Di SMA Gemilang, geng syantik cemas dengan kedatangan Alya, siswi pindahan dari desa yang cantik alami. Ketakutan akan kehilangan perhatian Andre, kapten tim basket, mereka merancang rencana untuk menjatuhkannya. Alya harus memilih antara Andre, Bimo si pekerja keras, dan teman sekelasnya yang dijodohkan.
Menjadi cewek tegas, bukan berarti mudah menentukan pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Rindu
Bab 30
Waktu hampir senja, dan Alya masih merasa ingin berbicara lebih banyak dengan Bimo, mendengar lebih banyak tentang pengalaman dan kehidupannya selama delapan tahun terakhir. Namun, bunyi notifikasi dari ponselnya mengingatkannya bahwa Faris akan segera menjemputnya sepulang kerja.
Alya membaca pesan dari Faris yang mengatakan bahwa dia akan menjemputnya di depan kafe. Dia menghela napas pelan, merasa waktunya dengan Bimo sangat singkat. “Aku harus pergi sekarang,” kata Alya, menatap Bimo dengan sedikit kekecewaan.
Bimo mengangguk, meskipun jelas dia juga ingin lebih banyak waktu bersama Alya. “Tentu, Alya. Hati-hati di jalan.”
Alya berpaling ke Lita, yang dari tadi sudah ikut mengobrol dan mendengarkan cerita mereka. “Lita, terima kasih sudah mengatur pertemuan ini.”
Lita tersenyum dan mengangguk. “Tidak masalah, Alya. Kita bisa berbincang lagi lain waktu.”
Alya kemudian menatap Bimo sekali lagi, dengan tatapan penuh makna. “Bimo, terima kasih atas waktumu. Aku senang kita bisa bertemu lagi. Tolong jangan antar aku sampai ke depan. Faris belum tahu tentang kamu, dan aku khawatir dia akan salah paham.”
Bimo mengangguk, mengerti sepenuhnya kekhawatiran Alya. “Baiklah, Alya. Aku akan tetap di sini. Meski mungkin suatu saat aku harus kenal dengan suamimu.”
Alya tersenyum, meskipun hatinya berat untuk berpisah lagi dengan Bimo. Dia meraih tasnya dan berjalan keluar dari kafe, tidak menoleh ke belakang, meskipun dia merasakan tatapan Bimo yang mengikutinya sampai ke pintu.
Di luar, Alya melihat mobil Faris sudah terparkir di depan kafe. Dia membuka pintu mobil dan masuk, memberikan ciuman singkat di pipi suaminya. “Maaf menunggu lama, Sayang. Aku bertemu Lita di sini,” katanya dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Faris mengangguk sambil tersenyum, tidak curiga sama sekali. “Tidak masalah. Bagaimana harimu?”
Alya tersenyum, berusaha melupakan perasaannya yang campur aduk. “Baik. Lita dan aku hanya ngobrol sebentar tentang persiapannya yang sebentar lagi menikah.”
Mereka berdua kemudian melaju pulang, dengan Alya yang masih menyimpan rahasia pertemuannya dengan Bimo. Dia tahu bahwa dia harus menjaga kedamaian rumah tangganya dengan Faris, meskipun ada bagian dari hatinya yang masih terikat dengan masa lalu bersama Bimo.
Sementara itu, di dalam kafe, Bimo menatap pintu yang baru saja dilewati Alya. Dia merasakan kekosongan yang mendalam, tetapi juga harapan bahwa mungkin suatu hari mereka bisa berbicara lebih banyak lagi. Untuk saat ini, dia hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana takdir membawa mereka berdua di masa depan.
Lita kembali ke kafe setelah mengantar Alya. Ketika dia duduk kembali di hadapan Bimo, suasana di antara mereka terasa berat. Lita tahu ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan jawaban yang selama ini dia pendam dalam hati.
Setelah meneguk sedikit minumannya, Lita menatap Bimo dengan serius. “Bimo, aku ingin menanyakan sesuatu yang mungkin agak sensitif. Tapi aku merasa ini penting.”
Bimo mengangkat alisnya, penasaran. “Apa itu, Lita?”
Lita menghela napas, merasa sedikit gugup namun tekadnya kuat. “Apakah kamu mencintai Alya?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat Bimo terdiam sejenak. Matanya terlihat ragu, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku... aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Ta. Alya selalu menjadi teman yang sangat berarti bagiku.”
Lita tidak puas dengan jawaban itu. “Bimo, tolong jujur. Dari cara kamu memandangnya tadi, aku bisa melihat ada sesuatu yang lebih. Apakah kamu mencintainya sejak SMA dulu?”
Bimo terdiam lagi, menatap ke arah jendela kafe. Akhirnya, dengan suara yang sedikit bergetar, dia berkata, “Ya, mungkin aku memang mencintainya sejak dulu. Tapi aku tidak pernah berani mengungkapkannya. Alya selalu terlihat bahagia dengan hidupnya, dan aku tidak ingin merusaknya.”
Lita merasakan gelombang emosi yang campur aduk. “Bimo, betapa bodohnya kamu! Kamu benar-benar tidak jujur dengan perasaanmu sendiri. Apa kamu tidak berpikir, mungkin saja Alya juga punya perasaan sepertimu?”
Bimo tersentak, jelas terkejut dengan ledakan emosi Lita. “Lita, aku hanya ingin melihatnya bahagia. Melihatnya bahagia saja sudah cukup bagiku.”
Lita mendengus dengan marah. “Itu omong kosong, Bimo! Kamu hanya pengecut. Kamu tidak pernah memberi kesempatan pada dirimu sendiri atau pada Alya untuk tahu apa yang sebenarnya kalian rasakan. Kamu terlalu takut untuk menghadapi kenyataan!”
Bimo terlihat terluka dengan kata-kata Lita, namun dia tidak bisa membantah. “Lita, aku tahu aku salah, pecundang, naif, tapi pada saat itu aku benar-benar merasa bahwa kebahagiaannya lebih penting daripada perasaanku.”
Lita menggelengkan kepalanya, merasa gemas dengan sikap Bimo yang sok bijak. “Bimo, itu bukan kebijaksanaan, itu pengecut. Kamu menahan rasa sakit mu sendiri hanya karena kamu takut mencoba. Kamu tidak tahu apa yang mungkin terjadi jika kamu berani mengungkapkan perasaanmu.”
Bimo menunduk, merasakan beban perasaan yang selama ini dia pendam. “Lita, ada sisi aku merasa benar-benar menyesal. Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. Alya sudah menikah, dan aku tidak ingin merusak kebahagiaannya.”
Lita menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan emosinya. “Aku mengerti, Bimo. Tapi ingatlah, kadang kita harus menghadapi perasaan kita sendiri untuk benar-benar memahami apa yang kita inginkan. Kamu tidak bisa terus-menerus lari dari kenyataan.”
Bimo hanya bisa mengangguk, merasakan campuran perasaan antara harapan dan kesedihan. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Alya tidak akan pernah mudah untuk diungkapkan, tapi setidaknya sekarang ada seseorang yang tahu tentang beban yang dia rasakan selama ini.
Keduanya kemudian berbicara tentang hal-hal lain, mencoba mengalihkan topik pembicaraan dari perasaan yang berat tersebut. Meskipun pertemuan ini memberikan Lita lebih banyak pemahaman tentang Bimo, dia tahu bahwa jalan ke depan masih penuh dengan tantangan bagi sahabat-sahabatnya ini.
“Jadi, Bimo, kamu berencana tinggal lama di sini atau cuma sebentar?” tanya Lita, langsung ke intinya.
Bimo mengangkat bahu sambil memikirkan jawabannya. “Aku rasa mungkin lama. Aku punya rencana untuk mengembangkan beberapa usaha di sini, dan banyak hal yang bisa aku kerjakan.”
Lita mengangguk, lalu bertanya lagi dengan rasa ingin tahu. “Bagaimana dengan pekerjaanmu yang di luar negeri? Masih bisa diurus dari sini?”
“Ya, aku masih bisa urus semuanya dari sini. Lagipula, aku ingin mulai sesuatu yang baru di Indonesia sesuai dengan bidangku,” jawab Bimo dengan percaya diri.
Tiba-tiba, ponsel Bimo berdering. Ia melihat sejenak, lalu mengangkat telepon dengan nada lembut. “Halo? Oh, iya, aku masih di sini.”
Lita memperhatikan dengan seksama, matanya menilai ekspresi Bimo dan nada suaranya yang lembut. Setelah Bimo menutup telepon, Lita tidak bisa menahan rasa penasarannya.
“Siapa itu? Kamu kedengeran lembut banget pas ngomong,” tanya Lita sambil menatap Bimo dengan penuh minat.
Bimo tersenyum tipis, mencoba terlihat santai. “Oh, itu hanya urusan pribadi. Tidak ada yang terlalu penting.”
Lita mengerutkan kening, masih merasa ada yang kurang jelas. “Tapi kenapa kedengerannya seperti itu? Kamu selalu tertutup Bimo. Padahal aku bukan orang asing buatmu."
Bersambung...