Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 perjalanan menuju Kekaisaran Lang
Kereta kerajaan bergerak perlahan menyusuri jalan yang semakin asing bagi Yun Sia, namun justru terasa lebih dekat daripada mana pun yang pernah ia tempati.
Di dalam kereta utama Kekaisaran Wang, Yun Sia duduk bersila dengan kepala bersandar di bahu A-yang, tanpa peduli siapa pun yang mungkin mengintip dari balik tirai. Hujan gerimis telah berhenti, menyisakan bau tanah basah yang lembut menyusup lewat jendela tertutup.
A-yang tengah membaca laporan militer ketika sesuatu yang hangat menyelinap ke lengannya.
Ia menoleh sedikit.
Dan mendapati Yun Sia sedang menguap sambil menempel padanya seperti anak kecil pada bantal.
“Kamu tidak pegal?” tanyanya pelan.
Yun Sia mendengus kecil dan menggeleng, lalu—tanpa peringatan—menggeser tubuh hingga setengahnya duduk di pangkuan A-yang.
A-yang membeku. “Yun Sia.”
“Dingin,” katanya singkat, sambil menyelipkan tangan ke balik lengan jubahnya.
Mochen yang berkuda di samping jendela hampir jatuh dari kuda saat melihat refleksi itu di kaca.
Liyan menenangkan kuda dengan wajah lurus, seolah tidak melihat kaisarnya diperlakukan seperti perapian hidup.
Di kereta Lang yang berjalan sejajar, Permaisuri Lang menatap pemandangan itu lewat celah tirai.
Tubuhnya menegang.
Ia menoleh ke Kaisar Lang dengan mata berkabut.
“Ia… duduk begitu saja.”
Kaisar Lang berdeham.
“Dan Kaisar Wang tidak menolak.”
Permaisuri Lang menyentuh dadanya seolah jantungnya nyaris jatuh.
“Putriku…”
Nada itu… lebih mirip tawa kecil daripada kecemasan.
Seorang pejabat Lang yang ikut dalam rombongan berbisik gugup, “Yang Mulia… apakah… pantas…?”
Kaisar Lang menoleh dengan tatapan datar. “Anakku hidup enam belas tahun tanpa dipeluk. Jika sekarang ia menempel seperti anak kucing kelaparan, aku tidak melihat pelanggaran apa pun.”
Pejabat itu menunduk.
Sementara itu…
A-yang akhirnya berbicara rendah, “Kalau kamu terus seperti ini, aku akan dicap kaisar paling tidak bermartabat sepanjang sejarah.”
Yun Sia membuka satu mata.
“Terus kenapa? Mau aku menjaga jarak?” katanya lugu, nyaris polos.
A-yang membuka mulut untuk menjawab… lalu menutupnya kembali.
“Tidak.”
Yun Sia tersenyum lebar dan menempel lebih erat.
Dan A-yang menyerah… pada bahagia.
----
Kereta berhenti di peristirahatan kota kecil sore itu.
Rombongan turun untuk makan dan menukar kuda.
Di paviliun kecil bata merah, Yun Sia duduk di bangku kayu panjang bersama A-yang.
Pelayan menata hidangan ringan.
Roti pipih.
Sup hangat.
Teh.
Tanpa permisi, Yun Sia meraih mangkuk A-yang.
“Milikku,” katanya cepat.
A-yang menatap mangkuk kosongnya. “…itu makanan kaisar.”
Yun Sia menyeruput supnya. “Sekarang milik calon pasangan.”
A-yang menatapnya diam-diam.
Ia hendak menegur… tetapi akhirnya hanya menggeser mangkuknya kembali ke hadapannya.
“Makan yang benar.”
Yun Sia mengerutkan hidung. “Tapi ini punya Ayang…”
“Aku pesan satu lagi.” ujar A-yang
“Tak sama rasanya.” ujar Yun Sia lalu Ia menyuapkan satu sendok ke mulut A-yang.
“Kunyah.” ujar Yun Sia
A-yang menghela napas… dan menurut.
Dari kejauhan…
Permaisuri Lang mengusap mata.
“Dia… begitu hidup,” katanya pelan.
Kaisar Lang mengangguk. “Dan tidak takut.” Ia tersenyum tipis.
“Dia menyentuh seorang kaisar seperti menyentuh dahan pohon di rumah.”
Permaisuri Lang tertawa kecil di sela air mata.
“Dia persis seperti aku waktu muda.”
“Berani.”
“Bodoh.”
“Bahagia.”
Mereka menatap lagi.
Yun Sia menyuapkan makanan.
A-yang menyeka sudut bibirnya dengan jari.
Lalu… mengancam halus, “Kalau kamu menyuapi lagi, aku akan menyuap balik.”
Yun Sia membelalakkan mata.
“Beraninya…”
A-yang menyeringai.
Dan Permaisuri Lang memalingkan wajah…
karena hatinya terlalu penuh.
Malam itu… mereka berkemah kembali.
Api unggun menyala.
Yun Sia duduk di tikar, mencabut duri kecil dari jari A-yang dengan sangat serius.
“Kamu tidak hati-hati,” katanya cemberut.
A-yang memandangnya dari balik bulu mata.“Bukankah kamu bilang kaisar harus berani?”
“Berani bukan berarti ceroboh.”
Permaisuri Lang memperhatikan dari balik tirai. “Dia memarahinya seperti… suami.”
Kaisar Lang tersenyum miring. “Dan Kaisar Wang menerima seperti anak yang bersalah.”
Mereka saling pandang.
Lalu tertawa kecil.
Sunyi.
Hangat.
Dan dalam keheningan itu…
Kaisar Lang akhirnya berkata, “Terima kasih.”
Permaisuri Lang menoleh.
“Untuk?”
“Untuk merawat anak kita… di saat kita tidak bisa.”
Permaisuri Lang menggenggam tangan suaminya.
Esoknya…
Gerbang Lang terlihat dari kejauhan.
Tinggi.
Megah.
Berukir phoenix emas.
Dan Yun Sia berdiri di depan jendela.
Tangannya menggenggam erat lengan A-yang hingga kuku jarinya menekan.
“Lang…” bisiknya.
A-yang mengusap punggung tangannya.“Tarik napas.”
“Aku merasa seperti ingin lari.”
“Maka aku akan menarikmu kembali.”
Yun Sia terdiam.
Menoleh.
“Kamu pasti akan mengejarku?”
A-yang mendekat.
“Kau lari ke mana pun… aku mengejar sampai mati.”
Yun Sia tersenyum… dan menempelkan dahi ke lengannya.
Gerbang dibuka perlahan.
Sorak rakyat menggema.
Spanduk merah.
Bunga beterbangan.
“PUTRI KEMBALI!”
“LANG YUN SIA HIDUP!”
Tangisan pecah.
Dan Yun Sia berdiri di depan kereta… gemetar.
A-yang turun lebih dulu.
Menawarkan tangan.
Yun Sia memandangnya.
Dan melangkah.
Tangannya tanpa sadar menarik jubah A-yang agar lebih dekat.
Kaisar Lang dan Permaisuri turun di belakang.
Dan rakyat Lang…
melihat segalanya:
Putri mereka.
Dan seorang kaisar Wang… yang memegang tangan putri kelembutan seperti memegang dunia.
Ketika mereka tiba di istana…
Permaisuri Lang kembali menitikkan air mata.
“Istana ini dulu sunyi… sekarang terlalu hidup.”
Seorang dayang berlutut.
“Yang Mulia Putri… kamar lama Anda… kami rawat setiap hari.”
Yun Sia terdiam.
“…kamar lama?”
Ia ragu.
Permaisuri mengangguk.
“Tidak pernah kami sentuh sejak kau menghilang.”
Yun Sia menarik A-yang.
“Kamu ikut.”
Ia menoleh ke Permaisuri.
“Boleh?”
Permaisuri tersenyum luas.
“Boleh.”
Kamar itu dipenuhi perabot kecil.
Lemari mungil.
Banner bergambar phoenix kecil.
Dan sebuah mainan kayu rusa.
Yun Sia menatap benda itu.
Mengangkatnya.
“Aku… punya ini?” gumamnya.
Permaisuri mengangguk.
“Kau selalu membawanya tidur.”
Yun Sia menatap A-yang.
Lalu tiba-tiba menyodorkan mainan itu.
“Sekarang kamu penjaga rusa ini.”
A-yang menerimanya tanpa ragu.
Dari jendela…
Kaisar Lang melihat adegan itu.
Dan menangis.
Tanpa suara.
Malam itu…
Jamuan kecil digelar.
Bukan upacara.
Hanya keluarga.
Dan Yun Sia duduk di tengah.
Makan terlalu banyak.
Minum terlalu cepat.
Dan tertawa terlalu bebas.
A-yang memperingatkan, “Kamu akan sakit perut.”
Yun Sia cemberut.
“Ini makanan ibu.”
“Aku tidak akan membiarkan kamu pusing.”
“Maka kamu jahat.”
Permaisuri tertawa.
“Dia… persis aku saat kecil.”
Kaisar Lang mengangguk.
“…dan seperti aku saat jatuh cinta.”
A-yang tersedak.
Mochen memukul punggungnya.
---
Larut malam…
Yun Sia duduk di balkon istana Lang.
Memandang kota yang dulu lelaki dan wanita itu bangun demi satu anak.
A-yang berdiri di belakangnya.
Diam.
“Kalau semua ini hilang besok…” katanya lirih.
“Aku akan tetap bersamamu.”
Yun Sia memeluk lengannya.
“Aku hanya ingin satu dunia…”
A-yang meraih tangannya.
“…yang kecil.”
“Dan cukup.”
Mereka berdiri dalam keheningan yang hangat.
Dan dari kejauhan…
Seseorang mengamati lagi.
Rencana telah matang.
Bersambung