SINOPSIS
Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
langkah kaki kecil di tengah hutan yang gelap
Langkah kaki mereka terdengar kecil di atas dedaunan kering yang menutupi jalur utara. Malam telah jatuh sepenuhnya, menyelimuti hutan dengan kegelapan yang pekat. Hanya suara jangkrik dan burung hantu yang memecah kesunyian.
Nara tidak pernah melepaskan genggaman tangan adiknya. Telapak tangan kecil Ingfah terasa dingin dan gemetar, namun Nara terus menguatkan hatinya. Matanya yang waspada terus melirik ke semak-semak, memastikan tidak ada bayangan manusia yang mengikuti mereka.
Setelah berjam-jam berjalan menembus rimbunnya hutan, langkah Ingfah mulai melambat. Nafasnya pendek-pendek, dan ia mulai terisak kecil karena kelelahan yang luar biasa.
"Pi Nara... apa masih jauh? Fha capek, Fha haus," rengek Ingfah dengan suara parau. Ia terduduk di atas akar pohon besar, matanya berkaca-kaca menatap kakaknya.
Nara merasa hatinya tersayat. Ia berlutut di depan adiknya dan menghapus keringat di dahi Ingfah.
"Pi Nara tidak tahu, Nong. Tapi kita istirahat dulu di sini sebentar," kata Nara lembut, meskipun ia sendiri merasa cemas karena mereka tidak membawa bekal apa pun.
Di saat mereka merasa putus asa karena rasa haus yang mencekik, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari dahan pohon di atas mereka. Nara segera berdiri pasang badan, siap melindungi adiknya.
Namun, yang muncul bukanlah musuh. Seekor monyet hutan dengan bulu abu-abu turun dengan lincah dari dahan pohon. Hewan itu tidak tampak takut; matanya justru terlihat bersahabat.
Monyet itu mendekat dengan hati-hati dan meletakkan dua benda di depan Ingfah:
Sisiran Pisang Hutan, Buah yang sudah matang dan siap dimakan.
Wadah Labu. Sebuah labu hutan yang telah dikosongkan dan dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai wadah air, penuh berisi air pegunungan yang jernih dan segar.
Restu Alam Khon Khaw
Ingfah tertegun, lalu tersenyum tipis. Ia mengulurkan tangan kecilnya dan mengelus kepala monyet itu sebelum mengambil wadah air tersebut.
"Terima kasih, monyet baik," bisik Ingfah.
Nara menyadari sesuatu. Alam bukit ini tidak hanya memakamkan ayahnya, tapi juga sedang menjaga mereka. Hewan-hewan di hutan ini mengenali garis keturunan Khon Khaw dan mustika yang dibawa oleh Ingfah.
"Minumlah, Nong. Setelah ini kita harus segera sampai di kuil pinggiran desa sebelum matahari terbit," ucap Nara sambil membagi pisang itu untuk adiknya.
Pemandangan di bawah pohon besar itu sungguh mengharukan. Di tengah kegelapan hutan yang luas, seekor monyet liar duduk diam tak jauh dari mereka, bertindak sebagai penjaga yang waspada.
Matanya yang tajam sesekali menatap ke arah kegelapan, seolah memastikan tidak ada predator atau manusia jahat yang mendekat.
Ingfah mengunyah pisang itu dengan lahap, rasa lapar yang melilit perutnya sedikit terobati. Ia menyandarkan punggungnya yang kecil pada batang pohon sambil meluruskan kakinya yang terasa berat.
Nara, meskipun punggungnya sendiri terasa pegal, tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia berlutut di depan adiknya. Dengan jemari yang lembut namun pasti, ia mulai memijat betis dan telapak kaki Ingfah.
"Sakit, Nong? Tahan sebentar ya, supaya darahnya lancar dan kakimu tidak kaku lagi," bisik Nara lembut.
Ingfah mengangguk pelan, rasa nyaman mulai merayapi kakinya. Kehadiran Nara adalah satu-satunya alasan mengapa ia masih berani melangkah di tengah hutan seseram ini.
Setelah merasa tenaga mereka pulih, monyet itu tiba-tiba berdiri. Ia mengeluarkan suara kecil, lalu melompat ke dahan yang lebih rendah dan menoleh ke arah Nara dan Ingfah. Ia tidak pergi menjauh, melainkan berhenti sejenak seolah menunggu mereka.
"Pi, lihat... dia ingin kita mengikutinya," ujar Ingfah sambil berdiri, kini dengan langkah yang sedikit lebih ringan.
Nara mengangguk dan segera membereskan tas mereka. "Ayo, Nong. Pegang tangan Pi erat-erat."
Monyet itu memandu mereka dengan cerdas:
Menghindari Jalur Curam, Ia membawa mereka melalui jalan setapak yang lebih landai namun tertutup semak, agar mereka tidak terlihat dari kejauhan.
Tanda Keamanan: Jika monyet itu berhenti dan diam mematung, Nara dan Ingfah pun ikut berhenti, mengerti bahwa mungkin ada bahaya atau hewan buas di depan.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, vegetasi hutan mulai berubah. Bau dupa dan kayu tua mulai tercium terbawa angin malam. Di balik kabut tipis, sebuah bangunan batu yang sudah ditumbuhi lumut mulai terlihat. Itulah Kuil Tua di Pinggiran Desa.
Namun, tepat saat mereka mendekati gerbang kuil, monyet itu tiba-tiba melompat tinggi ke atas pohon dan mengeluarkan suara peringatan yang nyaring. Nara segera menarik Ingfah bersembunyi di balik pilar batu yang besar.
Dari balik pilar batu yang dingin dan berlumut, Nara menahan napas. Jantungnya berdegup kencang hingga ia takut suaranya akan terdengar oleh siapa pun yang ada di luar sana. Ia memeluk Ingfah erat, memberi isyarat agar adiknya tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Monyet yang tadi memandu mereka kini menghilang di kegelapan dahan pohon, namun peringatannya jelas: Ada seseorang di sana.
Cahaya di Dalam Kegelapan
Perlahan, Nara mengintip dari celah batu. Di halaman kuil tua yang sunyi itu, ia melihat bayangan bergerak. Bukan obor merah yang kasar milik anak buah Luang Wichit, melainkan cahaya lilin yang lembut dari dalam aula kuil.
Pintu kayu tua yang berat berderit terbuka. Seorang pria tua dengan jubah putih sederhana melangkah keluar. Rambutnya memutih, dan wajahnya memancarkan ketenangan yang luar biasa. Ia memegang sebuah tongkat kayu dan seuntai tasbih kayu di tangannya.
"Keluarlah, Nak..." suara pria tua itu terdengar tenang namun berwibawa, menggema di kesunyian malam.
"Bukit ini telah menceritakan kedatangan kalian. Roh Khon Khaw tidak pernah berbohong."
Pertemuan dengan Penjaga Kuil
Nara ragu sejenak, namun melihat raut wajah pria itu yang penuh kasih, ia akhirnya keluar dari persembunyiannya sambil menuntun Ingfah.
"Siapa kakek?" tanya Nara waspada, tangannya masih memegang tas ayahnya dengan erat.
"Aku adalah teman lama ayahmu, dan pelayan dari Biksu Dutar," jawab pria itu sambil tersenyum tipis.
"Sebut saja aku Paman Som. Aku sudah menunggu di kuil pinggiran ini sejak bintang utara sejajar dengan puncak bukit."
Paman Somchai segera mengajak mereka masuk ke dalam kuil. Di dalam, suasana terasa sangat aman. Bau harum kayu cendana menenangkan saraf mereka yang tegang. Ia memberikan mereka kain hangat dan semangkuk bubur panas.
"Istirahatlah di sini untuk beberapa jam," kata Paman Som.
"Luang Wichit mungkin sudah binasa oleh amarah bukit, tapi keserakahan manusia tidak pernah mati sendirian. Pengikutnya masih berkeliaran di jalur utama desa. Besok pagi-pagi sekali, sebelum matahari benar-benar terbit, aku akan membawa kalian ke stasiun kereta tua untuk menuju Chiang Mai."
Malam yang Panjang
Ingfah, yang sudah tidak sanggup lagi menahan kantuk dan lelah, tertidur di pangkuan Nara setelah makan sedikit bubur. Tangan kecilnya masih menggenggam erat bungkusan Mustika Keluarga di balik bajunya.
Nara menatap wajah adiknya yang damai dalam tidur, lalu beralih menatap Paman Somchai yang sedang menyalakan dupa di altar.
"Paman," bisik Nara.
"Apakah kami benar-benar bisa sampai ke Chiang Mai dengan selamat? Mustika ini... rasanya sangat berat bagi kami."
Paman Somchai menoleh, matanya menatap Nara dengan dalam.
"Beratnya bukan pada fisiknya, Nak, tapi pada takdir yang dibawanya. Tapi ingatlah, alam tidak akan memberikan beban ini jika kalian tidak mampu memikulnya."