa selingkuh untuk apa Papa kembali ke sini? Kamu jangan terpengaruh sama ucapan nggak jelas mama kamu. Sudah sana, kalau nggak ada tugas, langsung tidur," kata papa Ryuna, lalu ia berdiri dari duduknya dan mulai melangkah.

"Kenapa kalian selalu bertengkar? Aku bertanya-tanya kapan itu akan selesai. Kenapa terjadi, apa nggak ada hal lain untuk menyelesaikan masalah? Siapa yang salah? Siapa yang harus aku percayai?" Ryuna tak bisa menahan diri lagi.

Papanya juga menghentikan langkah. "Kamu nggak perlu mikirin hal itu."

"Aku maunya gitu. Selama ini papa pikir aku ngapain? Kalian selalu bertengkar, bahkan ketika aku ada. Apa aku nggak lihat? Nggak dengar? Aku menyaksikan semua! Aku selalu nahan diri karena kalian nggak mau aku ikut campur. Tapi sampai kapan? Coba kasih tahu aku apa yang terjadi." Cairan bening mulai meleleh dari mata Ryuna.

Pria itu hanya diam di tempat.

"Apa aku bukan bagian dari keluarga ini sampai se-nggak berhak itu?"

"Ryuna!" sang papa berbalik dan melihat putrinya sudah menangis.

Gadis itu tertawa pelan membuat kondisinya malah terlihat lebih menyedihkan. "Aku nggak tahu harus apa lagi kalau rumah aku kayak gini," katanya lalu berdiri, ia melangkah menuju kamar meninggalkan ayahnya sendiri di sana.