Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Celaka!
Malamnya...
Alden sudah menunggu Naysila di dekat mobil, mereka akan pergi ke rumah orang tua Alden yang hari ini akan menggelar acara pesta ulang tahun pernikahan yang ke-38 tahun. Alden sudah siap sejak tadi, sementara Naysila masih di dalam kamarnya bersiap-siap.
Alden sedikit bosan menunggu, ia keluar dari mobil dan menunggu sambil mondar-mandir di halaman rumah.
Serena menghampiri, kemudian hendak merapikan jas dan kemeja Alden, tetapi dengan cepat ditepis oleh pria itu.
"Aku sudah bilang, jangan sentuh apapun dariku jika bukan di hadapan Naysila," ucapnya datar.
"Aku hanya ingin merapikan bajumu yang sedikit berantakan, gak lebih," jawab Serena.
"Aku gak butuh itu, aku bisa merapikannya sendiri."
Naysila keluar dari rumah dengan membawa koper, ia tampak kerepotan. Naysila langsung masuk ke dalam mobil, tanpa mengatakan apapun pada Alden dan Serena. Sejak tadi, Naysila tak mau berbicara dengan keduanya, bahkan ia baru terlihat lagi oleh Alden setelah pertengkaran tadi pagi.
Alden menyusul masuk ke dalam mobil, ia duduk di depan, di kursi kemudi sementara Naysila duduk di kursi penumpang di belakang. Tanpa adanya obrolan, Alden langsung melajukan mobilnya keluar dari halaman rumahnya yang luas. Naysila menyandarkan kepalanya ke jendela mobil, menatap jalanan malam yang masih terlihat aktif dengan banyaknya pengendara yang berlalu lalang.
Naysila membayangkan akan seperti apa jika pulang nanti, ia harus siap melihat air mata orang tuanya saat tahu ia diceraikan.
Mata Naysila berembun, tetapi ia berusaha menahan air mata agar tak jatuh, ia tak mau terlihat lemah atau menyesal oleh Alden.
Dalam perjalanan, sesekali Alden akan menoleh ke arah spion mobil untuk melihat Naysila di belakang. Alden dapat melihat kesedihan di wajah Naysila yang tersamarkan oleh raut wajah cueknya.
"Ah, apa yang aku rasakan? Kenapa rasanya masih berat untuk mengantarkan dia pulang ke rumah orang tuanya?" batin Alden.
Alden sejenak melamun, namun kemudian tersadar lagi saat suara-suara klakson kendaraan berbunyi diluar, ia kembali fokus menyetir.
Suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya suara mesin yang mengisi keheningan di antara mereka. Naysila tetap menatap ke luar jendela, sesekali menarik napas dalam seakan menahan sesuatu yang ingin ia luapkan. Sementara Alden menggenggam erat setir, pikirannya dipenuhi kegelisahan yang tak bisa ia ungkapkan.
_
Sekitar 20 menit kemudian, mobil Alden memasuki halaman rumah yang lebih luas dari halaman rumahnya dan sebuah rumah yang megah serta mewah berdiri di sana.
Lampu-lampu taman menerangi halaman luas rumah orang tua Alden yang sudah dipenuhi tamu. Dekorasi yang mewah terlihat di setiap sudut, menunjukkan betapa megahnya acara ulang tahun pernikahan yang ke-38 itu. Para tamu berpakaian elegan, saling bercengkerama sambil menikmati hidangan dan alunan musik klasik yang mengisi suasana.
Alden menghela napas sebelum keluar dari mobil. Ia menoleh ke belakang, menatap Naysila yang masih diam di kursinya. "Kita harus bersikap normal," katanya pelan.
Naysila tidak langsung menjawab, tetapi akhirnya ia membuka pintu mobil dan keluar. Alden menyusul, lalu tanpa aba-aba, tangannya menggenggam tangan Naysila. Wanita itu terkejut, namun tetap berusaha bersikap biasa saja.
Mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk, berpura-pura mesra di hadapan para tamu yang mulai memperhatikan mereka. Alden tersenyum kecil saat menyapa beberapa orang yang dikenalnya, sementara Naysila tetap menjaga ekspresi netral.
Begitu mereka masuk ke dalam, seorang wanita paruh baya dengan pakaian mewah nan anggun menyambut mereka dengan senyum hangat—ibunda Alden. Di sampingnya, berdiri seorang pria dengan wajah tegas namun ramah, ayahnya Alden.
"Alden, Naysila, kalian akhirnya datang!" Bu Tamara langsung menggenggam tangan keduanya. "Kami menunggu kalian sejak tadi. Bagaimana perjalanan kalian?"
"Baik, Bu," jawab Alden santai. "Maaf kalau kami sedikit terlambat."
Bu Tamara mengangguk, lalu menatap Naysila dengan penuh arti. "Kamu kelihatan sedikit pucat, sayang. Kamu baik-baik saja?"
Naysila tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Bu."
Alden memeluk orang tuanya dan mengucapkan selamat atas ulang tahun pernikahan mereka, Bu Tamara dan Pak Haldy sangat senang, mereka berterima kasih pada Alden dan Naysila untuk kedatangan mereka.
Naysila juga mengucapkan selamat untuk mereka, serta mendoakan kelanggengan hubungan keduanya.
"Ayo, masuk dan bergabung dengan para tamu. Banyak yang ingin bertemu dengan kalian," Pak Haldy mengajak anak dan menantunya dengan sikap ramah.
"Benar, para tamu pasti senang bisa bertemu dengan anak dan menantu kami," timpal Bu Tamara.
Alden dan Naysila berpandangan sekilas sebelum akhirnya mengikuti orang tua Alden memasuki ruangan utama. Mereka tahu malam ini akan panjang, dan penuh dengan sandiwara.
Ruangan utama rumah orang tua Alden dipenuhi dengan gemerlap lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Meja-meja panjang berlapis kain putih elegan tertata rapi, dipenuhi dengan hidangan mewah dan gelas-gelas minuman yang berkilauan. Para tamu berbincang dengan tawa ringan, mengenakan pakaian formal yang menunjukkan status mereka sebagai orang-orang terpandang.
Alden dan Naysila berjalan berdampingan, masih menggenggam tangan seperti pasangan harmonis. Namun, di balik genggaman itu, Naysila bisa merasakan betapa dinginnya sentuhan Alden, seperti hanya sekadar formalitas.
Seorang pria setengah baya mendekati mereka dengan senyuman lebar. "Alden! Sudah lama tidak bertemu, Nak," katanya sambil menepuk bahu Alden dengan akrab.
Alden membalas dengan senyuman tipis. "Om Roman, apa kabar?"
"Alhamdulillah, aku baik, Nak. Kamu sepertinya makin gagah saja," puji Om Roman.
"Ah, biasa saja. Malah, aku merasa agak kurusan sekarang."
Om Roman lalu menoleh ke arah Naysila. "Halo, Nay. Apa kabar? Lama sekali kita tidak bertemu."
"Alhamdulillah baik, Om. Senang bisa bertemu dengan Om lagi," jawab Naysila dengan sopan.
"Om juga senang bisa bertemu dengan kalian lagi. Kapan-kapan mainlah ke Medan, supaya kalian bisa tahu lebih banyak tentang Medan."
"InsyaaAllah, Om," jawab Naysila.
Om Roman menatap ke arah perut Naysila, kemudian bertanya lagi. "Kamu belum hamil, Nay? Usia pernikahan kalian sudah lebih dari setahun, kan?"
Naysila dan Alden terperanjat, mereka saling lempar tatap dan terlihat gugup.
"Ummm, ya. Kami belum berencana untuk punya anak, Om," jawab Alden sedikit gugup.
"Oh, maksudnya kalian masih ingin berdua saja?"
Alden dan Naysila mengangguk, mereka tetap kompak untuk berbohong.
"Bagus, puaskan dulu waktu berdua, karena kalau sudah punya anak kalian akan kesulitan jika ingin berduaan," ujar Om Roman menggoda.
Alden tersenyum, menganggukkan kepala seolah setuju dengan perkataan pamannya.
Percakapan itu terus berlanjut dengan beberapa tamu lain yang datang menyapa. Naysila merasa sesak di antara semua perhatian ini, terutama karena ia tahu betul bahwa pernikahan mereka hanyalah bayangan semu yang sebentar lagi akan berakhir.
Tak lama kemudian, acara utama dimulai. Orang tua Alden berdiri di tengah ruangan dengan senyum bahagia. Seorang pembawa acara mengundang semua orang untuk mengangkat berdoa bersama sebagai bentuk syukur atas pernikahan keduanya yang telah bertahan selama 38 tahun.
Naysila menyaksikan kedua mertuanya yang tampak mesra meski sudah tak muda lagi dengan tatapan kosong. Hatinya terasa semakin sesak. Betapa beruntungnya mereka bisa mempertahankan rumah tangga selama itu, sementara ia bahkan belum sempat merasakan kebahagiaan yang sama dan kini harus berakhir dengan air mata.
Alden sesekali melirik Naysila, menyadari ekspresi murung di wajah istrinya. Ada perasaan tak nyaman yang menyelip di dadanya, tetapi ia memilih diam.
Setelah doa bersama, tamu-tamu mulai menikmati hidangan yang telah disajikan. Suasana semakin ramai dengan canda tawa dan obrolan ringan. Naysila tetap duduk diam di kursinya, memainkan ujung lengan bajunya dengan gelisah.
"Kenapa kamu nggak makan?" tanya Alden, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, namun tetap dingin.
Naysila menggeleng pelan. "Aku nggak lapar."
Alden mendesah pelan. Ia tahu, bukan soal lapar atau tidak. Ada sesuatu di hati Naysila yang tak bisa diungkapkan. Sesuatu yang mungkin berasal darinya,dari keputusan yang sudah ia ambil.
Alden duduk dan mulai menikmati makanannya di hadapan Naysila, ia makan seolah terpaksa untuk menghargai acara orang tuanya.
Naysila menatap suaminya, ia berkata. "Mas, maafkan aku."
Alden mengangkat wajah dan menatap Naysila yang matanya berkaca-kaca, "(Maaf) Untuk apa?"
"Untuk semuanya. Maaf, selama dua tahun ini aku gak bisa membuat kamu nyaman apalagi bahagia denganku. Maaf karena aku juga sering bertengkar dengan kamu. Sebelum kita benar-benar berpisah, aku ingin kita sudah saling memaafkan," tutur Naysila yang kemudian air matanya jatuh.
Alden menghentikan suapannya, garpu dan pisau di tangannya perlahan diletakkan ke atas piring. Ia menatap Naysila yang kini menunduk, kedua tangannya saling menggenggam di atas pangkuannya, sementara air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Ada sesuatu yang mencubit hati Alden saat melihatnya seperti ini. Sejak awal, ia pikir keputusannya sudah tepat untuk menyingkirkan Naysila dari hidupnya. Namun, mengapa ada perasaan aneh yang menghantam dadanya saat akhirnya semua akan terjadi?
Alden menarik napas dalam, mencoba mengabaikan gejolak di dalam dirinya. "Nay..." panggilnya pelan.
Naysila mengangkat wajahnya yang sembab, menatap Alden dengan mata yang penuh luka. "Aku benar-benar minta maaf," ulangnya lirih.
Alden mengerutkan kening, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tetapi tak satu pun yang terasa cukup. Ia tidak ingin memberikan harapan, tetapi juga tidak ingin melihat Naysila seperti ini.
"Apa kamu menyesal (menikah dengannya)?" tanyanya akhirnya.
Naysila tersenyum miris. "Menyesal?" ia menggeleng. "Aku nggak menyesali pernah menikah denganmu, Mas. Aku hanya... menyesal karena aku nggak cukup baik untuk membuat pernikahan kita bertahan. Aku gagal menaklukkan hati kamu untuk dapat menerima dan mencintai aku. Itulah penyesalan terbesarku."
Alden mengepalkan tangannya di atas meja, ada sesuatu yang begitu asing merayapi perasaannya. Ia tidak ingin mendengar kata-kata itu.
Naysila tersenyum tipis, lalu menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Percayalah, aku senang pernah menjadi istrimu walaupun hanya sebatas status."
Alden terdiam. Ia bisa merasakan sakit yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkan Naysila, dan anehnya, rasa itu juga ikut menggerogoti hatinya sendiri.
Setelah beberapa saat hening, Alden menghela napas panjang dan melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir larut. Ia tahu mereka harus segera pergi.
"Nay," panggilnya pelan.
Naysila menoleh dengan mata yang masih sedikit memerah.
"Kita pamit sekarang. Rasanya sudah terlalu malam. Rumah orang tuamu jauh, dan kita bisa sampai larut kalau gak pergi sekarang," lanjut Alden.
Naysila hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia menghapus sisa air mata di pipinya dan mencoba menenangkan diri. Alden berdiri lebih dulu, lalu berjalan menghampiri orang tuanya yang tengah berbincang dengan beberapa tamu.
"Bu, Yah, kami pamit," ujar Alden.
Bu Tamara dan Pak Haldy langsung mengalihkan perhatian mereka ke Alden dan Naysila.
"Secepat itu? Kalian tidak ingin menginap di sini dulu?" tanya Bu Tamara sedikit kecewa.
Alden menggeleng. "Kami harus pulang. Terima kasih atas jamuannya, kapan-kapan saja kamu menginap. Selamat ulang tahun pernikahan sekali lagi."
Naysila ikut mengucapkan selamat lagi dengan suara pelan. "Terima kasih atas jamuannya, Bu, Yah."
Bu Tamara menatap mereka bergantian. Ia menggenggam tangan Naysila dengan lembut, matanya penuh arti. "Kalian hati-hati di jalan ya."
Alden langsung menjawab. "Iya, Bu. Jangan khawatir."
Pak Haldy mengangguk singkat. "Benar, jangan ngebut, lebih baik pelan tapi selamat daripada ngebut tapi celaka."
Alden mengangguk paham.
Setelah bersalaman, Alden dan Naysila pun melangkah keluar dari rumah besar itu, menuju mobil yang terparkir di halaman. Langit malam terlihat mendung, angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, suara guntur terdengar seakan memberikan peringatan jika hujan akan segera turun.
Tanpa banyak bicara, mereka masuk ke dalam mobil. Naysila duduk di kursi belakang seperti saat berangkat tadi. Alden mulai mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah orang tuanya.
_
Di perjalanan, keheningan kembali menyelimuti mereka. Hanya suara mesin mobil yang terdengar di antara riuh kendaraan lain di jalan.
Naysila menatap kosong ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar di tengah gelapnya malam. Dadanya masih sesak, pikirannya penuh dengan berbagai hal yang ia sendiri sulit menguraikannya.
Sementara itu, Alden tetap fokus mengemudi, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata Naysila di pesta tadi. Sesekali ia melirik spion dan melihat wanita itu menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong.
"Kenapa aku merasa begini?" batinnya.
Tiba-tiba, rintik hujan mulai turun, membasahi kaca depan mobil. Semakin lama, hujan semakin deras disertai angin dan petir yang membuat Alden khawatir untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi, melihat Naysila yang tak peduli sama sekali, ia terus melanjutkan perjalanan tanpa bertanya padanya. Butiran air jatuh dengan cepat, menari di bawah lampu jalan yang berpendar.
Alden mengaktifkan wiper untuk menyapu air hujan dari kaca. Jalanan mulai licin, dan pandangannya terbatas karena derasnya hujan yang mengguyur.
Di kursi belakang, Naysila masih diam, tetapi kini tubuhnya sedikit menggigil. Udara malam yang dingin bercampur hujan membuatnya kedinginan.
Alden melirik spion dan melihat bahunya yang sedikit gemetar. Tanpa berkata apa-apa, ia mengatur suhu AC agar lebih hangat.
"Kita harus berhenti sebentar," kata Alden tiba-tiba.
Naysila mengerutkan kening, sedikit bingung. "Kenapa?"
"Hujannya terlalu deras. Aku nggak bisa lihat jalan dengan jelas."
"Kamu bilang kita bisa sampai terlalu larut kalau gak cepat-cepat."
"Ya, tapi kalau hujan deras disertai angin dan petir begini aku juga gak bisa mengemudi dengan baik. Kita malah akan celaka kalau dipaksakan."
Naysila tak bicara lagi, ia hanya memeluk tubuhnya sendiri. Walaupun sudah sangat ingin pergi, namum Alden benar jika kondisi seperti itu bisa membuat mereka celaka bila diteruskan.
Mobil pun menepi di pinggir jalan yang sepi, tak ada lagi mobil yang melintas di sekitar, seolah orang-orang sangat malas untuk keluar rumah dengan keadaan seperti itu. Alden mematikan mesin, tetapi tetap membiarkan lampu mobil menyala. Suara hujan deras yang menghantam atap mobil terdengar begitu jelas, menciptakan suasana yang semakin sunyi. Gemuruh dari guntur dan petir yang menyambar semakin membuat suasana mencekam.
Di dalam mobil, hanya ada mereka berdua, duduk dalam diam dan tidak saling berkata.
Hujan semakin deras, disertai angin kencang yang menggoyangkan pepohonan di sepanjang jalan. Petir menyambar dengan suara menggelegar, menerangi langit malam yang kelam. Alden menatap ke luar dengan waspada, merasa firasatnya semakin tak enak.
Tiba-tiba...
BRUKKK!
Sebuah pohon yang tidak begitu besar di pinggir jalan tumbang, menghantam bagian depan mobil mereka dengan keras. Benturan itu membuat mobil berguncang hebat. Alden terpental ke depan, kepalanya membentur setir sebelum semuanya berubah gelap.
*****