Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: PERSAHABATAN DENGAN NAYLA
🤝
Seminggu berlalu sejak confrontasi itu.
Daryon jadi lebih... jarang keliatan. Dia pulang lebih malam dari biasanya. Kadang dia gak pulang sama sekali—mungkin nginep di hotel atau di tempat Kireina.
Alviona seharusnya lega.
Dan memang... sebagian dirinya lega.
Tapi sebagian lain ngerasa... hampa. Karena absennya Daryon bukan karena dia peduli atau ngehargain Alviona.
Cuma karena dia... lagi ngindari.
Ngindari apa? Alviona gak tau.
---
Sore itu, Alviona lagi duduk di taman belakang—tempat yang udah jadi "safe space" dia—dengan buku di tangan tapi gak dibaca.
"VIONA!"
Suara ceria tiba-tiba terdengar dari arah mansion.
Alviona noleh—dan ngeliat Nayla Amara berlari kecil ke arah dia, dengan senyum lebar, rambut pendeknya sedikit berantakan, tas selempang imut di bahu.
Nayla—gadis yang kenalan sama Alviona di resepsi pernikahan. Gadis yang ngasih kartu nama dan bilang "hubungi aku kalau butuh teman."
Dan sejak seminggu lalu, Nayla mulai sering datang.
Gak tau kenapa. Gak tau gimana dia dapet izin masuk mansion. Tapi Nayla datang—kadang bawa cemilan, kadang bawa buku, kadang cuma datang buat ngobrol.
Dan Alviona... bersyukur.
"Nayla!" Alviona berdiri, senyum tipis—senyum pertama dalam berhari-hari.
Nayla langsung meluk Alviona—pelukan hangat, friendly, tanpa beban—terus duduk di samping Alviona di bangku taman.
"Gimana kabarmu hari ini?" tanya Nayla ceria, ngeluarin plastik kecil dari tasnya. "Aku bawain kue lapis legit! Buatan ibuku. Enak banget deh."
Alviona tersenyum lagi—senyum yang lebih lebar dari biasanya. "Makasih, Nay..."
Mereka berdua makan kue itu dengan tenang, sesekali ngobrol ringan—tentang cuaca, tentang film yang Nayla tonton kemarin, tentang buku yang lagi Alviona baca.
Gak ada obrolan berat.
Gak ada drama.
Cuma... dua gadis muda yang lagi ngobrol santai.
Dan buat Alviona, itu udah lebih dari cukup.
---
Tapi setelah beberapa menit, Nayla noleh ke Alviona dengan tatapan lebih serius.
"Viona..." ucapnya pelan, ragu. "Aku... aku boleh nanya sesuatu gak?"
Alviona noleh, agak tegang. "Apa?"
"Kamu... kamu baik-baik aja gak... di sini?" Nayla natap Alviona dengan tatapan khawatir. "Maksudku... pernikahan kamu... sama Daryon..."
Alviona langsung nunduk, tangannya mengepal di atas pangkuan.
"Aku... aku gak tau harus jawab apa..." bisiknya lirih.
Nayla meraih tangan Alviona—lembut, hangat. "Kamu gak harus cerita kalau belum siap. Tapi... aku cuma pengen kamu tau... kalau kamu butuh temen curhat... aku ada."
Air mata Alviona keluar tiba-tiba. Gak bisa ditahan.
"Nay..." suaranya pecah. "Aku... aku gak kuat..."
"Viona..." Nayla langsung meluk Alviona—erat, tulus—sambil ngelus punggungnya. "Nangis aja... gak apa-apa..."
Dan Alviona menangis. Menangis di pelukan Nayla—menangis yang udah ditahan berhari-hari, berminggu-minggu.
Nayla gak nanya apa-apa. Dia cuma meluk Alviona, ngasih Alviona safe space buat ngeluarin semua yang dia pendem.
Setelah beberapa menit, Alviona mulai cerita.
Gak semuanya—dia gak cerita detail tentang kekerasan fisik atau malam-malam brutal—tapi dia cerita tentang... perasaannya.
Tentang gimana rasanya jadi istri yang gak dicintai.
Tentang gimana rasanya ngeliat suami sendiri sayang sama orang lain.
Tentang gimana rasanya... gak dianggap.
Nayla dengerin dengan serius. Gak motong. Gak judge. Cuma dengerin.
Dan pas Alviona selesai, Nayla natap dia dengan mata berkaca-kaca.
"Viona..." bisik Nayla lirih, suaranya bergetar. "Aku... aku gak tau harus bilang apa... aku marah. Aku marah banget sama Daryon. Aku pengen... aku pengen teriakin dia, tampar dia, bilang dia brengsek—"
"Tapi kamu gak bisa," potong Alviona dengan senyum pahit. "Karena dia... dia kuat. Dia punya kuasa. Dan aku... aku cuma... gak ada apa-apanya."
"Itu gak bener!" Nayla menggenggam tangan Alviona erat. "Kamu bukan 'gak ada apa-apanya'! Kamu... kamu kuat, Viona. Kamu bertahan sampai sekarang. Itu udah bukti kamu kuat."
"Tapi sampai kapan aku harus bertahan?" Alviona berbisik putus asa. "Sampai aku beneran mati?"
Nayla nutup mulut, air matanya jatuh.
"Maafin aku..." bisik Nayla. "Maafin aku gak bisa langsung nolongin kamu... aku cuma... aku cuma gadis biasa... aku gak punya kuasa buat lawan keluarga sekaya Prasetya..."
"Aku tau, Nay... aku tau..." Alviona mengusap air matanya. "Dan aku udah bersyukur banget kamu mau datang... mau dengerin aku... itu udah lebih dari cukup..."
Nayla menggeleng kuat. "Gak cukup. Aku pengen lebih dari ini."
Dia meraih tasnya, ngeluarin sesuatu.
Tiga buku.
Buku-buku motivasi dengan cover warna-warni.
"Ini..." Nayla nyodorin buku-buku itu ke Alviona. "Aku tau ini mungkin kedengeran konyol. Tapi... baca ini. Buku-buku ini... pernah nolongin aku waktu aku di titik terendah."
Alviona natap buku-buku itu. Judulnya simpel: *"Kamu Lebih Kuat dari yang Kamu Kira," "Harapan di Tengah Kegelapan," "Bangkit dari Kehancuran."*
"Aku gak janji buku ini bakal langsung bikin masalahmu selesai," lanjut Nayla lembut. "Tapi... setidaknya... mungkin bisa kasih kamu sedikit harapan. Sedikit kekuatan buat bertahan lebih lama."
Alviona meraih buku-buku itu dengan tangan gemetar. "Makasih, Nay..."
Nayla senyum—walau matanya masih berkaca-kaca.
"Dan satu lagi..." Nayla menatap Alviona serius, menggenggam kedua tangan Alviona erat. "Aku janji... suatu hari nanti... kamu akan keluar dari sini."
Alviona natap Nayla dengan tatapan gak percaya.
"Aku janji akan bantuin kamu," lanjut Nayla dengan nada penuh determinasi. "Entah gimana caranya. Entah butuh waktu berapa lama. Tapi aku akan cari cara. Aku gak akan biarkan kamu mati di sini."
Air mata Alviona jatuh lagi—tapi kali ini bukan air mata sedih.
Ini air mata... lega. Haru.
"Makasih..." bisiknya lirih. "Makasih, Nay..."
Mereka berdua meluk lagi—pelukan panjang, hangat, penuh janji.
---
Malam itu, Alviona di kamarnya dengan tiga buku dari Nayla di samping bantal.
Dia buka buku pertama—*"Kamu Lebih Kuat dari yang Kamu Kira."*
Halaman pertama ada quote:
*"Kekuatan sejati bukan tentang tidak pernah jatuh. Tapi tentang bangkit setiap kali kamu jatuh."*
Alviona natap kalimat itu lama.
Lama banget.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama...
Ada sesuatu kecil di dadanya yang mulai... bergerak.
Bukan harapan besar.
Tapi... mungkin... mungkin dia belum sepenuhnya mati.
Mungkin masih ada bagian kecil di dalam dirinya yang... masih bisa bertahan.
---
**Nayla keluar dari mansion dengan senyum tipis, tapi di dalam mobil, dia langsung nangis. Dia ngeluarin ponsel, scroll kontak, berhenti di satu nama: "Javindra Santosa." Jari gemetar di atas tombol panggil. Apakah... apakah dia harus hubungi dia? Apakah mereka bisa kerja sama buat nolongin Alviona?**
**Apakah Nayla dan Javindra bisa jadi penyelamat Alviona? Atau... apakah semua usaha mereka akan sia-sia di depan kekuatan keluarga Prasetya? Dan yang paling penting... apakah Alviona... masih bisa bertahan sampai pertolongan datang?**
---
**[ END OF BAB 17 ]**