Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: Racun di Dalam Madu
Seminggu telah berlalu sejak Arini memberikan proyek Global Textile kepada Maya. Selama itu pula, Arini berperan sebagai istri yang sangat suportif dan bos yang sangat pemurah. Ia sengaja memberikan kelonggaran waktu bagi Maya dan Adrian untuk sering bertemu di luar kantor dengan dalih "koordinasi proyek". Arini ingin mereka merasa berada di atas angin, merasa bahwa rencana mereka untuk perlahan menguasai aset Arini berjalan mulus tanpa hambatan.
Malam ini, Arini mengadakan jamuan makan malam kecil di rumahnya. Ia mengundang beberapa kolega bisnis Adrian dan, tentu saja, Maya. Arini ingin melihat seberapa berani mereka menunjukkan percikan api di bawah hidungnya.
"Adrian, aku sudah memutuskan," ujar Arini di tengah makan malam, suaranya terdengar lembut namun mampu membungkam pembicaraan di meja. "Aku akan menyuntikkan dana pribadi sebesar sepuluh miliar untuk ekspansi perusahaan properti yang sedang kamu bangun itu. Aku melihat progresnya sangat bagus belakangan ini."
Adrian nyaris tersedak anggurnya. Matanya berbinar penuh keserakahan yang sulit ia sembunyikan. "Sepuluh miliar? Kamu serius, Sayang? Tapi bukankah itu dana cadangan untuk koleksi Couture musim depanmu?"
Arini tersenyum, menyentuh punggung tangan Adrian dengan gerakan yang tampak sangat mencintai. "Karierku sudah stabil, Ian. Aku ingin melihat suamiku juga berada di puncak. Lagipula, Maya bilang padaku kalau proyek ini memiliki peluang keuntungan tiga kali lipat dalam enam bulan, bukan begitu, Maya?"
Maya yang duduk di seberang meja mengangguk cepat dengan wajah memerah karena antusias. "Benar, Mbak Arini. Analisis pasarnya sangat menjanjikan. Ini adalah kesempatan langka."
Arini menangkap tatapan sekilas yang penuh kemenangan antara Adrian dan Maya. Mereka pikir mereka baru saja mendapatkan "umpan" gratis. Padahal, sepuluh miliar itu adalah uang yang sudah Arini asuransikan secara khusus, dan perusahaan properti yang mereka kelola sebenarnya sudah dipenuhi oleh "lubang" utang yang Arini ciptakan melalui perusahaan-perusahaan bayangan milik Rendra.
Setelah para tamu pulang, suasana rumah kembali sepi. Adrian memeluk Arini dari belakang saat mereka berada di balkon kamar. "Terima kasih, Arini. Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpamu. Kamu adalah segalanya bagiku."
Arini merasakan mual yang hebat di perutnya mendengar kalimat sampah itu. Setiap kata yang keluar dari mulut Adrian terasa seperti racun yang mencoba masuk ke telinganya. Namun, ia tetap tenang. Ia memutar tubuhnya, menatap mata suaminya yang penuh dengan kepalsuan.
"Aku melakukan ini karena aku percaya pada kesetiaan, Ian," ucap Arini pelan, jarinya menelusuri rahang Adrian. "Bagi banyak orang, uang adalah segalanya. Tapi bagiku, sekali seseorang berkhianat, tidak ada jumlah uang pun yang bisa membayar rasa sakitnya. Kamu tidak akan pernah mengkhianatiku, kan?"
Adrian tertegun sejenak. Ada kilat ketakutan di matanya, namun ia segera menutupinya dengan tawa kecil. "Tentu saja tidak, Sayang. Bagaimana mungkin aku mengkhianati wanita sehebat kamu?"
"Bagus," jawab Arini singkat. "Karena jika itu terjadi, aku tidak akan memaafkan. Aku akan memastikan orang itu kehilangan napasnya sebelum dia sempat meminta ampun."
Setelah Adrian tertidur lelap, Arini pergi ke ruang kerjanya yang terkunci rapat. Ia membuka laptopnya dan melihat rekaman CCTV dari apartemen rahasia yang ia pasang secara ilegal beberapa hari lalu. Di layar itu, ia melihat Adrian dan Maya sedang merayakan "kemenangan" mereka beberapa jam sebelum makan malam tadi. Mereka tertawa, menghina kebodohan Arini, dan merencanakan bagaimana mereka akan membagi uang sepuluh miliar itu untuk melarikan diri ke luar negeri setelah perusahaan dinyatakan pailit nantinya.
Arini tidak menangis. Matanya justru berkilat dingin. Ia mengambil sebuah jarum jahit yang panjang dari kotaknya dan menusukkannya ke sebuah kain perca di atas meja hingga tembus ke kayu di bawahnya.
"Kalian pikir kalian sedang menjahit masa depan," bisik Arini pada kegelapan. "Padahal kalian sedang menjahit kain kafan kalian sendiri."
Arini tahu, esok hari saat ia mentransfer dana tersebut, ia secara resmi telah memulai hitung mundur kehancuran mereka. Wanita kuat tidak perlu membalas dendam dengan otot. Ia hanya perlu memberikan apa yang diinginkan musuhnya, lalu membiarkan keinginan itu menghancurkan mereka dari dalam.