NovelToon NovelToon
Karma Si Playboy: Jadi Cewek!

Karma Si Playboy: Jadi Cewek!

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Dikelilingi wanita cantik / Misteri / Berbaikan / Fantasi Wanita / Playboy
Popularitas:241
Nilai: 5
Nama Author: Zaenal 1992

Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Karma Itu Memang Lucu: Playboy Jadi Cewek, Maya Akhirnya Percaya!

Tiba di depan rumah Maya, aku mengatur napas dan merapikan rambutku yang berantakan. Jantungku berdebar kencang. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Maya melihatku dalam wujud ini.

"Semoga dia percaya sama gue," bisikku sebelum menekan bel rumah Maya.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan Maya muncul dengan senyum manisnya. Senyum itu langsung luntur saat melihatku.

"Maaf, cari siapa ya?" tanya Maya dengan nada bingung.

Aku menelan ludah. "Maya, ini aku... Bram."

Maya mengerutkan keningnya. "Bram? Bram yang mana ya?"

"Maya, ini aku Bram! Masa kamu lupa sama aku? Kita kan baru kemarin malam kencan," kataku dengan nada putus asa.

Maya menggelengkan kepalanya. "Maaf, mbak. Saya nggak kenal sama mbak."

"Maya, please, dengerin aku. Aku tahu ini kedengarannya gila, tapi aku beneran Bram. Aku... aku berubah jadi cewek," jelasku sambil berusaha meyakinkan Maya.

Maya tertawa kecil. "Berubah jadi cewek? Mbak ini lucu ya. Maaf ya Mbak, saya lagi nggak ada waktu buat bercanda."

Maya hendak menutup pintu, tapi aku menahannya. "Maya, please, jangan tutup pintunya. Aku mohon, dengerin aku dulu. Aku bisa jelasin semuanya."

Maya menghela napas. "Oke, Saya kasih waktu lima menit buat jelasin. Tapi kalau ceritanya aneh-aneh, saya panggil satpam."

Aku menarik napas lega. "Makasih, Maya. Aku janji, aku bakal jelasin semuanya."

Aku menceritakan semua yang terjadi padaku, mulai dari pesta di klub malam, mimpi aneh tentang wanita berjubah, hingga saat aku terbangun dan mendapati diriku menjadi seorang wanita. Maya mendengarkan dengan seksama, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa dia tidak percaya dengan ceritaku.

"Jadi, Mbak ini Bram yang kemarin malam ngajak saya kencan, terus tiba-tiba berubah jadi cewek karena mimpi aneh?" tanya Maya dengan nada sinis.

Aku mengangguk. "Iya, Maya. Aku tahu ini susah dipercaya, tapi ini beneran terjadi sama aku."

Maya tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Mbak ini lucu banget sih. Saya nggak nyangka ada orang yang bisa ngarang cerita seaneh ini. Maaf ya Mbak, tapi saya nggak percaya sama cerita Mbak. lagian Bram itu cowok, bukan cewek."

"Maya, please, percaya sama aku. Aku bisa buktiin kalau aku ini Bram," kataku dengan nada memohon.

"Buktiin gimana? Mbak bisa nyanyi lagu kesukaan saya? Atau Mbak bisa nyebutin nama panggilan sayang saya?" tantang Maya.

Aku berpikir keras. "Lagu kesukaan kamu... itu lagunya Tulus yang 'Sewindu', kan? Dan nama panggilan sayang kamu... itu 'Mbul', iya kan?"

Maya terkejut. "Kok Mbak bisa tahu?"

"Karena aku ini Bram, Maya. Aku tahu semua tentang kamu," jawabku dengan nada lega.

Maya masih terlihat ragu. "Tapi... tapi ini nggak mungkin. Nggak mungkin ada orang yang bisa berubah jadi cewek gitu aja."

"Aku juga nggak tahu kenapa ini bisa terjadi sama aku, Maya. Tapi yang jelas, aku sekarang butuh bantuan kamu," kataku dengan nada memohon. "Aku nggak tahu harus ke mana dan harus ngapain. Kamu satu-satunya orang yang aku percaya."

Maya terdiam sejenak, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Akhirnya, dia menghela napas.

"Oke," kata Maya akhirnya, "Anggap aja aku sedikit percaya sama kamu. Tapi itu nggak berarti aku langsung nerima kamu jadi cewek. Ini terlalu mendadak, terlalu aneh."

Aku menghela napas lega, setidaknya ada sedikit kemajuan. "Aku ngerti, Maya. Aku nggak maksa kamu buat langsung percaya. Aku cuma butuh bantuan kamu."

"Bantuan apa?" tanya Maya.

"Aku nggak tahu harus ke mana, harus ngapain. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Aku mohon, bantu aku," kataku, memohon dengan sungguh-sungguh.

Maya terdiam, tampak berpikir keras. Aku bisa melihat pergulatan batin di wajahnya.

"Oke," kata Maya akhirnya, "Aku akan bantu kamu. Tapi dengan satu syarat."

"Syarat apa?" tanyaku, berharap itu bukan sesuatu yang aneh.

"Aku nggak akan langsung percaya kamu sepenuhnya. Aku akan bantu kamu, tapi aku akan terus mengawasi kamu. Aku akan cari tahu kebenarannya. Kalau ternyata kamu bohong, jangan harap aku akan maafin kamu," kata Maya dengan nada serius.

Aku mengangguk cepat. "Aku janji, aku nggak akan bohong sama kamu. Aku akan buktiin kalau aku ini beneran Bram."

"Oke," kata Maya, membuka pintu lebih lebar. "Masuk. Tapi inget, aku masih belum percaya sepenuhnya sama kamu."

Aku mengangguk cepat. "Makasih, Maya. Makasih banyak."

Malam itu, Maya mengizinkanku menginap di rumahnya. Aku tidur di sofa ruang tamu, merasa canggung dan tidak nyaman. Aku tahu Maya masih belum percaya padaku sepenuhnya.

Keesokan harinya, aku berusaha membantu Maya dengan pekerjaan rumah. Aku mencuci piring, menyapu lantai, dan memasak makan siang. Aku ingin menunjukkan kepadanya bahwa aku bisa diandalkan.

Saat aku sedang mencuci piring, tanpa sengaja lengan bajuku tersingkap. Maya, yang sedang duduk di meja makan, tiba-tiba terkejut.

"Itu... itu bekas luka apa?" tanya Maya dengan nada terkejut.

Aku melihat ke arah lenganku. Di sana, terdapat bekas luka bakar kecil yang sudah lama aku miliki. Aku mendapatkannya saat kecil, ketika tidak sengaja menyentuh knalpot motor.

"Ini... bekas luka bakar," jawabku gugup. "Aku dapat waktu kecil."

Maya berdiri dan mendekatiku. Dia menatap bekas luka itu dengan tatapan yang aneh.

"Bram juga punya bekas luka yang sama persis di tempat yang sama," kata Maya pelan, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

Kemudian, Maya menyentuh leherku. "Dan ini... apa ini?"

Aku merinding ketika jari Maya menyentuh leherku. Aku tahu apa yang dia rasakan. Di leherku, terdapat tanda lahir berbentuk bulan sabit. Tanda lahir itu sudah ada sejak aku lahir.

"Ini... tanda lahir," jawabku lirih.

Mata Maya membulat sempurna. Dia mundur selangkah, tampak sangat terkejut.

"Bram... Bram punya tanda lahir yang sama persis di lehernya! Bentuknya juga sama! Bulan sabit!" seru Maya, masih dengan nada terkejut.

Aku menatap Maya dengan tatapan penuh harap. Aku tahu, inilah saatnya.

"Maya," kataku dengan suara bergetar, "Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku mohon, percayalah padaku. Aku ini Bram. Aku memang berubah menjadi wanita, tapi aku tetap Bram yang kamu kenal."

Maya menatapku, matanya masih membulat karena terkejut. Kemudian, perlahan-lahan, sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyuman kecil.

"Bram?" bisik Maya, dengan nada yang masih penuh dengan keterkejutan, namun kini bercampur dengan nada geli. "Ini beneran kamu? Ya ampun..."

Tiba-tiba, Maya tertawa kecil. Tawanya semakin lama semakin keras, hingga akhirnya dia tertawa terbahak-bahak.

"Ya ampun, Bram! Aku nggak nyangka! Kamu... jadi cewek?!" kata Maya di sela tawanya. "Ini gila banget! Tapi... lucu juga! Astaga, Bram jadi cewek! Hahahaha!"

Aku merasa sedikit kesal mendengar Maya menertawakanku. Aku tahu ini lucu, tapi ini juga situasi yang serius bagiku.

"Maya, jangan ketawa dong," kataku dengan nada sedikit marah. "Ini nggak lucu buat aku."

Maya langsung menghentikan tawanya, tapi senyum geli masih terlihat di wajahnya. Dia mendekatiku dan menepuk pundakku.

"Iya, iya, maaf. Aku tahu ini nggak lucu buat kamu," kata Maya sambil menahan tawa. "Tapi... ya ampun, bayangin aja, Bram yang kemarin pacaran sama aku, sekarang malah jadi cewek! Hahaha! Maaf, maaf, aku nggak boleh ketawa lagi."

Aku menghela napas. "Iya, aku tahu ini aneh. Tapi aku mohon, jangan ketawain aku terus. Aku lagi butuh dukungan kamu."

Maya menatapku dengan tatapan yang lebih serius. "Iya, aku tahu. Maaf ya, aku tadi kebablasan. Aku janji, aku nggak akan ketawain kamu lagi. Aku akan bantu kamu. Beneran deh." Dia tersenyum manis. "Udah, jangan marah lagi, dong," kata Maya sambil mencubit pipiku pelan, berusaha mencairkan suasana.

Aku tersenyum tipis. "Iya, aku nggak marah lagi. Makasih, Maya."

Maya tersenyum lega. "Nah, gitu dong. Sekarang, gimana kalau kita makan siang? Aku udah laper nih."

Aku mengangguk. "Boleh. Aku masakin ya?"

Maya mengangguk senang. "Boleh banget! Aku pengen masakan chef Bram!"

Aku tersenyum dan mulai memasak makan siang. Aku merasa sedikit lebih baik setelah Maya meminta maaf dan berjanji untuk membantuku. Aku tahu, perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan. Tapi aku yakin, bersama Maya, aku bisa menghadapi semuanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!