NovelToon NovelToon
ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."

Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.

Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!

Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.

Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 : Budak di Ladang Sendiri

Pagi itu, kabut di Desa Makmur belum sempat terangkat ketika pintu gudang bawah tangga ditarik paksa hingga menimbulkan suara dentuman yang memekakkan telinga. Risa Permata, yang tubuhnya masih gemetar karena demam sisa siksaan kemarin, tersentak bangun. Gaun merah menyala yang dipaksakan Tante Dina padanya semalam kini tampak sangat kontras dengan wajahnya yang pucat pasi dan bibirnya yang pecah-pecah.

Di ambang pintu, berdiri sosok wanita paruh baya dengan kebaya sutra mahal dan konde yang tertata kaku. Ia adalah Nyai Ratna, istri dari Pak Surya, Ibu mertua Risa, atau lebih tepatnya, sipir baru dalam neraka hidupnya. Di tangannya, ia memegang sebuah caping bambu yang kotor dan sebilah parang kecil.

"Bangun, pemalas!" teriak Nyai Ratna. Suaranya melengking tinggi, membelah kesunyian pagi. "Kau pikir karena kau memakai gaun merah ini, kau bisa terus-menerus bersantai di dalam rumah? Doni mungkin terlalu baik membiarkanmu tidur di sini, tapi aku tidak punya toleransi untuk parasit sepertimu!"

Risa mencoba bangkit, namun punggungnya yang luka akibat sikat kasar Tante Dina kemarin terasa sangat kaku. Ia mengerang pelan, memegangi dinding untuk menyeimbangkan tubuhnya yang lemas. "Ibu... saya sedang sakit... punggung saya..."

"Jangan panggil aku Ibu!" Nyai Ratna melangkah maju dan menjambak rambut Risa, menyeretnya keluar dari gudang dengan kekuatan yang mengejutkan untuk wanita seusianya. "Ibu mertuamu adalah orang terhormat, bukan pengurus binatang gila sepertimu! Mulai hari ini, kau akan bekerja di ladang jati selatan. Doni bilang kau butuh 'olahraga' agar otakmu yang rusak itu bisa berfungsi kembali!"

Risa diseret melewati ruang tengah yang masih berantakan sisa pesta semalam. Botol-botol minuman keras berserakan, dan bau asap rokok masih tertinggal di udara. Di atas sofa, Doni tampak tertidur pulas dengan Melati yang meringkuk di pelukannya. Doni sempat membuka mata sedikit, melihat Risa diseret ibunya, namun ia hanya menyeringai puas sebelum kembali memejamkan mata. Tidak ada pembelaan. Tidak ada belas kasihan.

Ladang jati selatan. Tempat itu dulu adalah kebanggaan Ayah Risa. Ribuan pohon jati berdiri kokoh, melambangkan kemakmuran keluarga Permata. Dulu, Risa datang ke sini dengan payung cantik, membawakan bekal untuk ayahnya yang sedang memeriksa para pekerja. Namun sekarang, ia datang sebagai pekerja paksa yang paling rendah.

Nyai Ratna mendorong Risa hingga jatuh ke tanah merah yang becek. Di sana, puluhan warga desa yang merupakan buruh ladang sudah berkumpul. Mereka terdiam, menundukkan kepala saat melihat putri mendiang pemimpin mereka diperlakukan seperti hewan.

"Lihat ini semuanya!" teriak Nyai Ratna pada para pekerja. "Mulai hari ini, Risa akan bekerja bersama kalian. Dia akan membersihkan semak belukar, mengangkut kayu-kayu kecil, dan membersihkan kotoran kerbau di pinggir ladang. Jika ada yang mencoba membantunya, atau memberinya makanan tanpa seizinku, kalian akan langsung kupecat dan kuusir dari desa ini!"

Warga desa berbisik-bisik ketakutan. Mereka ingin menolong, namun mereka tahu Pak Surya dan Doni memiliki pengaruh yang sangat mematikan. Polisi, preman, dan hukum desa semuanya ada di kantong keluarga Wijaya.

Risa diberikan sebuah parang tumpul dan sebuah keranjang bambu yang besar. Nyai Ratna duduk di sebuah gubuk yang teduh, dikipasi oleh seorang pelayan, sambil memegang tongkat kayu yang sesekali ia pukulkan ke meja untuk mengawasi Risa.

"Cepat kerja! Jangan hanya diam!" bentak Nyai Ratna.

Matahari mulai naik, memancarkan panas yang menyengat. Risa mulai menebas semak belukar di bawah pohon-pohon jati yang tinggi. Tangan kanannya yang ujung jarinya rusak akibat cairan kimia Doni terasa sangat perih setiap kali ia mencengkeram gagang parang. Luka di punggungnya kembali terbuka karena gerakan tubuhnya yang dipaksakan, darah merembes keluar, membasahi kain gaun merahnya hingga berubah warna menjadi merah gelap yang menjijikkan.

Setiap ayunan parang terasa seperti siksaan lahir batin. Ia merasa pohon-pohon jati ini pun sedang menangis melihat kondisinya. Tanah yang dulu ia miliki kini menjadi saksi bisu penghinaannya.

Tiba-tiba, seorang wanita tua bernama Bi Nah, pelayan setia yang semalam memberikan isyarat, berjalan mendekat dengan membawa ember air, berpura-pura sedang bekerja. Ia berbisik sangat lirih saat melewati Risa.

"Non... bersabarlah... di dalam bungkusan semalam, ada obat penahan sakit dan sedikit roti. Simpan di balik baju Non," bisik Bi Nah tanpa menoleh.

Risa teringat bungkusan kecil yang ia sembunyikan di balik korset gaunnya. Namun, ia tidak punya kesempatan untuk mengambilnya. Mata Nyai Ratna selalu mengawasinya seperti elang.

"Kenapa kau berhenti, Risa?!" Nyai Ratna bangkit dan berjalan mendekati Risa dengan langkah cepat. "Kau mencoba bergosip dengan pekerja? Dasar tidak tahu diri!"

WHUUT... PLAK!

Tongkat kayu di tangan Nyai Ratna mendarat di bahu Risa. Risa jatuh tersungkur di antara semak berduri. Duri-duri tajam merobek kulit lengannya, namun rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa malu yang ia rasakan di depan orang-orang yang dulu menghormatinya.

"Bangun! Bersihkan area ini dalam satu jam, atau kau tidak akan mendapatkan air minum sampai malam!" ancam Nyai Ratna.

Risa merangkak bangun. Tangannya gemetar. Ia melihat Melati datang ke ladang dengan pakaian mewah, memegang payung sutra, didampingi oleh Doni yang berjalan dengan angkuh. Mereka datang untuk menonton "hiburan" pagi itu.

"Wah, lihatlah... mandor ladang kita yang baru tampak sangat bersemangat," ejek Melati sambil tertawa. Ia mendekati Risa dan dengan sengaja menginjak tangan Risa yang sedang bertumpu di tanah.

Risa meringis, namun ia tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menatap Melati dengan tatapan yang sangat dingin. Sebuah tatapan yang membuat Melati sedikit merinding, namun wanita itu segera menepisnya dengan tawa yang lebih keras.

"Doni, lihatlah... istrimu ini sepertinya sangat cocok bekerja di tanah. Dia punya bakat menjadi cacing," ujar Melati.

Doni mendekat, ia mengambil botol air mineral dingin miliknya. Ia tidak memberikannya pada Risa. Sebaliknya, ia menuangkan air dingin itu ke tanah, tepat di depan wajah Risa yang kehausan, menciptakan kubangan lumpur.

"Minumlah dari sini, Risa. Sesuai dengan levelmu," ujar Doni kejam.

Warga desa yang melihat hal itu banyak yang membuang muka. Beberapa dari mereka menitikkan air mata, tidak sanggup melihat putri Pak Baskoro yang dulu begitu anggun dan baik hati kini diperlakukan lebih rendah daripada hewan ternak.

Siang hari yang membara menjadi puncak penderitaan Risa. Nyai Ratna memaksanya untuk memindahkan tumpukan kayu jati yang berat sendirian. Kayu-kayu itu kasar dan penuh serpihan tajam. Risa menggendongnya satu per satu, kakinya yang tanpa alas kaki gemetar melewati jalanan ladang yang penuh kerikil panas.

Kekuatan fisiknya mencapai batasnya. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Suara tawa Doni dan Melati di kejauhan terdengar seperti suara iblis yang menggema di dalam kepalanya.

Ayah... tolong aku... aku ingin mati... batin Risa.

Namun, saat ia hampir jatuh pingsan, ia merasakan bungkusan kecil di balik bajunya. Ia ingat kata-kata Bi Nah. Ia ingat bahwa di luar sana, mungkin masih ada satu orang yang mendukungnya. Ia teringat pada Paman Hari yang meludahi wajahnya semalam.

Kemarahan yang murni tiba-tiba menyentak syarafnya. Sebuah adrenalin yang lahir dari kebencian yang mendalam memberinya kekuatan tambahan. Ia tidak boleh mati sekarang. Jika ia mati sekarang, mereka menang. Jika ia mati sekarang, Paman Hari akan menguasai semua harta ayahnya dengan tenang. Jika ia mati sekarang, Doni dan Melati akan hidup bahagia di atas penderitaannya.

Tidak. Aku harus hidup. Aku harus melihat mereka hancur, Risa menggertakkan giginya hingga hampir patah.

Ia terus bekerja. Ia memindahkan kayu itu satu per satu dengan punggung yang berdarah dan tangan yang melepuh. Nyai Ratna yang melihat ketahanan Risa justru merasa jengkel. Ia ingin melihat Risa menangis tersedu-sedu dan memohon ampun, namun Risa tetap diam dengan tatapan mata yang semakin kosong dan menyeramkan.

Sore harinya, saat pekerjaan di ladang berakhir, Risa tidak dibawa pulang untuk beristirahat. Nyai Ratna membawanya ke kandang kerbau di pinggir ladang.

"Malam ini, kau tidur di sini. Jaga kerbau-kerbau ini agar tidak ada yang mencurinya. Jika satu saja kerbau ini hilang, aku akan memastikan Doni memotong satu jarimu lagi," perintah Nyai Ratna sebelum pergi bersama pelayan-pelayannya, meninggalkan Risa dalam bau kotoran hewan dan udara malam yang mulai mendingin.

Di dalam kandang yang kotor itu, Risa akhirnya punya waktu sendirian. Ia duduk di atas tumpukan jerami yang kasar. Dengan tangan yang gemetar, ia merogoh ke dalam bajunya dan mengeluarkan bungkusan dari Bi Nah.

Di dalamnya ada dua buah roti kecil yang sudah agak keras, sebotol kecil air, dan beberapa butir pil penahan sakit. Risa memakan roti itu dengan rakus, tidak peduli pada kotoran di tangannya. Ia meminum obat itu dan merasakan sedikit kelegaan pada punggungnya yang berdenyut.

Namun, di dasar bungkusan itu, ada sebuah benda lain. Sebuah kunci perak kecil dengan gantungan kunci berbentuk logo perusahaan ayahnya yang lama.

Jantung Risa berdegup kencang. Ia mengenali kunci ini. Ini adalah kunci brankas rahasia di dalam ruang kerja pribadi ayahnya—sebuah ruangan yang pintunya sudah diganti kuncinya oleh Doni, namun brankas di dalamnya tertanam di balik dinding beton dan hanya bisa dibuka dengan kunci fisik dan sidik jari khusus.

Bi Nah... bagaimana dia bisa mendapatkan ini?

Sebuah harapan baru muncul. Ayahnya pernah bercerita bahwa jika terjadi sesuatu yang buruk, semua bukti pengkhianatan orang-orang di sekitarnya disimpan di dalam brankas itu. Ayahnya sudah lama mencurigai Paman Hari dan Pak Surya, namun ia terlalu baik untuk bertindak.

Risa menggenggam kunci itu erat-erat. Ini adalah senjatanya. Namun, ia tidak punya sidik jari lagi. Ujung jarinya sudah hancur oleh cairan kimia Doni.

Ia menatap ujung jarinya yang kasar dan menghitam. Rasa sakit hati kembali menyerang. Doni tahu soal brankas itu, itulah sebabnya dia menghancurkan sidik jari Risa. Pria itu sangat licik.

Tapi pasti ada cara lain... Ayah pasti menyiapkan cadangan...

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekati kandang. Risa segera menyembunyikan kunci dan sisa makanannya di bawah jerami.

Pintu kandang terbuka. Itu bukan Doni atau Nyai Ratna. Itu adalah Paman Hari. Ia datang sendirian dengan membawa sebuah senter.

"Masih hidup, Risa?" tanya Paman Hari dengan nada santai, seolah ia tidak baru saja menghancurkan hidup keponakannya.

Risa tidak menjawab. Ia hanya menatap pamannya dengan kebencian yang sudah mendarah daging.

"Dengar, aku datang untuk memberimu tawaran terakhir," Paman Hari berlutut di depan Risa, tidak peduli pada bau kotoran kerbau. "Doni ingin tahu kode akses digital untuk akun bank rahasia ayahmu di luar negeri. Dia tahu kau memegangnya. Berikan padaku, dan aku akan membujuk Doni agar kau boleh kembali tinggal di kamar pelayan dan tidak perlu bekerja di ladang lagi."

Risa tertawa pelan, suaranya terdengar menyeramkan di kegelapan kandang. "Paman benar-benar anjing yang setia bagi keluarga Wijaya, ya?"

PLAK!

Paman Hari menampar Risa. "Jaga mulutmu! Aku melakukan ini untuk menyelamatkanmu! Jika Doni yang datang sendiri, dia akan menggunakan cara yang jauh lebih menyakitkan daripada cairan kimia kemarin! Berikan kodenya!"

"Aku tidak tahu apa-apa, Paman. Ayah tidak pernah memberitahuku soal bank luar negeri," bohong Risa. Padahal ia tahu, semua informasi itu ada di dalam brankas yang kuncinya baru saja ia dapatkan.

Paman Hari mendengus kesal. "Kau benar-benar keras kepala seperti ayahmu yang bodoh itu. Baiklah. Nikmati malammu bersama kerbau-kerbau ini. Besok, Nyai Ratna akan membawamu ke ladang utara, tempat pemotongan kayu. Kita lihat berapa lama tubuhmu yang lemah itu bisa bertahan."

Paman Hari pergi dengan perasaan dongkol. Risa kembali dalam kesendiriannya. Ia mengeluarkan kunci perak itu lagi. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Infeksi di punggungnya sudah mulai menjalar. Jika ia tidak bertindak sekarang, ia akan mati sebelum sempat membalas dendam.

Malam itu, di bawah cahaya bulan yang redup, Risa mulai merencanakan sesuatu. Ia harus masuk ke ruang kerja ayahnya. Ia harus mengambil bukti itu. Dan jika ia tertangkap, ia sudah menyiapkan satu rencana terakhir: Ia akan membakar rumah itu bersama dirinya di dalamnya.

Namun, ia teringat sesuatu. Sidik jarinya. Tanpa sidik jari, kunci itu tidak berguna.

Risa melihat ke arah jarinya. Tiba-tiba, ia teringat kata-kata ayahnya dulu: "Risa, jika suatu saat kau lupa kodenya atau jarimu terluka, ingatlah... kau memiliki garis keturunan yang sama dengan Ayah. Darahmu adalah kuncinya."

Darah. Ayahnya menggunakan sensor DNA berbasis darah di brankas itu sebagai cadangan, bukan hanya sidik jari optik biasa. Itulah yang tidak diketahui oleh Doni yang sombong.

Risa tersenyum di tengah kegelapan. Sebuah senyuman yang penuh dengan janji kematian bagi musuh-musuhnya.

"Darah... aku punya banyak darah untuk diberikan," bisik Risa sambil melihat luka di lengannya yang masih mengeluarkan cairan merah.

Keesokan paginya, sebelum fajar menyingsing, sebuah teriakan mengguncang seluruh desa. Bukan dari kandang kerbau, melainkan dari rumah utama. Gudang tempat penyimpanan dokumen-dokumen penting milik Pak Surya tiba-tiba terbakar hebat.

Di tengah kekacauan itu, Risa menghilang dari kandang kerbau.

Doni yang sedang panik memadamkan api tidak menyadari bahwa seseorang sedang berjalan dengan kaki berdarah menuju ruang kerja terlarang di lantai atas. Risa berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya dengan kunci perak di tangan dan sebuah pecahan kaca tajam di tangan lainnya.

Ia siap mengiris nadinya sendiri untuk membuka brankas itu. Namun, saat ia hendak memasukkan kunci, ia mendengar suara langkah kaki dari dalam ruangan yang seharusnya kosong itu. Seseorang sudah ada di sana.

"Jadi... kau akhirnya datang juga, Risa?" suara itu berasal dari balik kegelapan ruangan. Bukan suara Doni. Bukan suara Paman Hari.

Itu adalah suara Pak Surya yang sedang duduk tenang di kursi kebesaran ayahnya, memegang sebuah pistol yang diarahkan tepat ke jantung Risa.

1
Andira Rahmawati
hadir thor.. kerenn ...walau jln ceritanya agsk rumit sih👍👍👍
Ayu Nur Indah Kusumastuti: bener banget kak, tapi mungkin ini gaya authornya kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!