Awalnya aku percaya kalau cinta akan hadir ketika laki laki dan wanita terbiasa bersama. Namun, itu semua ternyata hanya khayalan yang kubaca dari novel novel romantis yang memenuhi kamar tidurku.
Nyatanya, bertetangga bahkan satu sekolah hingga kuliah, tidak membuatnya merasakan jatuh cinta sedikit saja padaku.
"Aku pergi karena aku yakin sudah ada seseorang untuk menjagamu selamanya," ucap Kimberly.
"Sebaiknya kita berdua tidak perlu bertemu lagi. Aku tidak ingin Viera terluka dan menderita karena melihatmu."
Secara bersamaan, Kimberly harus meninggalkan cinta dan kehilangan persahabatan. Namun, demi kebahagiaan mereka, yang adalah tanpa dirinya, ia akan melakukannya.
"Tak ada yang tersisa bagiku di sini, selamat tinggal."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PimCherry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TRAGEDI
Viera kini sedang menunduk dan menangis di dalam kamarnya. Tentu saja ada William di sebelahnya yang sedang berusaha menenangkannya.
"Kamu menyetujui perjodohan itu?" ucap Viera terbata bata.
"Tentu saja tidak, honey. Mana mungkin aku mengkhianatimu. Kamu tahu kan aku mencintaimu."
"Tapi sekarang apa buktinya? Kamu akan segera bertunangan dan saat kalian lulus, kalian akan menikah. Meninggalkan aku. Mungkin sebaiknya aku menyusul Mama Saja ke kampung halamannya."
Mama Viera memang sudah kembali ke kampung halamannya. Itu semua atas saran dokter yang meminta agar pasien mendapatkan suasana yang tenang dan udara yang bersih. Kebetulan kampung halamannya memang seperti itu dan ia masih memiliki seorang adik di sana yang bisa menjaganya.
"Tidak! Jangan, honey. Dengarkan aku. Aku akan selalu menjadi milikmu, begitu juga dirimu, akan selalu menjadi milikku. Percayalah padaku, aku pasti akan membatalkan perjodohan ini. Hanya saja aku butuh waktu untuk itu."
William menggenggam tangan Viera dan mengelusnya, "Percayalah, hanya kamu yang akan menjadi istriku."
Viera menatap lekat ke dalam mata William. Kemudian William mendekatkan wajahnya ke wajah Viera dan menciumnya dengan lembut. Viera akhirnya terhanyut dan seperti biasanya, pergelutan panas pun terjadi di antara keduanya, di dalam kamar milik Viera.
*****
King mulai merenovasi 2 buah ruko 3 lantai yang akan ia jadikan sebagai kantor miliknya. Ia membuka sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor impor.
"Saya ingin ruangan di sini dibuat agak besar, dan letakkan ruang meeting di sebelahnya," ucap King memberitahu kontraktor yang mengerjakan proyek renovasi tersebut sambil menunjuk pada gambar yang dipegang oleh lelaki paruh baya itu.
"Baik. Lalu, apa ingin ruang meeting tersebut menggunakan kaca?"
"Ya, aku menyetujuinya. Seperti ini kan?" tunjuk King pada salah satu gambar.
"Ya betul."
"Baiklah, sisanya kerjakan sesuai yang tertera pada gambar, hanya lantai 2 ini saja yang aku ingin ada perubahan sedikit," ucap King.
"Oya, jangan lupa untuk lantai 2 ini, setiap ruangannya dibuat kedap suara," lanjut King.
"Siap."
King melihat ke arah jendela, menatap ke bangunan yang berada di seberang jalan, tepat di depan ruko yang akan ia jadikan kantor. Ia tersenyum sendiri, menertawai bahwa hatinya masih belum bisa berpaling.
Ia sengaja membeli ruko persis di depan klinik milik Ben. Saat pulang ke Jakarta, King menyempatkan diri untuk mendatangi klinik milik Ben. Ia hanya berdiri di depan klinik Psikiatri bertuliskan Dokter Frank Benjamin.
Apa yang merasuki hati dan pikirannya hingga ia melakukan itu. Kini ia menatap ke arah klinik milik Ben, berharap ia bisa melihat Hanna di sana. Yaa, hanya bisa melihatnya saja. Tapi, ia melihat pemandangan lain, Ben keluar bersama dengan seorang berpakaian perawat, bahkan mereka terlihat begitu sangat dekat. King bisa melihat bagaimana Ben merangkul pinggang wanita itu.
"Siall!!! apa dia bermain di belakang Hanna?" ucap King kesal. Ia pun mengepalkan tangannya.
King terus memperhatikan Ben yang membukakan pintu untuk wanita itu dan kemudian melajukan mobilnya pergi hingga tidak terlihat.
"Ahh, kenapa aku harus peduli padanya? Mungkin ini adalah karma atas perbuatannya dulu padaku," King akhirnya pergi meninggalkan tempat itu dan melaju menuju kediamannya.
*****
"Dad!! Aku tidak mau!" ucap William meninggi.
"Pertunanganmu tinggal 1 minggu lagi. Cepat kamu temui Kimberly dan ajak dia ke butik kenalan Mommymu."
"Tapi Dad, hari ini aku ada janji."
"Janji janji. Lebih penting mana? calon tunanganmu atau janjimu itu?"
William mendengus kesal. Ia tak menyangka Kimberly menerima lamaran itu.
"Atau dia memang sengaja untuk membuatku kesal?" batin William.
William mengganti pakaiannya, kemudian ia meraih kunci mobil dan dompet, serta ponselnya. Ia berjalan kaki menuju rumah sebelah. Ia tetap harus menjalankan perintah Daddynya atau ia akan menghadapi masalah, yaa .... dicabut dari daftar ahli waris.
"William."
"Om ..., apa Kimberly ada?"
"Ada. Ada apa?"
"Wil mau mengajak Kimberly mencari gaun untuk acara pertunangan minggu depan, Om," ucap William.
"Duduklah dulu, Om panggilkan Kimberly dulu ya."
William menatap ke sekeliling, melihat rumah yang dulu menjadi tempatnya bermain, makan, bahkan menginap. Ia rindu dengan masa masa itu, saat Kimberly menjadi sahabatnya, sahabat rasa saudara.
Tak lama, Kimberly turun. Ia menggunakan baju terusan selutut dan rambut digerai. Ia melihat ke arah William dan tersenyum. Untuk sesaat William terpaku melihatnya. Jujur, ia tak pernah melihat Kimberly dengan pakaian seperti itu. Sudah lama William tak pernah terlalu memperhatikan Kimberly. 3 tahun ini cukup banyak merubahnya menjadi wanita yang cantik dan dewasa.
"Aku sudah siap, Wil. Ayo berangkat!" ajak Kimberly.
Kimberly sudah bersiap saat tadi Alan memanggilnya, tentu saja itu karena Elena, Mommy William, sudah menelepon Kimberly dan menyuruhnya bersiap karena William akan mengajaknya mencari gaun.
"Oh, iya."
Karena rumah mereka bersebelahan, William kembali ke rumahnya dengan cepat dan langsung mengeluarkan mobil miliknya.
Kimberly pun masuk ke kursi sebelah kemudi setelah mobil William berhenti di depan pagar rumahnya.
Di dalam mobil, mereka masih berdiam. William fokus menyetir, sementara Kimberly melihat ke jendela luar. Kimberly melirik ke arah William, sudut matanya masih mengawasi William. Kimberly bisa melihat bahwa William fokus menyetir, tapi seperti jiwanya tak ada di sana. Pandangannya seperti kosong.
Kimberly melihat ke depan, ia langsung berteriak ke arah William.
"Wil, stopp!!!"
Teriakan Kimberly seperti membangunkan William dari tidurnya, ia langsung menginjak rem mobilnya. Untung saja jarak mobil William dengan mobil di belakang cukup jauh, sehingga tidak terjadi tabrakan.
William melihat ke depan, ia baru sadar ternyata di depan sedang ada seorang wanita paruh baya sedang menyeberang bersama seorang anak kecil. William menghela nafasnya dalam, ia menyentuhkan dahinya di kemudi dan memeluknya.
"Kamu tidak apa apa?" tanya Kimberly sambil mengelus punggung William.
William kembali menarik nafasnya dan membuangnya perlahan. Ia menepikan kendaraannya karena klakson dari mobil belakang sudah mulai berbunyi.
"Thanks ya Kim. Kalau tadi kamu tidak meneriakiku, mungkin saat ini aku sudah ..."
"Sudah, tidak usah diingat lagi, yang penting hal itu tidak terjadi," Kimberly menepuk punggung tangan William untuk menenangkannya.
William kembali melajukan kendaraannya menuju butik milik teman dari Mommynya. Sesampai di sana, William meminta Kimberly untuk turun lebih dulu, sementara ia memarkirkan kendaraannya.
Kimberly masuk ke dalam butik,
"Selamat datang, nona. Apa ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang penjaga butik tersebut.
"Aku mencari gaun pesta."
"Ooo, kalau saya boleh tahu detailnya, untuk pesta apa dan acaranya diadakan indoor atau outdoor?"
Baru saja Kimberly ingin menjawab, William masuk dan langsung melihat ke arah penjaga butik tersebut, "Saya mencari Aunty Anne."
"Nyonya ada di atas, tapi sedang ada tamu. Mohon ditunggu sebentar, silakan duduk di sini dulu. Saya akan memberitahukan pada Nyonya. Oiya, kalau saya boleh tahu dengan siapa?"
"William, anak dari Elena Smith."
"Baiklah, sebentar," penjaga tersebut meraih telepon di meja resepsionis miliknya, kemudian menghubungi ruangan Anne, pemilik butik tersebut.
Penjaga itu kembali, "Nyonya Anne meminta anda untuk langsung naik saja ke ruangannya, Tuan."
"Ayo!" ucap William pada Kimberly. Sejak dari tragedi yang hampir saja terjadi, William tidak terlalu kaku lagi padanya, meskipun masih belum ada senyuman yang terukir di wajahnya.
Kimberly dan William naik ke atas, tapi baru saja mereka akan melangkahkan kakinya, mereka dipertemukan dengan seseorang,
"Kamu?!"