Season 2 Pengganti Mommy
Pernikahan Vijendra dan Sirta sudah berusia lima tahun lamanya, namun mereka belum dikaruniai momongan. Bukan karena salah satunya ada yang mandul, itu semua karena Sirta belum siap untuk hamil. Sirta ingin bebas dari anak, karena tidak mau tubuhnya rusak ketika ia hamil dan melahirkan.
Vi bertemu Ardini saat kekalutan melanda rumah tangganya. Ardini OB di kantor Vi. Kejadian panas itu bermula saat Vi meminum kopi yang Ardini buatkan hingga akhirnya Vi merenggut kesucian Ardini, dan Ardini hamil anak Vi.
Vi bertanggung jawab dengan menikahi Ardini, namun saat kandungan Ardini besar, Ardini pergi karena sebab tertentu. Lima tahun lamanya, mereka berpisah, dan akhirnya mereka dipertemukan kembali.
“Di mana anakku!”
“Tuan, maaf jangan mengganggu pekerjaanku!”
Akankah Vi bisa bertemu dengan anaknya? Dan, apakah Sirta yang menyebabkan Ardini menghilang tanpa pamit selama itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
Bukan pipi Vi yang Ardini cium, melainkan bibir Vi yang dicium Ardini. Sungguh Ardini pun terkejut sendiri karena kejadian barusan. Ia seperti sudah kecanduan dengan bibir Vi. Vi tersenyum penuh kemenangan, sekarang Ardini malah menampakkan sisi Agresifnya.
“Ada yang sudah kecanduan dengan bibir aku nih?” ledek Vi dengan tersenyum, dan membuat Ardini salah tingkah sendiri.
“Apaan sih, Mas!” ucap Ardini malu.
“Aku senang, kamu sudah mulai agresif. Aku suka itu, lakukanlah setiap hari tanpa aku minta, tapi jangan sekilas saja, aku maunya lama,” ucap Vi.
“Sudah ih jangan begitu. Aku lapar!” ucap Ardini dengan mengusap perutnya.
“Oh ya sampai aku lupa anakku kelaparan juga pastinya. Mari makan.” Vi memberikan piring yang sudah ia isi nasi beserta lauk pauknya. “Mau aku suapi?”
“Boleh aku minta disuapi mas?”
“Tentu ....”
Vi menyuapi Ardini. Entah kenapa Ardini ingin sekali makan dengan disuapi Vi. Padahal ia sudah bersiap untuk makan sendiri, tapi saat Vi menawarkan diri untuk menyuapinya, Ardini langsung mengiyakannya.
“Bagaimana masakan pertamaku? Apa enak?”
“Ini enak, Mas. Kamu baru pertama masak, kok sudah pas gini rasanya?”
“Karena aku memasaknya dengan penuh rasa cinta, dengan sepenuh hati juga, apalagi untuk istri dan calon anakku, aku harus masak yang enak, dan pastinya yang sehat juga, takaran bumbunya harus pas, tanpa Msg juga,” jelas Vi.
“Seperti ahli gizi saja nih mas?”
“Tentu dong, biar istri dan anakku sehat?” ucapnya dengan mengusap kepala Ardini, lalu kembali menyuapinya.
Ardini tidak menyangka seorang Vi yang begitu dingin, kaku, jarang senyum, minim bicara sekarang merasakan perubahan Vi yang sangat besar. Vi jadi seorang yang sangat berbeda dari biasanya.
“Kenapa kamu menatapa aku gitu, Adin?” tanya Vi.
“Ya aneh saja, seorang Vijendra sekarang lebih banyak senyum, lebih banyak bicara juga, tidak seperti pertama kali aku bekerja di kantor mas?” jawab Ardini.
Vi menarik napasnya dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia memutar tubuh Ardini supaya menghadap ke arahnya, lalu ia usap pipi Ardini dengan lembut, dan mendaratkan kecupannya di kening Ardini.
“Itu semua karena kamu, karena kamu yang sudah membuat seorang Vijendra seperti ini. Membuat seorang Vijendra merasakan bahagia karena akan merasakan kehadiran buah hatinya yang sangat lama ia tunggu. Kamu tahu, Adin? Aku begitu menyayangimu, mencintaimu, bukan karena kamu ini sedang hamil anakku, melainkan aku benar-benar merasakan cinta yang tulus bersemi di hatiku, semua itu karena ketulusan dan kebaikan dirimu, Adin. Meski aku telah merusak hidupmu, menghancurkan semuanya, tapi kamu tetap berdiri tegar dan masih mempertahankan anakku, benih yang membuat hidupmu hancur, aku kagum padamu, Adin,” ucap Vi dengan penuh kejujuran.
Vi menggengam tangan Ardini, lalu menciumnya. “Aku benar-benar jatuh hati denganmu, Adin. Mungkin kamu menganggap aku ini laki-laki brengsek yang tega jatuh hati lagi pada perempuan selain istriku, tapi ini benar-benar terjadi pada diriku sekarang, Adin. Aku tidak pernah merasa senyaman ini hidupnya, meskipun dengan hal sesederhana ini, makan berdua di rumah, dengan menu seadanya,” tutur Vi.
Mata Ardini mengembun, ia tidak menyangka Vi mengutarakan hal seperti itu padanya.
Ardini langsung memeluk erat tubuh Vi. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya ingin Vi terus bersamanya, menemaninya meskipun Ardini sadar tidak mungkin Vi memiliki waktu sepenuhnya untuk dirinya karena ada Sirta.
“Terima kasih,” bisik Ardini.
Hanya itu yang hanya bisa Ardini katakan. Ia tidak mau berharap lebih. Dengan Vi bertanggung jawab, menyayangi, dan mencintainya saja sudah cukup untuk Ardini.
Seusai sarapan, Ardini bergegas untuk membereskan meja makan, lalu mencuci gelas dan piring kotor yang baru saja digunakan untuk makan tadi. Namun, buru-buru tangan Vi meraih tangan Ardini, dan mengisyaratkan supaya Ardini duduk saja.
“Biar aku yang bereskan. Kamu duduk, istirahat saja. Jangan capek-capek hari ini, karena aku sudah membuatmu capek semalam,” tutur Vi.
“Tapi ini pekerjaan perempuan, Mas,” ucap Ardini.
“Memasak juga pekerjaan perempuan, dan aku bisa melakukannya, apalagi hanya membereskan semua ini, dan mencuci piring-gelas kotornya? Itu sangat mudah, bukan?” ucap Vi.
Ardini hanya menurut saja, daripada harus berdebat dengan suaminya. Ia biarkan Vi membereskan meja makan, menaruh sisa masakan di dalam lemari makan, lalu mencuci perlengkapan makan yang digunakan tadi.
Selesai itu, Vi mengupaskan buah untuk Ardini, lalu memotong kecil buah-buahannya dan membawanya ke ruang keluarga. “Kita duduk di ruang keluarga saja yuk, sambil makan buah. Kamu harus banyak makan buah dan sayur,” ucap Vi.
“Baiklah,” jawab Ardini.
Ardini berjalan mendahului Vi, karena Vi memintanya untuk berjalan di depannya. Mereka lalu duduk di sofa yang berada di ruang keluarga. Vi menyuapi Ardini lagi, padahal Ardini sudah meminta piring yang berisi buah itu, karena ingin makan sendiri, tapi Vi tidak memperbolehkannya.
Pandangan Ardini menelisik ke setiap sudut ruangan. Lantai sepertinya masih berdebu, Ardini mengangkat tubuhnya, ia ingin menyapu lantai lalu mengepelnya. Belum juga teras rumahnya yang menurutnya masih kotor.
“Mau ke mana?” tanya Vi.
“Mau menyapu, sepertinya lantai berdebu,” jawab Ardini.
“Biar aku saja nanti, kamu habiskan dulu buahnya. Aku minta hari ini kamu jangan ngapa-ngapain, aku gak mau kamu terlalu capek, apalagi semalam aku sudah membuatmu sangat lelah,” ucap Vi.
“Mas ... aku gak apa-apa, aku baik-baik saja, masa kamu nyapu sama ngepel?”
“Lho memang kenapa? Gak ada masalah dan gak ada larangan laki-laki tak boleh menyapu atau ngepel, kan?” ucap Vi.
“Iya sih, tapi gak begitu konsepnya, Mas?”
“Sudah nurut suami saja!” putus Vi dengan tegas. Apa boleh buat, Ardini hanya menurutinya saja.
Setelah menghabiskan buahnya, Vi bergegas untuk memberihkan lantai. Ia ingat kemarin sempat membelikan vacum cleaner untuk Bi Siti supaya mudah membersihkan lantai, tapi Bi Siti lebih suka meyapu, toh rumah Vi tidak terlalu besar katanya.
Vi membersihkan lantai, semuanya Vi bersihkan sampai benar-benar bersih tidak ada debu yang menempel. Hingga Ardini kagum dengan apa yang Vi lakukan hari ini.
“Selesai juga akhirnya!” ucapnya sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa, di dekat Ardini.
“Capek?” tanya Ardini.
“Lumayan,” jawab Vi.
“Sini aku pijitin mas.” Ardini membenarkan duduknya supaya ia mudah untuk memijat kaki Vi.
Saat Vi tengah merasakan pijatan Ardini yang membuat rileks otot-otot kakinya, telefon rumah berdering. Ardini yakin itu dari Bi Siti atau neneknya. Vi bergegas mengangkat telefon itu.
“Ya hallo?”
“Vi lagi sibuk? Email, pesan, dan telefonku kenapa gak di respon sih!”
“Ada apa memangnya, Lex? Ponselku masih mode silent sepertinya, ada apa katakan saja?”
“Sirta ke sini, marah-marah sama aku! Dari semalam dia telefon kamu katanya tapi gak diangkat, terus semalam telefon aku, aku bilang kamu keluar kota, Vi. Aku gak tahu kasih alasan apa. Dia mungkin gak percaya dengan apa yang aku katakan, dia ke kantor, terus marah-marah di kantor. Kenapa keluar kota tanpa aku, dan tidak direspon juga chat dan telefonnya,” lapor Alex.
“Sudah begitu saja? Nanti aku lihat! Kantor aman?”
“Kantor aman, yang gak aman ya Sirta! Lebih baik kamu segera respon deh, atau pulang barang sejenak!”
“Itu aku pikir nanti!”
“Kamu ini jangan-jangan sudah jatuh cinta beneran sama Dini?”
“Ya begitulah, sudah ganggu saja!”
Vi langsung memutus sepihak telefon dari Alex. Ardini dari tadi memerhatikan Vi mengobrol dengan seseorang di balik telefon. Ardini tahu itu Vi. Mungkin memberitahukan kalau Sirta sudah pulang, karena dari tadi Ardini melihat ponsel Vi menyala karena ada panggilan masuk dari Sirta.
“Siapa, Mas?”
“Alex, biasa urusan kantor,” jawab Vi.
“Aku kira Mbak Sirta?”
“Mana tahu dia nomor telefon rumah ini?”
“Ya kali saja tahu, tuh dari tadi Mbak Sirta telefon? Angkat mas, jangan bikin boomerang deh mas, mas angkat bicara baik-baik.”
“Hmm baiklah! Paling juga minta uang!” ucap Vi.
“Mas ... jangan begitu?”
Vi membuang napasnya dengan kasar, kalau saja Ardini tidak menyuruhnya untuk menerima panggilan dari Sirta, Vi tidak akan mengangkat telefon dari Sirta.