Hafidz tak pernah menyangka jika dirinya ternyata tak terlahir dari rahim ibu yang selama ini mengasuhnya. Dia hanya bayi yang ditemukan di semak dan di selamatkan oleh sepasang suami istri yang dia kira orang tua kandungnya, membuatnya syok dengan kenyataan itu.
Sebenarnya dia tak ingin mengetahui siapa orang tua kandungnya, karena dia merasa sudah bahagia hidup bersama orang tua angkatnya saat ini, tapi desakan sang Ibu membuatnya mencari keberadaan keluarga kandungnya.
Mampukah dia menemukan keluarganya?
Bagaimana saat dia tahu jika ternyata keluarganya adalah orang terkaya di ibu kota? Apakah dia berbangga hati atau justru menghindari keluarga tersebut?
"Perbedaan kita terlalu jauh bagikan langit dan bumi," Muhammad Hafidz.
"Maafin gue, gue sebenarnya juga sakit mengatakan itu. Tapi enggak ada pilihan lain, supaya Lo jauhin gue dan enggak peduli sama gue lagi," Sagita Atmawijaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abil Rahma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
"Maaf, terbawa emosi. Bapak lanjut ceritanya lagi ya." Pak Karno mengusap air mata dengan tisu pemberian sang istri.
"Sebenarnya saat Bu Sinta jatuh, saya merasa ketar-ketir, takut beliau dan anak kembarnya kenapa-napa, tapi saya bersyukur ternyata beliau baik-baik saja. Bisa melahirkan kedua anaknya meski tanpa di dampingi suami. Tapi ternyata kelegaan saya tak berlangsung lama, sebab Bu Sita mengancam akan melaporkan ke polisi jika tidak mau membantunya lagi. Saat itu tentu saja saya takut jika masuk penjara, kasian anak saya yang masih kecil, kedua orang tua saya juga pasti akan sangat kecewa, akhirnya saya setuju dengan permintaannya." Pak Karno menghela nafas panjang.
"Saat kalian lahir, saya di suruh mencari bayi yang sudah meninggal, dan saya mendapatkan bayi itu dari seseorang. Dengan uang tutup mulut, orang itu mau memberikan bayi tersebut, saya tidak mengerti untuk apa bayi itu. Dan saya baru tahu, ketika Bu Sita membawa salah satu bayi yang baru dilahirkan kakaknya, dia menyuruh wanita yang bayinya meninggal itu mengasuh untuk satu hari ke depan, dan wanita itu setuju. Di sini saya masih tidak mengerti, mungkin karena kebodohan saya,
"Saya baru tahu saat dokter mengatakan jika salah satu bayi Bu Sinta meninggal. Dan itu semua skenario yang dimainkan oleh Bu Sita. Membayar dokter yang ternyata sahabatnya sendiri." Pak Karno menggelengkan kepal mengingat kelakuan Sita dulu.
"Maaf Pak, apa bapak tahu siapa dokter tersebut?" tanya Gita antusias, meski hatinya hancur mengetahui kejahatan wanita yang selama ini menjadi Mama sambungnya.
"Soal itu saya kurang tahu Mbak, saya lupa, siapa namanya," jawab Pak Karno jujur.
Gita mengangguk, mungkin nanti bisa ditanyakan sama Mama. Pasti Mama mengetahui dokter yang dulu membantu persalinannya.
"Yaudah lanjut lagi Pak," Gita mempersilakan Pak Karno melanjutkan ceritanya.
"Kejahatan Bu Sita tidak sampai di situ. Karena dia kembali menyuruh saya untuk mengantarnya ke sembarang tempat, ternyata mau membuang bayi yang dia titipkan pada wanita itu. Saya ingat wanita muda itu namanya Asih, tapi wanita itu pergi ke luar negeri kembali setelah putranya meninggal,"
"Bu Sita membuang bayi itu, di semak-semak. Sebenarnya saya tak tega, tapi karena ancaman dia, saya takut, dan akhirnya menurut. Karena rasa bersalah saya terhadap keluarga yang baik itu, akhirnya setelah menerima uang dua ratus juta dari Bu Sita, saya mengundurkan diri, bahkan memutusakan rencana pernikahan saya dengan Atun tanpa sebab yang pasti. Setelah itu tidak tahu apa yang terjadi di sana," akhir cerita Pak Karno.
"Sungguh saya terpaksa, bahkan jika waktu bisa diulang, saya tidak akan pernah menyetujui permintaan Bu Sita. Karena pada akhirnya ibu saya juga meninggal, dan saya sulit mencari pekerjaan kembali," pungkasnya, tak terasa air mata kembali menetes.
Hafidz dan Gita tahu jika Pak Karno sudah benar-benar menyesali perbuatannya. Terlihat dari sorot mata penuh luka dan kesedihan serta penyesalan.
"Apa Bapak tahu alasan kenapa Tante Sita melakukan itu?" tanya Hafidz, cukup penasaran dengan alasan Tante Sita hingga tega membuangnya.
"Maaf Mas, kalau itu saya kurang tahu. Mungkin Bu Sita punya dendam sama Bu Sinta atau ada hal lain saya tidak tahu," jawab Pak Karno.
"Terus kalau tempat tinggal wanita bernama Asih itu dimana ya Pak?" tanya Hafidz lagi.
"Dulu sih di daerah kampung rambutan, tapi saya lupa alamatnya Mas, udah sangat lama sekali, mungkin sekarang juga sudah berubah tidak seperti dulu," jawab Pak Karno yang masih mengingat alamat wanita itu meski hanya nama kampungnya saja.
Hafidz mengangguk mengerti, "Gini Pak, misalnya kami lapor polisi, apa Bapak bersedia menjadi saksi? Bapak tenang aja, Bapak pasti aman, tidak akan dapat hukuman meskipun sama-sama melakukan kejahatan," ucapnya.
Pak Karno mengangguk mantap, "Pasti saya bersedia Mas, di hukum pun saya tidak apa-apa yang terpenting, saya bisa menembus kesalahan saya dulu pada kalian berdua," jawabnya mantap.
"Terimakasih Pak, tapi kami tidak setega itu, Bapak juga korban dari Tante saya. Sekali lagi kami mengucapkan terimakasih karena Bapak sudah bersedia menceritakan kejadian kelam itu," tutur Hafidz.
"Dan maaf mengganggu istirahat Bapak," tambahnya.
Setelah berbincang cukup lama mengenai kesehatan Pak Karno, mereka pun undur diri. Tak lupa meminta nomor Pak Karno, siapa tahu suatu saat di butuhkan. Mereka memutuskan untuk membayar administrasi rumah sakit Pak Karno tanpa sepengetahuannya. Setelah itu mereka pun memutuskan untuk pulang.
"Ndra masih inget jalan ke rumah Pak Karno enggak?" tanya Hafidz ditengah perjalanan.
"Masih, mau ke sana lagi?" jawab dan tanya Indra.
"Iya, kita beli sembako dulu terus diantar ke rumahnya. Tadi kakaknya si Arofah kan udah pulang, jadi ada orang di rumahnya," ucap Hafidz.
Sesuai rencana, mereka membeli beberapa sembako di sebuah toko klontong, lalu membawanya ke rumah Pak Karno. Mereka tidak lama di sana, karena harus segera kembali ke Jakarta.
"Pembicaraan tadi kamu rekam?" tanya Hafidz pada Gita saat gadis itu membuka sebuah rekaman sekilas yang terdengar suara Pak Karno.
"Iya Bang, siapa tahu ini dibutuhkan," jawab Gita.
"Kirim ya, kita simpan sama-sama, kalau punya kamu hilang kan masih ada punyaku," sambung Hafidz.
"Kirim ke aku juga Git," titah Indra dari kursi depan.
"Oke, siap abang-abang ku." Gita pun segera mengirim rekaman tersebut.
"Kita perlu cari si Asih-Asih itu ya, semakin banyak saksi maka semakin mudah Tante Sita dapat hukuman," ucap Hafidz di tengah-tengah keheningan yang melanda.
"Iya bener bang, coba nanti kita cari di sana. Siapa tahu ada yang namanya Asih seperti yang dibicarakan Pak Karno," sahut Gita.
"Tapi menurut gue sebelum kita cari dia, ada hal yang lebih penting. Lo harus tes DNA Fidz, bukan apa-apa, Tante Sinta percaya Lo anaknya, tapi apa yang lain akan percaya gitu aja? Kalau ada surat tertulis mereka pasti akan percaya, bukan?" ucap Indra.
"Apa yang dikatakan Indra ada benarnya Bang," Gita menyetujui usulan Indra.
"Baiklah, kalo udah sampai Jakarta, kita ke Bandung lagi, buat ambil sampel milik Mama." Hafidz tak pernah berfikir ke arah sana, karena menurutnya sudah cukup liontin itu sebagai bukti. Tapi jika dilakukan juga lebih baik, bukan?
"Gue juga mau pulang ke Bandung," timpal Indra.
"Makasih banget ya Ndra, Lo udah bantuin Gue sampai titik ini. Bahkan Lo korbanin liburan demi nolongin kita, gue haru ngapain biar bisa membalas kebaikan Lo ini?" tanya Hafidz, merasa tak enak selalu saja merepotkan Indra.
"Makanya belajar nyetir! Biar pergi sendiri tanpa bantuan orang lain," buka Indra yang berucap siapa lagi jika bukan Gita, yang mendapat kekehan dari Indra dan decakan dari Hafidz.
"Gue mau dia aja. Kamu mau kan jadi pembantuku?" Indra mengacak rambut Gita yang duduk disampingnya, membuat gadis itu cemberut bukan karena rambutnya berantakan, tapi karena ucapan Indra yang menyebalkan menurutnya.
"Wah, boleh banget kalo itu. Ambil aja," sambung Hafidz, bercanda sama halnya dengan Indra yang juga bercanda.
"Abang! Aku laporin Mama nanti." Gita cemberut membuat dua pemuda itu makin terkekeh seakan mendapatkan hiburan dari sikap Gita yang kekanakan itu.
Bersambung....
🍁🍁🍁🍁
Selamat hari raya idul Fitri, minal aidzin wal Faizin, taqobalallahu Minna wa minkum taqobal yakarim, mohon maaf lahir dan batin buat semuanya.
🍁🍁🍁🍁
karena di bab awal seingatku nama sopirnya Tio, dan setelah itu disuruh kerja ke Padang.