Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26. Ekor Belut Jantan
Sentuhan itu bukan lagi sekadar rindu. Nafas Arslan terasa hangat di sisi leher Nayaka, berhembus pelan, membakar udara di antara mereka. Jemarinya masih mengunci pinggang gadis itu erat, seakan dunia luar adalah ancaman yang harus dijauhkan.
Detik-detik itu terasa seperti dunia kehilangan suara. Tapi dada Nayaka riuhnya tak bisa diredam. Jantungnya berkejaran seolah menabrak tulang rusuk, napasnya pendek-pendek, dan langkahnya mulai kehilangan arah.
Ada sesuatu yang tumbuh di udara, tapi bukan angin. Bukan debu. Ini rasa. Rasa yang tak bisa dijelaskan, tapi tubuhnya memeluknya erat seerat tangan Arslan.
Tiba-tiba, sesuatu terasa aneh.
Ada yang menonjol. Tapi jelas bukan kantong. Ada yang hangat. Tapi bukan tangan. Ada yang tegang. Tapi bukan urat.
Nayaka membeku.
Tangannya entah bagaimana bisa di sana terselip begitu saja di sela-sela tubuh calon suaminya. Ia ingin menarik diri, tapi jemarinya lebih dulu menyentuh sesuatu yang membuatnya terpaku. Kenyal. Panjang. Hidup.
Seperti seekor belut yang sedang bangun dari tidur panjangnya.
Napas Nayaka tercekat. Mukanya seketika membara. Tapi anehnya, tak ada jeritan, tak ada dorongan, tak ada kalimat penolakan. Hanya mata yang perlahan menengadah, dan di sana Arslan sedang menatapnya. Dalam. Tenang. Tapi di balik ketenangan itu, gelombang gairah tak bisa benar-benar disembunyikan.
“Maaf,” gumam Arslan. Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia menunduk, tapi bukan untuk mundur. Sebab pelukannya justru menguat. Menahan. Menjaga.
Dan Nayaka masih diam. Tapi bukan karena takut. Bukan pula karena malu. Melainkan karena baru kali ini, tubuhnya bicara lebih dulu sebelum pikirannya menyusul.
Nayaka tak langsung merespons. Ia hanya menyandarkan kepala ke dada Arslan, merasakan ritme napas pria itu yang mulai perlahan. Tapi justru dari kedekatan itu, ia makin sadar kehangatan yang ia rasakan bukan sekadar pelukan.
"Mas..." bisiknya pelan, nyaris tak terdengar, tapi nada suaranya usil.
"Aku ngerasa ada yang keras di bawah sana," lanjutnya sambil menatap ke depan, tidak berani menengok.
"Jangan-jangan mas udah nggak impoten lagi?" ucapnya sambil menahan senyum geli.
Arslan diam. Tak ada jawaban. Tapi wajahnya langsung memerah, meski tetap menjaga nada datarnya.
"Kalau iya, terus kenapa?" sahut Arslan pendek, tapi pandangannya tidak bisa menutupi rasa kikuk yang baru pertama kali muncul di wajah setegas itu.
"Berarti aku bisa daftar jadi orang pertama yang ngetes," celetuk Nayaka sambil mengedipkan mata jahil.
"Leluconmu jelek," sahut Arslan tanpa senyum, tapi pelukannya malah mengerat.
"Aku serius," balas Nayaka, lalu tertawa pelan.
Di tengah ruang kecil itu, tak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Dan tak ada yang perlu dijelaskan, sebab apa yang mereka rasakan malam itu terlalu jujur untuk diingkari, terlalu hangat untuk disangkal.
“Berarti malam pertama kita tetap bisa dilakukan kan, Mas?” tanya Nayaka sambil menunduk, tapi matanya melirik Arslan dengan nakal dari balik bulu mata.
Arslan mendesah pelan, menengokkan wajah tanpa ekspresi ke arah jendela yang sudah buram oleh embun malam. Tangannya masih menggenggam pinggang Nayaka, tapi matanya seolah ingin kabur dari pembicaraan itu.
“Kenapa kamu nanya itu sekarang?” gumamnya datar.
“Aku cuma mau tahu apa aku masih boleh berharap jadi satu-satunya perempuan yang pernah kamu punya,” lirih Nayaka, nada suaranya berubah bukan lagi menggoda tapi serius dan dalam.
Arslan mengerjapkan mata pelan, lalu menatap lurus ke wajah gadis itu. Sekilas, ada gurat rapuh yang nyaris tak kelihatan di wajah dinginnya. Satu sisi dari dirinya yang jarang ia biarkan keluar.
“Kamu bukan cuma boleh berharap,” katanya pelan. “Kamu memang akan jadi satu-satunya.”
Nayaka menelan ludahnya sendiri. Degup jantungnya terasa lebih keras dari suara jam tangan digital yang menempel di pergelangan Arslan.
Dia menarik napas dalam, lalu membaringkan kepalanya di dada lelaki itu. Mendengar detak jantung yang juga tidak tenang-tenang amat.
“Mas takut ya?” tanyanya pelan, seperti anak kecil yang tiba-tiba sadar laki-laki di sampingnya ternyata bukan setangguh kelihatannya.
“Takut mengecewakanmu,” jawab Arslan jujur, tanpa ragu.
Pelan-pelan Nayaka mengangkat wajahnya, tangannya menelusup ke kerah kemeja Arslan yang terbuka satu kancing.
“Aku nggak butuh kamu sempurna di ranjang,” ucapnya pelan, penuh ketulusan.
“Aku cuma butuh kamu yang nggak pergi-pergi.”
Arslan terdiam. Rahangnya mengeras. Tapi tangannya malah bergerak pelan membelai rambut Nayaka.
“Kalau cuma itu syaratnya,” gumam Arslan pelan, “aku nggak akan pernah ninggalin kamu.”
Nayaka tersenyum. Ia mendekat, mencium rahang lelaki itu dengan lembut. Tidak ada nafsu yang meledak-ledak, hanya ketulusan yang hangat dan utuh.
“Mas tahu kan?” katanya lirih.
“Apa?” tanya Arslan.
“Bahwa aku udah milih kamu, bahkan sebelum kamu sempat ngasih alasan buat ditunggu,” jawab Nayaka sambil mengulum senyum.
Arslan memejamkan mata. Pelan-pelan ia menyandarkan keningnya ke pelipis Nayaka. Mobil itu diam. Malam juga diam. Tapi dua hati yang duduk berdampingan di kursi depan tidak diam.
Mereka sedang bicara dalam bahasa yang tak bisa diucapkan yaitu bahasa luka, bahasa penerimaan, bahasa ‘aku tetap tinggal meski kamu rusak’.
“Aku serius,” ulang Nayaka lirih. “Malam pertama kita tetap bisa kok. Caranya bisa kita cari. Rasanya bisa kita pelajari. Tapi yang penting bukan itu yang paling penting kamu ada.”
Arslan menahan napas. Lalu tertawa kecil. Tawa yang asing bahkan buat dirinya sendiri.
“Kenapa?” tanya Nayaka.
“Biasanya kamu yang bar-bar. Sekarang kamu yang bikin aku mewek,” jawab Arslan sambil mengusap pipi Nayaka yang mulai memerah.
“Aku bisa lembut kok kalau mas mau,” celetuk Nayaka sambil mengedip jahil.
“Kamu bisa apa aja memang,” gumam Arslan.
Malam itu, mereka tidak bicara soal ranjang atau rasa sakit lagi. Yang mereka bicarakan hanya tentang pulang. Tentang cinta yang nggak mengandalkan tubuh, tapi hati yang tetap bertahan bahkan saat tubuh tak bisa memberi apa-apa.
“Aku bisa puasin Mas di atas ranjang,” ucap Nayaka percaya diri, nada suaranya setengah menantang, setengah menggoda.
Arslan menoleh cepat, alisnya naik sebelah. “Itu pernyataan atau ancaman?” tanyanya dingin.
“Uji coba aja dulu,” balas Nayaka sambil nyengir, tangannya mulai nakal menelusuri kerah jas Arslan yang setengah terbuka.
Baru saja Arslan hendak menjawab, jendela sebelah kanan mereka diketuk keras dari luar.
Suara logam dari cincin jari yang menghantam kaca membuat keduanya refleks menoleh.
Seorang pria berdiri tegap di luar, berseragam cokelat lengkap dengan topi dan name tag.
Cahaya senter dari tangannya menyorot ke dalam, tepat ke wajah Nayaka yang spontan duduk tegak dan menarik hoodie ke atas kepala. Sementara Arslan, seperti biasa, tetap datar.
“Area dilarang pacaran!” tegur petugas itu tegas, suaranya lantang menembus kaca mobil.
Nayaka menahan tawa. Matanya melirik Arslan yang tetap diam dan tidak menunjukkan reaksi apa pun. Wajahnya tetap dingin, tapi tangan kanannya bergerak menurunkan kaca jendela perlahan.
“Maaf. Kami nggak pacaran,” sahut Arslan pendek, matanya menatap tajam pria itu tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Oh ya? Terus ngapain berdua malam-malam begini di area sepi?” tukas polisi itu lagi, sedikit curiga.
“Kami tunangan. Dan saya baru selesai operasi jantung lima jam,” jawab Arslan kalem. “Kalau Anda butuh surat tugas saya, tinggal bilang.”
Polisi itu terdiam sesaat, terlihat mulai ragu. Sorot lampunya bergeser dari wajah Arslan ke dashboard mobil yang mewah, lalu ke plat nomor yang sudah jelas-jelas bukan milik sembarang orang.
“Maaf... saya cuma patroli. Banyak pasangan muda suka parkir sembarangan dan... ya, Anda tahu maksud saya,” ujarnya sambil mundur sedikit.
“Saya tahu. Dan saya juga tahu Anda sedang bekerja. Jadi tidak masalah,” balas Arslan sambil menaikkan kaca jendela lagi, tanpa emosi.
Begitu mobil kembali sunyi, Nayaka langsung menunduk, mencoba menahan tawa tapi gagal total. Bahunya terguncang kecil.
“Omg, gawat bisa-bisa aku viral jadi cewek yang diusir polisi gara-gara mau godain tunangannya di mobil,” celetuknya geli.
Arslan melirik sekilas, lalu menghela napas pelan. “Lain kali jangan terlalu frontal,” katanya tenang.
“Aku? Frontal? Mas belum lihat versi ekstrimnya,” ucap Nayaka sambil berkedip genit.
“Dan aku nggak perlu lihat,” potong Arslan dingin. Tapi senyum kecil di sudut bibirnya akhirnya muncul, walau hanya sepersekian detik.
Mobil itu tetap diam di tempat, tapi suasananya tak lagi sama. Tegangan tadi mencair. Tawa Nayaka menggantung di udara.
Arslan masih diam, tapi jemarinya menggenggam tangan Nayaka lebih erat. Bukan karena nafsu, tapi karena nyaman. Karena akhirnya, ada satu orang yang bisa bikin dia tenang, bahkan di tengah gangguan paling absurd sekalipun.
Belum sempat mesin dinyalakan, suara nyaring tiba-tiba memecah keheningan. Nada dering khas milik Arslan yang biasanya cuma bergetar kali ini bersuara lantang.
Nama “Audra Elzhar” muncul di layar. Sepupunya. Polisi. Orang yang paling sering mencampuri urusan pribadi Arslan dengan dalih “kewajiban moral sebagai keluarga”.
Tanpa berkata apa-apa, Arslan langsung mengangkat. Suaranya tetap tenang. Dingin. Tegas.
“Ya,” sahut Arslan singkat.
“Ada laporan dari unit patroli barusan. Lokasimu dicurigai jadi titik kumpul muda-mudi nggak jelas. Dan katanya mobil hitam parkir terlalu lama. Jangan bilang itu kamu,” ujar Audra dari seberang, nadanya setengah menggoda.
Arslan mengerucutkan bibir, matanya melirik ke arah Nayaka yang masih berusaha menahan tawa di balik hoodie-nya.
“Lalu kenapa?” balas Arslan datar.
“Kau parkir sama siapa?” tanya Audra lagi, nada suaranya kini terdengar lebih serius.
“Tunanganku,” jawab Arslan pelan, tanpa jeda.
“Oh, Nayaka?” sahut Audra cepat. “Kukira kamu nggak bakal pernah ngenalin perempuan sebagai tunangan. Dunia hampir kiamat?”
“Sudah selesai belum?” potong Arslan, matanya menerawang keluar.
Audra tertawa dari seberang. “Santai. Aku cuma pastikan kamu aman. Dan nggak digerebek sama polisi iseng. Lagian itu anak manis banget. Jangan buat dia nangis,” imbuhnya sebelum menutup telepon.
Arslan mendesah pelan. Ia meletakkan ponsel ke konsol tengah, kemudian bersandar ke jok.
Nayaka mencolek lengannya pelan. “Sepupu kamu kayaknya suka nyindir, ya?” ujarnya sambil nyengir.
“Dia cuma cerewet,” balas Arslan singkat.
“Punya kebiasaan mirip kamu. Tapi bedanya, kamu cerewet dalam hati,” ucap Nayaka sambil mengedip.
Arslan hanya menatapnya, tanpa komentar. Tapi jemarinya bergerak pelan meraih dagu Nayaka, membawanya lebih dekat. Pandangan mereka bertemu. Tak ada suara. Tak ada kata. Tapi banyak yang tersampaikan.
“Aku nggak peduli diganggu polisi, digerebek atau ditelpon sepupumu, Mas,” ujar Nayaka serius. “Asal jangan ganggu perasaan aku ke kamu.”
Arslan menatapnya dalam. “Jangan ganggu perasaanku juga,” katanya pelan. “Aku cuma punya cukup ruang buat satu orang.”
Nayaka diam. Matanya memerah sedikit. Tapi senyumnya tetap sama nakal, manis, dan jujur.
“Yuk, antar aku pulang sebelum aku makin kelewat sayang,” bisiknya pelan.
Arslan mengangguk pelan. Mesin dinyalakan. Mobil melaju perlahan meninggalkan parkiran yang sepi. Tapi ada sesuatu yang tidak lagi sama malam itu.
Bukan hanya status sebagai tunangan. Tapi rasa tenang yang diam-diam bertumbuh di antara dua hati yang biasanya selalu siap bertarung dengan logika masing-masing.
Malam itu mereka tidak bicara banyak. Tapi genggaman tangan mereka cukup menjelaskan bahwa apapun yang datang nanti, mereka siap berdiri berdampingan.