Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3
Suasana lapangan basket SMA Pandegha Cakrabuana begitu ramai. Kursi tribun yang mengelilingi lapangan dipenuhi siswa-siswi yang menonton dengan semangat. Sorakan dan teriakan memuji idola mereka menggema tanpa henti, menciptakan suasana penuh energi.
Namun, di tengah keramaian itu, dua siswi tampak menikmati dari kejauhan tanpa ikut berteriak. Alleta dan Aru duduk berdampingan di tribun bagian tengah, menikmati pemandangan latihan tim basket sekolah mereka, Spanca.
“Lumayan ya, dapat hiburan jam terakhir,” ujar Aru sambil mengunyah snack yang baru dibelinya di kantin.
Alleta mengangguk pelan. “Daripada matematika. Kepala gue masih pusing soal kemarin.”
Aru menoleh ke arah Alleta, “Lah.., Lo aja pusing apalagi gue..?”
Latihan di lapangan tampak intens. Para anggota tim basket berlari cepat, memantulkan bola, dan sesekali melakukan tembakan tiga angka yang membuat penonton bersorak heboh. Di antara para pemain, seseorang paling mencolok, Tristan. Gerakannya lincah dan terampil, setiap dribble-nya seperti menarik perhatian banyak mata, terutama dari para siswi yang sibuk berteriak memanggil namanya.
Sorak sorai semakin riuh, tapi Alleta masih menonton dengan tenang, kedua tangan terkunci di pangkuannya.
Tak lama kemudian, peluit berbunyi tanda istirahat. Beberapa pemain duduk di bangku samping lapangan, terengah tapi tetap terlihat percaya diri. Tristan, yang sedari tadi terlihat fokus, langsung mengedarkan pandangan dan langkahnya terarah pada satu titik, Alleta.
Aru mencolek lengan Alleta cepat-cepat. “Tuh, pangeran sekolah datang,” godanya pelan, membuat Alleta memutar bola mata malas.
Tristan berhenti tepat di depan mereka, napas tersengal namun senyumnya tetap terpasang.
“Minumnya?” tanyanya ringan.
“Oh.. iya.” Alleta cepat-cepat meraih tas kecil di sebelahnya dan menyerahkan botol minum yang sudah ia simpan sejak awal. Tristan menerimanya dengan senyum tipis.
“Thanks, Let.” Ia mengedip sekilas sebelum kembali ke arah teman-temannya.
Aru menahan tawa, mengipasi dirinya pura-pura pingsan. “Ya ampun… itu kayak adegan di drama, sumpah.”
Alleta hanya mendecak, pipinya sedikit memanas meski berusaha menyembunyikannya.
“Dia cuma ngambil botol minum, Aru. Biasa aja.”
Tapi Aru mengangkat alis penuh arti. “Iyaaa… biasa… padahal banyak fans-nya teriak-teriak, tapi dia milih jalan ke Lo.” Nada suaranya jelas menggoda.
Alleta diam, memilih menatap lapangan lagi.
Suasana lapangan kembali memanas saat latihan hendak dilanjutkan. Tristan yang sudah bersiap untuk berlatih lagi tiba-tiba terhenti. Pandangannya tertarik pada seseorang yang baru saja memasuki area tribun bawah.
Seorang pemuda dengan jaket hitam menguap kecil sebelum duduk santai di bangku tak jauh dari posisi Alleta dan Aru. Aura pemuda itu berbeda, dingin, cuek, namun mencolok. Sagara.
Tristan sempat menyipitkan mata, ia lalu melangkah cepat menghampiri pelatihnya dan membisikkan sesuatu. Sang pelatih menoleh ke arah Sagara dan hanya mengangguk singkat, seolah menyetujui usulan Tristan.
Tanpa menunggu, Tristan berjalan menuju tribun bawah. Alleta mengira ia akan kembali menghampirinya. Namun tidak, targetnya ternyata Sagara, yang kini sedang menunduk, sibuk memainkan tali gelang di pergelangan tangannya.
Tristan berhenti di depannya.
“Sa… gue denger lo anak basket juga,” ucapnya lugas tanpa basa-basi.
Sagara mendongak pelan, menatap Tristan tanpa ekspresi. Ia hanya mengangguk pendek.
“Kebetulan tim Spanca lagi kurang satu pemain,” lanjut Tristan. “Lo mau gabung?”
Sagara terdiam. Sorakan penonton di belakang mereka terdengar samar, seperti suara jauh yang tak berarti. Tatapan gelapnya turun ke arah sepatu basket yang dikenakan para pemain di lapangan. Ia menimbang sesuatu dan itu terlihat jelas.
Beberapa detik berlalu.
“Boleh,” jawabnya akhirnya. Suaranya datar, tapi jelas.
Tristan tersenyum tipis namun puas. “Oke. Bentar, kita coba latihan.”
Tanpa perlu basa-basi lagi, Sagara berdiri. Ia menepuk celana panjangnya yang sempat terkena debu tribun lalu menuruti Tristan menuju lapangan. Langkahnya santai tapi penuh percaya diri.
Alleta yang memperhatikan dari belakang tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Dia main…?” gumamnya pelan.
Aru menjawab sambil menyilangkan tangan, mata tak lepas dari Sagara.
“Yaampun kombinasi yang... sempurna.”
Alleta kembali menatap ke arah lapangan, melihat dua sosok itu berdiri berdampingan.
Tristan, kapten yang dicintai semua orang.
Sagara, pendatang baru misterius dengan reputasi yang belum jelas.
Suatu kombinasi yang… entah akan jadi kekuatan besar…mungkin.
Peluit pelatih terdengar, menandakan latihan dimulai kembali. Para pemain mulai bergerak sesuai formasi, dan Tristan memberi kode pada Sagara untuk bergabung dalam scrimmage, latihan pertandingan singkat.
Meski baru pertama kali turun di lapangan Spanca, Sagara tampak tidak canggung sama sekali. Saat bola meluncur ke arahnya, dengan lincah ia melakukan dribble melewati dua pemain bertubuh besar seolah itu bukan apa-apa. Gerakannya cepat dan gesit, bahkan tak kalah dari Tristan.
Tribun yang semula berisik perlahan mulai terfokus pada satu sosok: pemuda baru dengan kemeja putih abu yang dikeluarkan, tanpa kostum olahraga, tapi jelas mencolok, entah karena penampilannya yang beda sendiri, atau karena kemampuan yang tiba-tiba mencuri perhatian.
Bola berpindah ke tangan Tristan. Ia menatap Sagara, memberi isyarat halus. Sagara mengangguk tipis. Dalam sekejap, keduanya melakukan kombinasi yang terpola begitu mulus seolah mereka sudah berlatih bersama bertahun-tahun.
Sagara melompat tinggi.
Bola melayang sempurna.
SLAM!
Ia memasukkan bola dengan satu tangan, mendarat kokoh dan sedikit membetulkan bagian kemejanya yang terangkat.
Sorakan meledak dari tribun.
“Siapa tuh yang baru?”
“Keren banget sumpah!”
“Gila, tinggi!”
Aru melongo. “Uh, dia jago juga ternyata…”
Alleta yang semula menonton datar kini justru terdiam terpaku. Pandangannya mengikuti Sagara yang kini berjalan ringan ke belakang garis, keringat tipis mulai membasahi pelipisnya.
Dia terlihat tinggi… sangat tinggi. Bahkan tampaknya lebih tinggi dua atau tiga sentimeter dari Tristan.
Sedangkan Alleta, yang hanya 146 cm bukanlah apa-apa.
"Pendek," kata paling menyebalkan yang sering ia dengar. Menggelitik rasa tak nyaman di dadanya.
Alleta yang memperhatikan Sagara, merasa jengah sendiri. Ia mendengus kecil, lalu memilih mengalihkan pandangan. Tangannya merogoh saku rok dan mengeluarkan ponselnya, mencoba tenggelam dalam layar daripada harus mengakui bahwa ia sempat terpukau oleh anak baru itu.
Di tengah lapangan, permainan makin ramai. Sorak-sorai kembali memenuhi tribun. Sagara memegang bola, langkahnya cepat, mata fokus mencari rekan yang kosong. Namun satu langkah terlalu tergesa, tenaga terlalu besar.
TUING..!
Bola itu justru melesat keluar lapangan.
BUG!
“Aduh…” Alleta terlonjak, ponselnya hampir terjatuh ketika bola keras itu menabrak sisi kepalanya.
Penonton spontan terdiam.
“Yaampun Al! Lo gapapa?” Aru langsung panik, memegangi lengan sahabatnya.
Alleta memejam, satu tangan mengusap pelipisnya yang langsung memerah.
“Ga… gapapa…” gumamnya lirih walau suaranya terdengar lemah.
Latihan terhenti. Tristan yang awalnya jauh di tengah lapangan, langsung lari sekencangnya. Namun sebelum ia sampai, Sagara sudah tiba terlebih dahulu.
Dan tepat ketika Alleta hendak bangkit, lututnya melemas. Tubuh kecil itu ambruk.
“Eh..All!” Aru menahan, tapi tak cukup kuat.
Sagara tanpa pikir panjang langsung menangkap tubuh Alleta sebelum benar-benar jatuh menyentuh lantai. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras.
“Anter gue ke UKS,” ucap Sagara cepat dan tegas pada Aru, seolah mengabaikan semua mata yang memandang.
Aru hanya bisa mengangguk terburu-buru, lalu berlari di depan sebagai penunjuk jalan. Sagara mengangkat Alleta dalam gendongan penuh, meninggalkan lapangan yang mendadak sunyi.
Semua pandangan terpaku pada punggung pemuda yang baru dikenal itu…
Yang bahkan belum satu minggu berada di sekolah ini, namun sudah menjadi pusat perhatian.
Di UKS, Sagara dengan hati-hati menurunkan tubuh Alleta ke atas ranjang kecil yang tersedia. Gerakannya lembut, jauh dari kesan cuek yang selalu ia tunjukkan. Napasnya masih sedikit memburu, seolah tadi ia berlari tanpa sempat menarik napas dengan benar.
“Bu, tolong ya… Dia tadi nggak sengaja kena lempar bola,” ucap Sagara, suaranya rendah namun jelas terdengar ada kepanikan yang ia tahan.
Petugas UKS, Bu Dina, mengangguk cepat. “Iya, biar Ibu yang urus. Kalian tunggu di luar dulu ya,” ucapnya sambil mulai menyiapkan peralatan untuk memeriksa Alleta.
Sagara mengangguk, meski matanya masih terfokus pada wajah pucat gadis itu beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya ia melangkah keluar bersama Aru.
Di luar ruangan, suasana terasa lebih sunyi meskipun terdengar suara ramai siswa dari kejauhan. Aru memijat pelan dahinya, masih syok dengan kejadian barusan.
Langkah tergesa terdengar, Tristan muncul dengan napas tersengal.
“Alleta gimana??” tanyanya cepat, matanya langsung mengarah pada pintu UKS.
“Masih diperiksa di dalam,” jawab Aru singkat.
“Gue emang nggak cocok main basket…” gumam Sagara tiba-tiba, matanya masih terpaku pada pintu UKS yang tertutup rapat.
Tristan mengerutkan kening, menoleh padanya. “Maksud lo?”
Sagara menghela napas, wajahnya sulit terbaca. “Gue nggak jadi gabung.”
Tristan memajukan sedikit tubuhnya, jelas tidak setuju dengan keputusan itu. “Kenapa? Lo punya bakat. Sayang kalau cuma buat gaya-gayaan doang.”
Sagara menatap lantai sejenak, rahangnya mengeras. “Bakat gue justru bikin orang celaka.”
Nada suaranya terdengar datar tapi ada sesuatu yang berat dan pahit tersembunyi di baliknya.
Tristan hendak membalas… namun sebelum sempat berkata apa-apa, pintu UKS terbuka dan perhatian mereka langsung teralihkan.
“Kalian boleh masuk. Alleta sudah sadar, dia nggak apa-apa. Cuma sedikit memar dan kaget saja,” jelas Bu Dina dengan senyum menenangkan.
Serentak, napas lega terdengar dari ketiganya. Sagara, Tristan, dan Aru langsung masuk ke dalam ruang UKS.
Di dalam, Alleta sudah duduk bersandar di ranjang, memegang secangkir teh hangat. Wajahnya masih pucat, tapi matanya terlihat lebih tenang.
“Al… lo udah baikan?” tanya Tristan, nadanya lembut dan penuh kekhawatiran.
“Udah…” jawab Alleta pelan, mencoba tersenyum.
Bu Dina mendekat sambil memeriksa kembali dahi Alleta. “Kalau nanti masih pusing atau mual, langsung ke rumah sakit ya. Biar dicek bagian dalamnya juga.”
“Iya, Bu. Makasih,” Alleta mengangguk sopan.
“Kalau begitu, Ibu keluar dulu ya. Kalian jaga Alleta” Bu Dina tersenyum, lalu keluar dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, Aru langsung memeluk lengan Alleta dramatis. “Ya ampuuun Al… gue khawatir banget tau nggak!”
Alleta terkekeh kecil. “Gue gapapa, Aru. Dramatis amat.” Meski begitu, ia membalas menggenggam tangan sahabatnya.
Ternyata memang menyenangkan punya sahabat yang benar-benar tulus seperti Aru, bahkan di situasi menegangkan dia masih bisa membuat kita tertawa.
Dari sudut ruangan, Sagara yang sejak tadi berdiri canggung akhirnya melangkah mendekat. Alleta refleks menatapnya, mata keduanya bertemu sebentar, cukup membuat udara terasa kaku.
Sagara akhirnya membuka suara. “Gue… nggak sengaja. Sorry.”
Kata-katanya singkat, tapi jelas terdengar tulus. Tidak ada nada arogan seperti biasanya.
Alleta menatap wajahnya yang serius itu… dan sikapnya yang lembut muncul tanpa bisa ia tahan.
“Iya… udah gue maafin,” ucapnya pelan. “Lain kali hati-hati.”
Aru terkikik, Tristan hanya menghembuskan napas lega.
Sagara tidak tersenyum… tapi dari rautnya, jelas ia merasa lebih baik. Ia hanya mengangguk kecil sebelum kembali memalingkan wajah. Untuk pertama kalinya, ketegangan di antara mereka terasa sedikit mencair.
Bel pulang akhirnya berbunyi. Riuh siswa memenuhi lorong sekolah, namun langkah Tristan justru pelan, memapah Alleta yang masih sedikit limbung menuju parkiran. Aru mengikuti dari belakang sambil membawa tas Alleta.
Begitu sampai di area parkir motor, Tristan baru hendak mengambil helm ketika terdengar suara tegas dari belakang.
“Alleta.”
Ketiganya refleks menoleh.
Sagara berdiri di sana, dengan tas selempang hitam, seragamnya masih kusut dari latihan basket tadi, tapi sorot matanya serius… berbeda dari biasanya.
“Alleta pulang sama gue aja,” ujarnya tanpa basa-basi. “Lo masih keliatan pusing. Bahaya kalau naik motor. Kebetulan gue bawa mobil.”
Alleta terdiam. Ia menatap Tristan seolah meminta dukungan.
“Ga usah… gue sama Tristan aja. Gapapa kok…” jawabnya ragu.
Namun Tristan malah mengangguk pelan menyetujui Sagara. “Bener kata Sagara, Al. Lo masih pucat, bahaya kalo naik motor.”
“Tapi—”
“Gapapa,” Sagara menyela cepat, nada suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
“Itung-itung pertanggung jawaban gue. Lo kayak gini juga gara-gara gue.”
Kalimat itu membuat suasana tiba-tiba hening.
Alleta menatap Sagara lagi, berlawanan dengan sikap juteknya yang biasa, kini ada penyesalan yang jelas di sana.
Aru ikut mendorong pelan punggung Alleta. “Udah Al… ikut aja dulu. Gue ikut Tristan naik motor.”
Tristan mengangguk mantap. “Iya Al, cari aman.”
Keadaan seperti sudah mengikat keputusan.
Akhirnya Alleta menghela napas pelan, menyerah.
“…Yaudah.”
Bersambung
“Entah apa dosaku di masa lalu, sampai semesta harus mempertemukan aku dengan cowok nyebelin itu.”
~Alleta Cassandra Sabiru ~