NovelToon NovelToon
Dosen Ngilang, Skripsi Terbengkalai

Dosen Ngilang, Skripsi Terbengkalai

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Persahabatan / Slice of Life
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Realita skripsi ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, rasa malas, dan ekspektasi yang semakin hari semakin meragukan. Teman seperjuangan pun tak jauh beda, sama-sama berusaha merangkai kata dengan mata panda karena begadang. Ada kalanya, kita saling curhat tentang dosen yang suka ngilang atau revisi yang rasanya nggak ada habisnya, seolah-olah skripsi ini proyek abadi.
Rasa mager pun semakin menggoda, ibarat bisikan setan yang bilang, "Cuma lima menit lagi rebahan, terus lanjut nulis," tapi nyatanya, lima menit itu berubah jadi lima jam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 25

I tried hard to stop the tears, aku berusaha keras untuk menahan tangis, mencoba menyeka air mata yang mulai membasahi pipi.

But the more I tried, tapi semakin aku mencoba, the more the tears flowed, semakin deras air mata itu mengalir.

I didn't want to cry here, in front of anyone. 

Aku tidak ingin menangis di sini, di depan siapa pun.

Aku ingin terlihat kuat, but in reality, aku merasa rapuh.

And as I was trying to gather the fragments of hope, I felt myself sinking deeper into sadness.

Dan di saat aku tengah berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan harapan itu, aku merasa makin tenggelam dalam kesedihan.

When I looked to the side, ternyata ada seorang ibu petugas kebersihan yang berdiri tidak jauh dariku, memegang sapu.

I was startled and felt embarrassed for crying in front of someone. 

Aku terkejut, merasa malu karena menangis di depan orang lain.

The situation became awkward, suasananya jadi canggung, and I didn't know what to say, aku tidak tahu harus berkata apa.

Maybe ibu itu menyaksikan seluruh momen saat aku keluar dari ruangan dengan tears uncontainable, air mata yang tak bisa ku tahan.

Dalam kepanikan dan ketidaknyamanan itu, I attempted a smile, aku mencoba tersenyum, meski rasanya senyumku begitu dipaksakan.

To my surprise, ibu itu membalas senyumku dengan senyum yang lembut dan penuh kehangatan. Her eyes seemed serene, matanya terlihat teduh, seperti mengerti apa yang sedang aku rasakan tanpa perlu kata-kata.

That smile,  yang seharusnya memberi rasa nyaman, made me want to cry even more, malah membuatku semakin ingin menangis.

Ada sesuatu dalam tatapan ibu itu seolah-olah tanpa bicara, dia berkata, "Aku tahu ini sulit, but you will be okay, tapi kamu akan baik-baik saja."

***

Aku pergi ke fakultas buat menaruh SK pembimbing dan proposal di meja dospem 1. Waktu itu sudah sore, jadi suasananya cukup sepi di gedung fakultas. Setelah menempatkan semua dokumen di tempat yang tepat.

Saat aku baru saja melangkah keluar dari gedung fakultas, aku melihat tiga temanku. Mereka langsung mendekat dengan ekspresi khawatir di wajah mereka.

"Kenapa nangis?" tanya salah satu dari mereka. "Are you okay?" tanya yang lain. "Coba cerita," tambah yang ketiga.

Immediately, I felt my heart start to race, and the tears I had tried to hold back began to flow freely.

Seketika, aku merasa jantungku bergetar lebih cepat, dan air mata yang tadi sudah aku coba tahan kembali mengalir deras.

I couldn't stop crying any longer. Aku tidak bisa menahan tangisku lebih lama.

The tears burst out, tangisan itu pecah begitu saja. My friends, seeing me cry, langsung menampilkan ekspresi campur aduk antara concern and sympathy.

Sementara mereka bertanya-tanya dan trying to comfort me, mencoba menghiburku, I could only cry more, aku hanya bisa semakin mewek.

There was something strange about my reaction when I cried. Ada sesuatu yang aneh dari reaksiku saat nangis.

Teman-temanku tidak bisa menahan tawa mereka, because I looked funny when crying. Tapi meski mereka mencoba membuat suasana lebih ringan dengan tawa mereka, I knew very well that when I cried alone, aku tahu betul bahwa saat aku menangis sendirian, it didn't seem funny at all, itu tidak tampak lucu sama sekali.

Instead, aku jadi terlihat sangat sedih dengan mata yang merah dan kantong mata yang menggelantung. I often looked in the mirror after crying,  aku sering melihat kaca setelah menangis, dan kadang-kadang aku juga foto mukaku.

***

My eyes were still swollen, mataku masih sembap, and my heart felt heavy, dan hatiku terasa berat. Teman-temanku langsung tahu ada yang enggak beres dan started asking why I was crying, mulai bertanya-tanya kenapa aku nangis.

Aku cerita ke mereka tentang apa yang terjadi tadi. Mereka dengar dengan penuh perhatian, dan setelah aku selesai cerita, salah satu temanku langsung bilang, “Beliau harusnya ngomong baik-baik.” Ada nada ketidaksetujuan di suaranya.

“Iya, kalau memang enggak mau ditemui, harusnya bilang. Jangan sengaja enggak balas chat,” ucap temanku yang lain, backing me up.

Aku bisa merasakan mereka mencoba untuk membuatku merasa lebih baik, dan itu sedikit mengurangi rasa sedihku.  But deep down, aku merasa ini juga salahku. ]

Aku yang main datang aja tanpa tahu bagaimana beliau biasanya berinteraksi dengan mahasiswa.

Di tengah-tengah suasana yang mulai membaik itu, tiba-tiba ada temanku yang celetuk, “Jadi karena ini ada mahasiswa yang bunuh diri.” Ucapannya bikin suasana langsung berubah.

My heart,  yang tadinya mulai tenang, seketika kembali diliputi kesedihan. I felt tears welling up, aku bisa merasakan air mata mengalir lagi, dan rasanya campur aduk—antara marah, kecewa, dan sedih.

I couldn’t believe she’d say something like that when I was already feeling so down.

Bisa-bisanya dia ngomong gitu di saat aku lagi sedih.

Temanku yang ngomong itu langsung sadar dia salah ngomong. Dia buru-buru minta maaf, “Eh, maaf, enggak sengaja. Bukan gitu maksudku,” katanya dengan nada penuh penyesalan.

“Iya, enggak apa-apa,” I replied softly.

But inside, aku masih berjuang antara maucry again atau malah ngetawain nasibku sendiri.

It felt so strange—on one hand, I was deeply sad, but on the other, the absurdity of the situation was almost laughable.

Rasanya aneh, di satu sisi aku sedih banget, tapi di sisi lain, situasi ini begitu absurd sampai aku enggak tahu harus merespon gimana.

So, I just sat there, berusaha menahan tangis sambil sedikit bitter smile. Kadang hidup memang suka ngetawain kita dengan cara yang enggak terduga.

***

Iya, at that time, kasus mahasiswa bunuh diri memang lagi ramai dibicarakan, jadi mungkin temanku refleks nyeletuk gitu. Meskipun awalnya aku kaget dan merasa ucapan itu kurang tepat, setelah dipikir-pikir lebih dalam, ternyata ada benarnya juga. T

ekanan dari berbagai arah bisa menjadi salah satu penyebab seseorang merasa terjebak,not knowing what to do, enggak tahu harus berbuat apa, dan akhirnya memilih jalan yang paling tragis.

Aku jadi mikir, bagaimana kalau ada mahasiswa yang menghadapi tekanan berat dari semua sisi—dari akademik, dari keluarga, dari teman-teman—dan dia enggak punya tempat untuk cerita atau bersandar? Rasanya pasti sangat menyiksa.

Sometimes, people might seem fine on the outside, but inside, they could be fighting a tough battle just to stay afloat.

Kadang, orang terlihat baik-baik saja di luar, tapi dalam hatinya mereka mungkin sedang berjuang keras hanya untuk bertahan.

That pressure can come from anywhere, tekanan itu bisa datang dari mana saja. Mungkin dari dosen yang terlalu keras, tugas yang menumpuk, high expectations, ekspektasi yang tinggi, atau bahkan dari perasaan terisolasi karena enggak punya teman dekat.

All of these can slowly eat away at someone’s mental state until they feel there’s no way out.

Semua itu bisa menggerogoti mental seseorang sedikit demi sedikit, sampai akhirnya dia merasa enggak ada jalan keluar.

Aku sadar, ucapan temanku itu mungkin asal nyeletuk, tapi ada pelajaran penting di baliknya. Kita enggak pernah tahu apa yang orang lain sedang alami, dan bagaimana tekanan yang mereka hadapi bisa mempengaruhi keadaan mental mereka.

That’s why sometimes, what seems trivial to us might be incredibly significant to someone else.

Itu sebabnya, kadang yang kita anggap sepele bisa jadi sangat berarti bagi orang lain.

Mungkin karena itulah penting untuk punya support system, orang-orang yang bisa kita ajak bicara tanpa rasa takut dihakimi.

Dan kalau kita merasa sedang tertekan, kita enggak boleh ragu buat cari bantuan, entah itu dari teman, keluarga, atau bahkan profesional.

After all, we don’t have to face everything alone.

Soalnya, kita enggak harus menghadapi semuanya sendirian.

1
anggita
like👍☝tonton iklan. moga lancar berkarya tulis.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!