Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesona yang Tak Teranggap
Senin pagi itu, cermin besar di walk-in closet apartemen Argantara memantulkan bayangan seorang pria yang sedang bertarung dengan egonya sendiri.
Bayangan Intan yang bersinar terang di acara kemah kemarin—saat menyanyi dan menari dengan percaya diri—masih membekas kuat. Istrinya telah berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Arga sadar, jika ia tetap menjadi "Bapak Dosen" yang kaku dan membosankan, Intan akan semakin mudah melupakannya.
"Kalau dia bisa berubah, saya juga harus bisa," gumam Arga dengan tekad bulat.
Ia menyingkirkan setelan formal hitam-putihnya. Hari ini, ia memilih kemeja oxford berwarna navy gelap yang pas badan. Dua kancing teratas sengaja ia biarkan terbuka, memperlihatkan sedikit kulit dadanya. Lengan kemejanya digulung rapi hingga siku, menonjolkan lengan kekarnya dan jam tangan chronograph mahalnya.
Rambutnya ditata dengan gaya messy but classy, membuatnya terlihat lima tahun lebih muda. Semprotan parfum wood-spicy menyempurnakan transformasinya.
Arga menatap cermin. Ia terlihat sempurna. Ia yakin, penampilan ini akan membuat mata Intan berbinar, atau setidaknya membuat gadis itu cemburu dan menyadari betapa tampan suaminya.
"Tunggu saya, Intan," bisik Arga penuh harap.
Begitu mobil sport Arga memasuki area parkir kampus, perubahan atmosfer langsung terasa.
Saat Arga turun dan berjalan menuju gedung fakultas, kepala setiap orang yang berpapasan dengannya otomatis menoleh. Bisik-bisik kekaguman terdengar riuh.
"Gila, itu Pak Arga? Ganteng banget woy!"
"Damage-nya nggak ngotak pagi ini!"
Arga berjalan tegap dengan kacamata hitamnya. Ia menikmati perhatian itu, membayangkan sebentar lagi Intan akan menjadi salah satu dari mereka yang terpesona.
Namun, realita di lobi fakultas jauh lebih kacau dari dugaannya.
Baru saja ia melangkah masuk, ia sudah dihadang. Bukan satu, tapi tiga mahasiswi cantik yang berebut memberinya bekal sarapan. Dan belum sempat ia menolak, suara hak sepatu yang familiar mendekat.
"Wow, Argantara Ramadhan!"
Clarissa muncul dengan gaun modis yang membalut tubuhnya. Matanya berbinar lapar melihat penampilan baru Arga. Tanpa basa-basi, Clarissa langsung menggandeng lengan Arga, mengklaim wilayahnya di depan para mahasiswi itu.
"Tumben tampil beda? Hot banget sih," bisik Clarissa genit, jarinya menyentuh lengan Arga yang terekspos. "Kamu dandan begini buat mancing siapa? Aku ya?"
"Minggir, Cla. Saya mau lewat," ucap Arga risih, berusaha melepaskan diri.
"Nanti dulu dong, liat tuh mahasiswi pada ngeliatin kamu kayak srigala laper. Aku harus jagain kamu," Clarissa justru mempererat pegangannya, tersenyum menang pada mahasiswi lain.
Arga terjebak. Ia dikelilingi wanita-wanita yang memujanya. Di mata orang lain, ia adalah raja yang sedang diperebutkan para ratu.
Tapi mata Arga tidak peduli pada mereka. Matanya sibuk memindai koridor, mencari sosok Intan.
Dan ia menemukannya.
Di dekat mading, sekitar sepuluh meter dari posisinya, berdiri Intan bersama Sarah.
Namun, pemandangan itu membuat darah Arga mendidih seketika.
Intan tidak sendirian. Ada dua mahasiswa laki-laki—senior dari jurusan Manajemen—yang sedang berdiri mengelilingi Intan. Salah satu dari mereka, laki-laki berjaket denim, sedang tertawa sambil memegang buku catatan Intan, seolah enggan mengembalikannya kalau Intan tidak memberikan nomor ponselnya.
"Ayolah, Tan. Cuma minta ID Line doang masa nggak boleh?" goda mahasiswa itu. "Nanti gue ajarin materi Statistik deh."
Intan terlihat tersenyum sopan—senyum tipis yang biasa ia berikan pada orang asing—mencoba mengambil bukunya kembali.
"Nggak usah, Kak. Makasih tawarannya," tolak Intan halus.
"Jangan gitu dong, Tan. Lo sejak kemah kemarin jadi trending topic tau. Rugi kalau lo jomblo," sahut temannya yang satu lagi.
Arga mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.
Ia berdandan untuk Intan. Ia ingin Intan melihatnya. Tapi Intan justru sedang sibuk meladeni para "kumbang" baru yang mulai berani mendekat karena pesona Intan yang mekar.
Tiba-tiba, Sarah menyenggol lengan Intan.
"Tan, Tan! Liat deh ke arah jam 12," bisik Sarah heboh. "Itu suami lo... Gila, Pak Arga hari ini gantengnya kelewatan! Sumpah, gue sampe merinding."
Intan menoleh.
Mata mereka bertemu.
Arga menatap Intan dengan tatapan intens, berharap ada reaksi. Ia berharap Intan akan cemburu melihat Clarissa yang menempel padanya. Ia berharap Intan akan marah dan datang memisahkan mereka.
Namun, reaksi Intan sungguh di luar dugaan Arga.
Wajah Intan datar. Sangat datar.
Ia melihat Arga yang tampil memukau dengan kemeja navy gulung lengan itu. Ia melihat Clarissa yang menggelayut manja di lengan Arga. Ia melihat mahasiswi-mahasiswi yang menatap Arga dengan mata berbinar.
Dan Intan hanya... mengedikkan bahu.
Tidak ada cemburu. Tidak ada kekaguman. Tidak ada rasa sakit hati.
Hanya ketidakpedulian yang dingin.
"Terus kenapa, Sar?" tanya Intan santai, kembali memalingkan wajahnya ke arah mahasiswa senior yang mengajaknya bicara tadi.
Sarah melongo. "Lo gila ya? Suami lo lagi diperebutkan wanita satu kampus! Bu Clarissa nempel kayak lintah gitu, lo nggak panas? Nggak cemburu?"
Intan tertawa kecil, tawa yang terdengar renyah namun kosong.
"Buat apa cemburu, Sar?" jawab Intan cukup keras, seolah sengaja agar angin membawanya ke telinga Arga—meski jarak mereka terlalu jauh. "Mas Arga emang suka jadi pusat perhatian. Biarin aja dia nikmatin panggungnya. Lagipula, dia bukan tipe yang bisa dipegang satu orang."
Intan mengambil bukunya dari tangan senior itu.
"Kak, bukunya balikin. Saya mau ke kelas," ucap Intan pada senior itu, kali ini dengan senyum yang lebih manis daripada yang ia berikan pada Arga. "Kalau mau bahas statistik, di perpus aja nanti siang. Jangan di sini, berisik."
Senior itu bersorak girang. "Oke, Tan! Gue tunggu di perpus ya!"
Intan mengangguk, lalu menarik tangan Sarah. "Yuk, Sar."
Mereka berjalan pergi. Intan melewati kerumunan Arga tanpa menoleh sedikit pun. Ia berjalan seolah Arga hanyalah patung pajangan yang tidak menarik minatnya.
Hati Arga mencelos. Rasanya seperti dijatuhkan dari lantai dua puluh.
Ia sudah berusaha tampil sebaik mungkin. Ia sudah menjadi pria paling tampan di kampus hari ini. Tapi bagi Intan? Ia tidak ada artinya.
Ketidakpedulian Intan jauh lebih menyakitkan daripada kemarahan. Jika Intan marah, artinya dia masih peduli. Tapi sikap acuh tak acuh ini? Ini adalah tanda bahwa Intan sudah mulai menutup pintu hatinya rapat-rapat.
"Ga? Hey! Kok bengong?" Clarissa mengguncang lengan Arga. "Kamu dengerin aku nggak sih?"
Arga menepis tangan Clarissa dengan kasar. Wajah tampannya berubah keruh dan menakutkan.
"Minggir," desis Arga tajam.
"Ga."
"SAYA BILANG MINGGIR!" bentak Arga, membuat Clarissa dan para mahasiswi di sekitarnya terlonjak kaget.
Arga tidak peduli lagi pada citranya. Ia menatap punggung Intan yang menjauh bersama Sarah.
Ia melihat bagaimana mahasiswa-mahasiswa laki-laki lain curi-curi pandang ke arah istrinya. Ia melihat bagaimana Intan sekarang menjadi magnet baru di kampus, dan magnet itu justru menolak kutubnya.
Arga berjalan cepat menuju ruangannya dengan napas memburu. Ia melonggarkan kancing kemejanya yang tadi ia pikir akan menjadi senjata ampuh. Sekarang, kemeja mahal ini terasa mencekik lehernya, lambang dari usahanya yang sia-sia.
Sesampainya di ruangan, Arga membanting pintu. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Pria tampan, mapan, digilai banyak wanita.
"Percuma," rutuk Arga, memukul meja kerjanya. "Semua ini percuma kalau dia nggak peduli."
Hari ini, Argantara Ramadhan menyadari musuh terbesarnya. Bukan Rangga, bukan mahasiswa senior, bukan kesibukan.
Musuh terbesarnya adalah rasa indifferent—rasa masa bodoh—yang mulai tumbuh di hati Intan. Dan Arga tidak tahu senjata apa yang bisa menghancurkan rasa itu. Pesona fisiknya jelas sudah gagal total.
Bersambung...
makan tuh gengsi Segede gaban😄