NovelToon NovelToon
Desa Penjahit Kain Kafan

Desa Penjahit Kain Kafan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Hantu / Iblis
Popularitas:235
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
​Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
​Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21: Bayangan yang Mencuri Suara

Di saat kebimbangan memuncak, bayangan Aris sendiri mendadak berdiri tegak dan mencekik lehernya dari belakang dengan tangan yang terasa sangat nyata. Aris Mardian tercekik, kedua tangannya mencengkeram udara kosong di lehernya, namun ia bisa merasakan kulit bayangan itu kasar seperti ampelas. Mata Aris melotot saat melihat bayangannya di tanah kini tidak lagi mengikuti bentuk tubuhnya, melainkan memiliki rahang yang terbuka lebar secara tidak alami.

"Aris! Lepaskan tanganmu dari lehermu sendiri!" teriak Sekar Wangi sambil mencoba memukul bayangan itu dengan bungkusan belerang.

"Bukan... aku... ini... bayanganku..." rintih Aris dengan suara yang semakin mengecil dan parau.

Sekar melihat pemandangan yang mustahil karena setiap kali ia mencoba memukul bayangan itu, Aris justru yang mengaduh kesakitan pada bagian tubuh yang sama. Bayangan itu mulai merayap naik ke arah wajah Aris, menutupi mulutnya dengan jemari hitam yang panjang dan pekat. Aris mencoba berteriak, namun suaranya seolah tersedot masuk ke dalam lubang hitam yang terbentuk di permukaan tanah tepat di bawah kakinya.

"Berikan suaramu pada kegelapan, agar rahasia keluarga Mardian tetap terjahit rapat!" bisik sebuah suara yang keluar dari mulut bayangan itu sendiri.

"Jangan dengarkan dia, Aris! Bayangan itu hanya pantulan dari ketakutanmu!" jerit Sekar sambil mencari korek api di saku bajunya.

Aris merasakan pita suaranya seperti ditarik paksa oleh ribuan benang halus yang menjalar dari dalam bayangan tersebut. Ia tidak lagi bisa mengeluarkan bunyi sedikit pun, bahkan suara napasnya pun kini hilang ditelan oleh kesunyian yang mencekam. Sebagai seorang perancang bangunan, ia mencoba memahami arah cahaya yang menciptakan bayangan terkutuk itu agar ia bisa memanipulasi posisinya.

"Sekar... cahaya... padamkan..." Aris mencoba berkomunikasi melalui gerakan bibir tanpa suara sedikit pun.

"Aku tidak mengerti Aris! Apa yang harus aku lakukan dengan cahaya ini?" tanya Sekar dengan wajah yang penuh dengan tetesan air mata keputusasaan.

Aris menunjuk ke arah lentera desa yang berada jauh di ujung jalan, yang cahayanya menciptakan bayangan panjang di belakang tubuhnya. Selama cahaya itu masih ada, bayangan tersebut akan tetap memiliki kekuatan untuk mencekik dan mencuri seluruh keberadaan dirinya. Aris merangkak menuju area yang benar-benar gelap di bawah naungan pohon jati besar agar cahaya lentera itu tidak lagi mengenainya.

"Oh, kamu ingin bersembunyi di tempat asalku? Itu adalah kesalahan besar, Aris!" ejek bayangan itu dengan suara yang kini persis menyerupai suara Aris.

"Kembalikan suara temanku, makhluk licik!" bentak Sekar sambil melemparkan kain mori basah ke arah bayangan tersebut.

Kain mori itu justru terserap masuk ke dalam bayangan, menambah volume kegelapan yang kini mulai menyelimuti seluruh tubuh Aris hingga ke dada. Aris merasakan tubuhnya mulai mendingin, seolah-olah darahnya berubah menjadi tinta hitam yang membeku di dalam pembuluh nadinya. Ia melihat Sekar mulai menjauh karena ketakutan melihat wajah Aris yang kini perlahan-lahan kehilangan detail kulit dan berubah menjadi datar.

"Aris, wajahmu... kamu menghilang!" isak Sekar sambil menutup mulutnya karena tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Aris tidak bisa menjawab, namun di dalam benaknya, ia teringat pada prinsip ruang yang pernah ia pelajari tentang titik buta cahaya. Ia menggunakan sisa tenaganya untuk mengambil cermin kecil milik Sekar yang terjatuh di tanah, lalu mengarahkannya ke arah lentera desa. Pantulan cahaya dari cermin itu ia arahkan tepat ke arah mata bayangannya sendiri yang sedang menyeringai lebar di tanah.

Seketika itu juga, bayangan itu menjerit melengking, sebuah suara yang sangat menyakitkan karena mengandung ribuan frekuensi jeritan manusia yang berbeda. Cengkeraman di leher Aris mengendur, dan suara yang tadinya hilang mendadak kembali meledak keluar dari kerongkongannya dalam bentuk batuk darah. Bayangan itu mengerut, mencoba bersembunyi di balik lipatan baju Aris untuk menghindari pantulan cahaya cermin yang menyilaukan.

"Sekar, bakar kain itu sekarang! Gunakan minyak melatimu untuk menciptakan api yang paling terang!" perintah Aris dengan suara yang masih serak dan perih.

"Baik Aris! Mundurlah sedikit agar kamu tidak terkena percikan apinya!" sahut Sekar sambil menyalakan api pada gulungan kain mori.

Api membubung tinggi, menciptakan lingkaran cahaya yang sangat kuat dan menghilangkan semua bayangan di sekitar mereka secara seketika. Makhluk bayangan itu lenyap dengan suara desisan seperti air yang menyentuh besi panas, meninggalkan bau hangus yang sangat aneh di udara. Aris terduduk lemas, menyentuh lehernya yang kini memiliki bekas memar berbentuk sidik jari yang berwarna hitam legam dan tidak bisa hilang.

"Kita harus segera pergi ke arah ritual penjahit malam jumat dimulai, sebelum mereka mengirimkan lebih banyak lagi utusan kegelapan," ucap Aris sambil mengatur napasnya.

"Tapi Aris, lihat ke arah langit, bulan merah itu kini mulai memiliki pola jahitan di permukaannya," bisik Sekar sambil menunjuk ke atas dengan jari yang gemetar.

Aris mendongak dan melihat pemandangan yang jauh lebih mengerikan daripada semua teror yang telah mereka lalui malam ini. Permukaan bulan merah di atas sana tampak seolah-olah sedang dijahit oleh jarum-jarum raksasa yang bergerak di balik awan hitam yang menggumpal. Dari kegelapan hutan di depan mereka, terdengar suara nyanyian mantra yang sangat ritmis, diiringi oleh suara mesin jahit yang mulai berbunyi secara serempak dari segala penjuru desa.

Dari kegelapan hutan di depan mereka, terdengar suara nyanyian mantra yang sangat ritmis, diiringi oleh suara mesin jahit yang mulai berbunyi secara serempak dari segala penjuru desa.

 

1
Siti Arbainah
baru baca lngsung tegang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!