Tidak ada pernikahan yang sulit selama suami berada di pihakmu. Namun, Rheina tidak merasakan kemudahan itu. Adnan yang diperjuangkannya mati-matian agar mendapat restu dari kedua orang tuanya justru menghancurkan semua. Setelah pernikahan sikap Adnan berubah total. Ia bahkan tidak mampu membela Rheina di depan mamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nofi Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Daddy dan Papa
Zahid tampak sangat ceria. Tenda biru yang dia dan Nando pasang tadi pagi berdiri kokoh di tengah lapangan yang hijau. Suasana Dad Camp ini memang hangat, penuh canda dan tawa anak-anak bersama ayah mereka. Nando, yang dulu hanya dipanggil "Om" kini telah mendapatkan tempat istimewa di hati Zahid. Tidak lagi sekadar "Om Nando", tapi sekarang sudah "Daddy". Kesepakatan itu mereka buat sejak dalam perjalanan menuju tempat Dad Camp ini.
"Daddy, kita main panah lagi, yuk!" seru Zahid sambil menarik tangan Nando.
Nando tertawa lembut, "Boleh banget! Kamu suka banget ya main panah?"
Zahid mengangguk dengan semangat. "Iya, Daddy jago mainnya!"
Mendengar kata 'Daddy' keluar dari mulut Zahid, Nando tersenyum. Meski bukan ayah kandung Zahid, dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak itu. Ia tahu, sejak Rheina dan Adnan bercerai, Zahid tidak mendapatkan figur ayah yang ia butuhkan. Maka, saat Rheina memberinya kesempatan untuk menjadi sosok pengganti, Nando tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia mencurahkan perhatian penuh untuk Zahid. Dan kini, dengan sebutan "Daddy" yang Zahid berikan, Nando merasa usahanya terbayar.
Namun, tak jauh dari tenda mereka, Adnan berdiri dengan perasaan yang berkecamuk. Seharusnya dia yang berada di posisi itu. Seharusnya dia yang dipanggil "Daddy". Bukannya Nando. Bukannya lelaki lain yang kini merebut peran itu dari dirinya.
Adnan menatap Zahid yang tertawa riang. Ia terlambat datang ke acara Dad Camp ini, seperti biasa. Masalah pekerjaan, tekanan dari maminya, selalu saja ada alasan yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir untuk Zahid. Dan kali ini, keterlambatannya membuatnya semakin jauh dari anaknya. Ia merasa kehilangan kendali, seperti bagaimana ia kehilangan Rheina dulu.
Rheina... pikir Adnan. Wanita itu. Meski sudah lama berpisah, dia tak bisa sepenuhnya melupakan bagaimana ia terperangkap oleh kehendak maminya. Maminya yang selalu mendikte hidupnya, mulai dari pernikahannya dengan Rheina hingga perceraian mereka. Adnan tahu, ia bukan suami yang sempurna, tetapi separuh dari kehancuran rumah tangga mereka adalah karena sang mami. Dan sekarang, ketika ia mencoba memperbaiki hubungannya dengan Zahid, Nando sudah berada di depan, mengambil posisi yang seharusnya menjadi miliknya.
Adnan mendesah panjang. "Aku harus melakukan sesuatu," gumamnya pelan. Ia tak bisa hanya berdiri diam dan melihat Nando memenangkan hati anaknya.
Dengan langkah perlahan, Adnan mendekati Zahid dan Nando yang sedang bersiap untuk bermain panah lagi.
"Zahid ..." panggil Adnan, suaranya agak ragu. Zahid menoleh, wajahnya berubah. Raut riangnya perlahan memudar saat melihat sosok Adnan.
"Papa?" ujar Zahid, nadanya datar.
Adnan menelan ludah. Ia bisa merasakan jarak di antara mereka, bukan hanya fisik, tapi juga emosional. Zahid sudah lama menjauh darinya, dan kini, dengan hadirnya Nando, jarak itu semakin lebar.
"Papa boleh ikut main?" tanya Adnan dengan senyum yang dipaksakan.
Zahid menggeleng pelan, "Zahid udah janji sama Daddy Nando. Papa, sih, tadi datangnya telat."
Jantung Adnan serasa diremas. Kata 'Daddy' yang Zahid ucapkan, tak bisa diabaikan. Zahid sudah memilih. Dan itu bukan dirinya.
Nando hanya diam, merasa situasi ini terlalu canggung untuk dia komentari. Ia tahu betapa kerasnya Adnan berusaha mendekati Zahid lagi, tetapi ia juga tak ingin mundur. Bukan setelah Zahid memberikan tempat khusus di hatinya untuk Nando.
Adnan terdiam sejenak. "Mungkin nanti kita bisa ngobrol ya, Zahid. Papa ingin lebih dekat sama kamu lagi."
Zahid hanya mengangguk sedikit sebelum kembali ke Nando. Mereka melanjutkan permainan panah, meninggalkan Adnan yang berdiri terpaku. Seiring suara tawa Zahid bersama Nando, hati Adnan semakin berat. Ia sadar, usahanya untuk mendekati kembali Zahid tak akan mudah.
Namun di balik semua itu, masih ada harapan. Meski kecil, Adnan belum menyerah. Masih ada waktu. Setidaknya, begitulah yang ia yakini. Sementara Adnan merenungi semuanya, Nando hanya menatap Zahid dengan senyum penuh kasih. Tanpa kata, tanpa harus menjelaskan lebih jauh, Nando tahu bahwa cintanya telah diterima oleh anak yang ia sayangi seperti darah dagingnya sendiri.
--
Adnan duduk di belakang kemudi mobilnya, tatapannya kosong menembus kaca depan. Hatinya masih dipenuhi kekecewaan setelah bertemu dengan Zahid yang tak kunjung memberinya kesempatan untuk berbicara. Dengan napas berat, ia memutuskan untuk pulang. Namun, di tengah perjalanan, pikiran tentang Rheina kembali menghantuinya.
"Mungkin Rheina bisa bantu. Mungkin dia bisa bicara sama Zahid," gumamnya pelan. Selain itu, di sudut hatinya yang terdalam, Adnan masih menyimpan harapan bisa kembali bersama Rheina.
Dengan semangat baru yang tipis, Adnan memutar mobilnya menuju rumah Rheina. Setelah perjalanan yang terasa lebih lama dari biasanya, ia akhirnya tiba di depan rumah perempuan yang dulu menjadi pusat hidupnya itu. Tapi, pemandangan yang menyambutnya justru menghancurkan sisa-sisa harapan yang tersisa.
Di taman depan rumah, Rheina tampak tertawa lepas bersama Alya, putri Nando. Wajah Rheina terlihat begitu bahagia, tanpa beban, tanpa rasa sedih sedikitpun. Mereka berdua bermain kejar-kejaran sambil tertawa riang. Hatinya seketika mencelos, serasa ada beban besar yang menghantam dadanya. "Apa aku terlambat?" pikirnya getir.
Adnan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang porak poranda. Dengan langkah berat, ia keluar dari mobil. Kakinya rasanya begitu kaku, tapi ia tahu harus bicara dengan Rheina.
"Adnan?" Suara Rheina sedikit terkejut melihat kehadirannya. "Ada apa?"
Adnan tersenyum kaku, mencoba untuk tetap tenang meski hatinya kacau. "Aku mau ngobrol sebentar. Ada yang perlu aku sampaikan," ucapnya pelan. Rheina mengangguk, memberikan isyarat pada Alya untuk bermain di dalam.
Setelah beberapa saat hening, Adnan mulai bicara. "Aku udah coba temui Zahid, tapi ... dia nggak mau dengar aku." Suaranya tercekat. "Aku pikir mungkin kamu bisa bantu. Kamu yang paling dekat sama dia."
Rheina menghela napas panjang. "Adnan, Zahid masih terluka. Tadi ia sangat berharap untuk bisa pergi ke acara sekolahnya bareng kamu, tetapi kamu justru menghancurkan harapannya dengan datang terlambat. Itu nggak mudah untuk dia." Wajah Rheina terlihat serius, dan kata-katanya seperti tamparan keras bagi Adnan.
"Aku tahu aku salah, aku cuma ... aku pengen memperbaiki semuanya. Aku ingin kita bisa seperti dulu," ucap Adnan penuh harap.
Namun, Rheina hanya menggeleng pelan. "Adnan, banyak yang berubah. Kamu juga harus belajar menerima kenyataan kalau nggak semua bisa kembali seperti dulu. Apalagi kamu masih dengan caramu yang sama. Tidak pernah menganggap aku dan Zahid sebagai bagian penting dari hidupmu. Jadi, apa yang kamu coba perbaiki?"
Adnan terdiam. Kata-kata itu menancap dalam di hatinya. Harapannya untuk kembali bersama Rheina semakin memudar. Mungkin, selama ini ia terlalu terjebak dalam impian lamanya tanpa menyadari kalau hidup terus berjalan, bahkan tanpa dirinya.
Rheina menatapnya dengan lembut, seolah ingin menghiburnya, tetapi juga tak ingin memberikan harapan palsu. "Satu lagi yang kamu harus tahu. Selain Zahid, Alya sekarang juga sudah menjadi bagian besar dari hidupku. Dan ... Nando juga," kata Rheina pelan, tetapi sangat jelas.
Kata-kata itu seperti cambukan terakhir bagi Adnan. Ia menelan ludah, mencoba menahan perih di dadanya. "Aku paham," jawabnya dengan suara yang bergetar.
Mereka berdua terdiam cukup lama, hanya ditemani suara angin yang bertiup lembut di antara mereka. Akhirnya, Adnan menghela napas panjang. "Mungkin ini memang waktunya aku pergi," ucapnya lirih.
Rheina hanya menatapnya, tanpa bisa berkata apa-apa. Adnan pun berbalik, melangkah kembali ke mobilnya dengan langkah yang lebih berat daripada sebelumnya. Di belakangnya, Rheina tetap berdiri, menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Ia merasa saat ini ia sudah menentukan pilihan.
Saat Adnan masuk ke dalam mobil dan menutup pintu, ia menatap dirinya sendiri di kaca spion. "Mungkin ... memang sudah terlambat," gumamnya pelan, sebelum akhirnya menghidupkan mesin dan melaju pergi, meninggalkan rumah itu dan mungkin, meninggalkan mimpinya untuk selamanya.
Namun, di dalam hatinya, masih ada secuil harapan yang belum sepenuhnya mati. Harapan kecil bahwa suatu hari, mungkin, semuanya akan berubah.