Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara takut dan bertahan
Malam itu, aku sedang mengerjakan tugas tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
Salsa
"Kirana! Akhirnya
aku nemuin nomor kamu"
Aku terdiam, membaca pesan itu berulang kali. Kirana. Hanya orang-orang di Jakarta yang memanggilku dengan nama itu. Aku segera membalas.
^^^Anda^^^
^^^"Maaf, ini siapa ya?"^^^
Tak lama kemudian, pesan balasan muncul.
Salsa
"Ini aku, Salsa."
"Kamu udah lupa yah sama aku?"
"aku kangen banget sama kamu."
"Aku udah lama cari nomor kamu, tapi baru dapet sekarang. Kapan kamu balik ke Jakarta?"
Aku menatap layar ponselku, jari-jariku bergerak pelan di atas keyboard virtual. Aku rindu mereka, rindu kehidupan lamaku, tapi aku belum bisa kembali.
^^^Anda^^^
^^^"Aku juga kangen'^^^
^^^"Tapi aku belum bisa ke"^^^
^^^"Jakarta lagi, Sal. Maaf.'^^^
Pesanku terkirim, dan tak lama kemudian muncul tanda Salsa sedang mengetik.
Salsa
"Kirana, kita semua kangen kamu."
"Gayatri, Arum semuanya nunggu kamu balik."
Aku merasa bersalah. Aku ingin kembali, tapi aku tahu itu tidak mungkin.
^^^Anda^^^
^^^"Aku nggak tau, Sal."^^^
^^^"Aku masih harus di sini."^^^
Hening beberapa saat sebelum balasan muncul.
Salsa
"Yah, sedih deh..."
"Tapi nggak apa-apa."
"Kita semua tetap bakal nunggu kamu."
"Janji ya, suatu hari nanti kamu balik."
Aku menatap pesan itu cukup lama sebelum akhirnya membalas,
^^^Anda^^^
^^^"Janji"^^^
...
Keesokan harinya di rumah, suasana sedikit berbeda. Tante ku, Mas Rian dan Mbak Viola sibuk mengemasi barang-barang. Mereka akan kembali ke Jawa Timur karena kondisi kakek sudah membaik.
"Hati-hati di jalan, mas, mbak" ucapku sambil melambaikan tangan.
"Iya, Put. Kamu jaga diri baik-baik ya,"
"Kalau ada apa-apa, jangan ragu buat cerita ke mas sama mbak lewat chat."
Aku mengangguk. Setelah berpamitan dengan semua orang, mereka akhirnya pergi.
...
Aku kembali fokus pada belajarku. Beberapa nilai ujianku turun, dan mamah tidak senang dengan itu.
"Putri, kenapa nilai kamu turun?," katanya sambil menatap kertas ujianku.
"Lebih baik kamu perbaikin nilai kamu, belajar yang bener."
Aku mengangguk. "Iya, Mah, aku bakal usaha."
Namun, ada sesuatu yang membuatku bingung.
"Nilai kamu harus bagus, Putri. Karena nanti nilai kamu harus dilaporin ke seseorang."
Aku mengernyit. "Dilaporin ke siapa, Mah?"
Mamah hanya tersenyum kecil. "Nanti kamu juga tahu. Yang penting, kamu belajar yang rajin. Jangan banyak main."
Aku menatap mamah, masih belum mengerti maksudnya. Ada sesuatu yang sedang dirahasiakan dariku, tapi aku tidak tahu apa itu.
...
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku memejamkan mata, tapi bayangan wajah mereka muncul di kepalaku. Sindiran, tatapan merendahkan, suara tawa yang menusuk telinga-semuanya kembali berputar seperti rekaman rusak yang terus-menerus diputar ulang. Aku mencoba menarik napas dalam, tapi rasanya dadaku semakin sesak.
Aku meraih earphone di samping bantal dan memasangnya. Musik mengalun pelan, mencoba mengalihkan pikiranku. Aku memandang langit-langit kamar, kosong, tanpa ekspresi. Sesekali, aku melirik jam di ponsel. 01:45. Lalu 02:30. Lalu 03:15. Aku masih belum bisa tidur.
Akhirnya, aku menyerah. Aku bangkit dari tempat tidur dan duduk di dekat jendela, menatap langit yang gelap. Aku merasa lelah, tapi pikiranku menolak untuk diam. Aku hanya bisa melamun, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekhawatiran yang tak berujung.
...
Pagi harinya, tubuhku terasa berat. Mataku sembab, kepalaku juga pusing. Tapi lebih dari itu, ada ketakutan yang menghantui. Aku tidak ingin pergi ke sekolah.
"Mah... aku nggak mau sekolah hari ini," suaraku nyaris berbisik.
Mamah menatapku tajam. "Kenapa? Sakit?"
Aku menggeleng pelan, tanganku gemetar. "Aku... aku takut, Mah."
Mamah mengernyit, lalu suaranya meninggi. "Takut kenapa? Kamu ini kenapa sih, Putri? Mau bolos kamu hah!"
Aku ingin berbicara, ingin mengatakan semuanya. Tapi suaraku tercekat. Dia tidak akan percaya kalau aku bilang aku takut karena mereka. Aku juga tidak mau membebani orangtuaku tentang hal ini. Jadi aku memilih diam.
Dengan langkah berat, aku bersiap. Papah mengantarku dengan motor, seperti biasa. Aku berusaha menahan tangis, mencoba menutupi kegelisahan yang menyesakkan dada.
"Kenapa cemberut gitu?" kata papah sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Nggak apa-apa, Pah."
Papah tertawa kecil. "Nanti pulang papah beliin es krim deh,"
Aku mengangguk lemah, "Waah mauu!"
Sepanjang perjalanan, tanganku mencengkeram seragamku erat-erat. Tubuhku masih gemetar.
Begitu sampai di gerbang sekolah, aku turun dari motor dengan kaki yang terasa lemas.
...
Di dalam kelas, semuanya terasa sama. Tatapan dingin, bisikan di belakangku, senyum sinis yang menyakitkan. Aku mencoba menyapa teman-teman yang lain, tapi mereka menjauh. Aku melangkah ke sudut kelas, duduk di pojok belakang. Wilona sudah duduk dengan Suci, tidak ada lagi tempat untukku di sebelah mereka.
Aku menunduk, mencoba menahan air mata. Aku ingin menghilang.
Lonceng istirahat berbunyi. Aku tetap diam di tempat, tidak berniat pergi ke mana-mana. Sampai akhirnya, aku mendengar suara langkah kaki mendekat.
"Alysa! Ayo ke kantin" suara Wilona terdengar ceria.
Aku menatapnya ragu. Suci di sebelahnya juga tersenyum tipis.
"Ayo, dong," bujuk Suci.
Aku mengangguk perlahan. Aku hanya ingin merasa tidak sendirian, meski hanya sebentar.
...
Di kantin, aku berjalan di belakang Wilona dan Suci. Mereka tampak sibuk berbicara satu sama lain, sesekali tertawa tanpa melibatkanku dalam percakapan. Aku mencoba menyela dengan bertanya sesuatu, tapi mereka hanya menjawab singkat lalu kembali mengobrol berdua.
Aku memesan satu gelas teh manis dan duduk di meja bersama mereka. Aku hanya mendengar, tanpa banyak bicara. Suasana mulai terasa semakin canggung.
"Eh, Alysa, bisa beliin aku gorengan nggak? Aku malas antre," kata Wilona tiba-tiba.
Aku terdiam sejenak, menatapnya. "Aku juga belum makan, Wil."
Wilona tertawa kecil. "Ya udah sekalian aja beli buat kita semua, kan kamu juga makan."
Suci ikut menimpali. "Iya, dong. Masa kita yang antre? Kamu kan lebih cepet jalannya."
Aku menggigit bibir, merasa seperti pembantu. Tapi aku tidak ingin memulai konflik. Dengan berat hati, aku bangkit dan berjalan ke arah penjual gorengan.
Saat aku kembali dengan bungkusan gorengan, mereka masih asyik berbicara tanpa menyadari kehadiranku.
"Eh, akhirnya datang juga," ucap Wilona sambil mengambil gorengan tanpa menatapku.
Aku duduk diam, merasa semakin kecil. Aku berharap, setidaknya sekali saja, aku bisa benar-benar merasa menjadi bagian dari mereka. Tapi kenyataannya, aku hanyalah seseorang yang mereka manfaatkan ketika mereka butuh.
Wilona tiba-tiba melirik pakaianku dan terkikik pelan. "Alysa, seragam kamu itu loh... kok culun banget sih?"
Suci ikut tertawa kecil. "Iya, jilbabmu panjang banget, bajunya juga dimasukin gitu. Kayak anak alim banget, haha."
Aku menunduk, merasa tidak nyaman. "Emang kenapa? Gak ada yang salah, aku nyaman pakai ini..."
"Ya ampun, Alysa. Kalau kamu mau tetap sama kita, kamu harus ganti style dong," kata Suci sambil merapikan jilbabku tanpa izin. "Kayak gini misalnya, jangan terlalu panjang, biar lebih modis." Ucap nya sambil mengikat jilbab ku ke belakang.
Wilona menarik sedikit kerah bajuku. "Baju juga jangan dimasukin ke rok, rok kamu juga gede banget. Aku punya rok 1 lagi dirumah, rok span, besok aku bawa, kita tukeran rok. Rok kamu buat aku, rok aku buat kamu."
"Gausah kayak gini, aku gak nyaman. Gak baik kalau seragam diginiin." Ucapku.
"Halah kita bantuin malah komplain. Dah ah terserah kamu mau ikutin cara kita atau enggak, udah bagus-bagus kita rapihin biar gak culun, harus nya kamu tuh terimakasih."
"Aku makasih banget kalian udah baik perhatiin aku, tapi aku lebih milih dikatain culun dengan cara berpakaian aku yang awal yang tertutup daripada kayak gini."
"Ya pokoknya kalau kamu besok kamu ganti semula cara pakaian kamu, kita bakal marah banget sama kamu."
Aku merasa terpojok, tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa diam, membiarkan mereka mengutak-atik penampilanku, meskipun aku tidak nyaman.